Tangerang Selatan, jaringansantri.com- Pada masa kolonial Belanda, permasalahan umat Islam sudah semakin kompleks seperti haji, komunitas Arab dan fanatisme Islam. Mengatasi itu, Pemerintahan Hindia-Belanda membuat badan yang mengurusi keagamaan masyarakat yang disebut KIAZ.

Hal itu dijelaskan oleh Johan Wahyudi, dalam kelas kajian di Islam Nusantara Center (INC) dengan tema “Islam Nusantara Masa Kolonial Belanda : Kantoor Voor Inlandsh En Arabisch Zaken (KIAZ) dan Kontrol Sosial Masyarakat di Batavia Abad XIX”. Sabtu, (14/10).

Johan mengatakan “Permasalahan Umat Islam yang semakin kompleks, seperti perhajian, komunitas Arab, fanatisme Islam dll Pemerintah Hindia Belanda dituntut untuk mencipta politik rust en orde (ketenangan dan keteraturan)”.

Dr. Johan Wahyudi saat menyampaikan tentang Islam Nusantara masa Kolonial. Kelas Kajian Islam Nusantara Center – INC. Sabtu (14/10).

Sebagai seoarang peneliti manuskrip-manuskrip berbahasa Belanda, Johan menemukan fakta-fakta menarik. Salah satunya adalah sejarah dan peran keberadaan KIAZ ini. Dimana menunjukkan bagaimana gambaran aktivitas umat Islam di Nusantara khususnya di Batavia.

KIAZ berdiri 1899. Daerah operasinya pertama kali hanya di wilayah Jawa dan Madura. Tugas utamanya adalah melakukan studi atas Islam di Hindia Timur, budaya, institusi lokal dan memberikan advis kepada Gubernur Jenderal Ada anggapan pendirian ini adalah memisahkan termin Arab dari Islam pribumi, karena menyertakan kata “Arabisch” yang terpisah dengan “Inlandsch”.

Ia juga menerangkan bahwa KIAZ sangat dipengaruhi oleh Snouck Hurgronje. Sosok yang memberikan nasihat agar kelompok Arab lebih baik dikontrol, tanpa adanya larangan melakukan aktivitas.

“Pemerintah Hindia​ Belanda dituntut untuk menciptakan politik rust en orde atau ketenangan dan keteraturan,” tambahnya.

Dosen Fakultas Adab UIN Syarif ini juga menyinggung Sayyid Usman bin Yahya, ulama Betawi yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai mufti Betawi. Tugas Sayyid Usman yaitu menyusun pedoman peradilan, bagi pengenghulu – penghulu. Lalu, disebar ke seluruh Nusantara​.

Ia mengatakan bahwa Sayyid Usman memainkan peran ganda pada masa kolonial. Pertama, sebagai sosok yang dekat dengan Belanda. Kedua, sosok ulama yang dekat dengan masyarakat dan memiliki hak leluasa untuk mengajar ta’lim keagamaan.

Sedangkan Zainul Milal Bizawie, penulis Masterpiece Islam Nusantara menekankan bahwa Sayyid Usman bisa jadi melakukan siasat agar agama Islam saat itu tetap mendapat tempat dan dapat dipelajari dengan luas oleh masyarakat. Maka, dengan mendekati​ penguasa Belanda, proses pengajaran akan lebih bebas.

“Karena jika kita melihat salah satu murid Sayyid Usman, yaitu Habib Kwitang, tampak jelas melakukan pemberontakan dan perlawanan terhadap Belanda,” ungkap pria yang sering disapa Gus Milal ini.

Penting untuk diperhatikan, menurut Gus Milal, adalah bagaimana kita melihat tulisan-tulisan dari sumber Barat ini diteliti dan disajikan dengan kacamata atau sudut pandang santri, sudut pandang Islam Nusantara. (Zainal Abidin)