Oleh Zia Ul Haq
PADA UMUMNYA
Suatu sore di tahun 2011 pernah kusaksikan Mbah Yai Najib bermain bersama cucu pertamanya, Ning Kayis, yang masih balita. Beliau mengendarai sepeda mini, dan Ning Kayis kecil ditaruh di keranjang depan sepeda. Lucu.
Beliau nampak gembira betul, begitu pula cucunya itu. Berputar-putar beberapa kali di halaman masjid pondok. Aku yang menyaksikan sambil ngumpet dari balik pintu masjid pun turut merasa bungah.
Belakangan, beredar pula video beliau sedang main sepeda bersmaa cucu keduanya, Gus Dzakwan. Bedanya, kali ini masing-masing pakai sepeda sendiri. Mbah Yai di drpan, Gus Dzakwan mengikuti di belakang. Ceria betul. Seperti kakek-cucu pada umumnya.
Pagi hari saat ziarah di makam Maulana Yusuf Banten, kusaksikan Mbah Yai santai tiduran di emperan musola. Tepat di samping penjual golok dan suvenir lainnya. Di tengah keramaian para peziarah lain yang juga sedang beristirahat. Sementara di sisi beliau ada Bu Nyai yang duduk sambil mengipasi. Sahaja betul. Seperti peziarah pada umumnya.
Para santri pasti juga kerap menyaksikan Mbah Yai turut mengaji Kitabus Shiyam, di pengajian pasanan Mbah Yai Zainal tiap bakda subuh selama Ramadan. Bukan hanya duduk menyimak, beliau juga turut memegang kitab tipis itu, lengkap dengan pulpennya, dan beliau aktif menulis sah-sahan. Seperti santri pada umumnya.
Penampilan Mbah Yai Najib memang sebagaimana umumnya kiai-kiai Krapyak; betul-betul biasa. Atribut-atribut kekiaian semacam sorban hanya dipakai di momen-momen resmi. Seperti saat mengimami tarawih, shalat Jumat, wisuda, akad, dan haul. Di luar itu, beliau ya berpenampilan sebagaimana masyarakat pada umumnya.
Pernah suatu kali, ada tamu hendak memondokkan anaknya di Krapyak. Sesampainya di area pondok, ia berniat segera sowan. Tapi tak tahu sebelah mana ndalem Mbah Yai Najib. Maka iapun bertanya pada orang yang sedang berjalan-jalan di situ.
“Nuwun sewu. Rumah Pak Kiai Najib di mana ya?” tanya si tamu.
“Oh, itu,” jawab orang itu sambil menunjuk ke arah ndalem.
“Maturnuwun,” sahutnya sambil berlalu menuju ndalem.
Setelah dipersilakan masuk oleh santri ndalem, si tamu duduk di ruang tamu. Orang yang tadi ditanya pun ikut duduk menemaninya.
“Oh ternyata mau bertamu juga,” pikir si tamu.
“Dari mana, Pak?” tanya orang itu pada si tamu. Lalu terjadilah obrolan ringan di antara keduanya. Si tamu pun meladeni tiap pertanyaan yang diajukan, itung-itung sambil menunggu Mbah Yai Najib rawuh. Selang beberapa menit berlalu, si tamu merasa bosan juga menunggu.
“Maaf, Pak. Mau tanya,” sela si tamu, “Kira-kira Pak Kiai Najibnya kemana ya?”
“Oh,” sahut orang itu, “Kulo Najib.”
ANTRI GROGI
James, sebut saja begitu, adalah santri baru di Krapyak. Belum akrab dengan suasana pondok, apalagi dengan kiainya. Suatu pagi dia lewat di depan ndalem Mbah Yai Najib. Ternyata beliau sedang duduk-duduk santai di teras.
“Kang!” panggil Mbah Yai. James kaget betul. Ia mendekat dengan kikuk.
“Nggih, Yai?” sahutnya agak gemetar.
“Tolong matikan lampunya,” titah Mbah Yai sambil menunjuk bohlam yang terpasang di tiang depan ndalem lama.
“Nggih,” jawab James sambil bersiap melaksanakan perintah gurunya.
Bukannya menuju saklar tiang, dia malah menyincing sarung, kemudian memanjat tiang lampu. Lalu diulirnya bohlam itu, meluncur turun. Lantas menghadap Mbah Yai sambil menyerahkan bohlam itu.
“Ini, Yai, hh, hh,” katanya sambil ngos-ngosan.
__
Di lain waktu, Mbah Yai memanggil seorang santri yang kebetulan lewat depan ndalem. Sebut saja namanya Wage. Buru-buru ia mendekat, “Nggih, Yai?”
“Tolong panggilkan Asbah,” titah Mbah Yai.
Wage segera meluncur ke asrama pondok dan melaksanakan tugasnya. Tak berapa lama, ia kembali menghadap Mbah Yai sambil menyodorkan: ASBAK.
“Ini, Yai,” katanya dengan ekspresi polos.
“Oh, ya terima kasih, Kang,” sahut Mbah Yai sambil senyum-senyum, “Sekarang tolong panggilkan Kang Asbah ya, As-bah, As-bah,” lanjut beliau dengan agak mengeja.
__
Terakhir. Seorang santri, sebut saja Naruto, baru saja keluar dari jeding (kamar mandi) sebelah aula komplek Madrasah Huffadh 1. Dia hanya memakai sarung yang dicincing agak tinggi sampai paha. Tidak pakai baju alias telanjang dada.
Agaknya kacamata Naruto ketinggalan entah dimana. Padahal minusnya cukup tebal. Maka praktis pandangannya kabur sekabur-kaburnya. Jarak pandang hanya setengah meter.
Ia pun berjalan ke arah teras aula sambil menyipitkan kedua matanya. Di situ dia melihat remang-remang ada orang sedang duduk. Ia dekati sosok itu sambil menyodorkan kepala, menyipitkan mata, dan menyincing sarungnya.
Semakin dekat, semakin jelas. Matanya yang tadi menyipit kini melotot kaget. Hampir copot dia punya jantung. Ternyata orang itu Mbah Yai Najib.
Lahul Fatihah.
Kalibening, 13-1-2021