الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ * قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَهْ
Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya * Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat
فَمِنَ الْحَمَاقَةِ أَنْ تَصِيْدَ غَزَالَةً * وَتَتْرُكَهَا بَيْنَ الْخَلاَئِقِ طَالِقَهْ
Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang * Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja(Muhammad bin Idris as-Syafi’i)
Ilmu itu telah diibaratkan oleh Imam Syafi’i seperti hewan buruan yang harus dikekang agar tak tak lepas. Maka menulis adalah cara terbaik untuk mengikat ilmu, karena jika hanya mengandalkan ingatan akan mudah terlupakan. Para ulama dari generasi ke generasi juga mewariskan transmisi keilmuannya dengan menulis, hal ini yang juga dilakukan oleh Almaghfurlahu KH. Nawawi Abdul Aziz al-Hafidz saat mengaji kepada al-Muqri’ Al-Maghfurlahu KH. Arwani Amin Kudus.
Dokumen di bawah ini adalah bukti shahih bahwa memang tulisan akan membuat seorang terasa tetap hidup walau jasad sudah berpulang ke Rahmatullah. Catatan ini adalah tulisan tangan KH. Nawawi Abdul Aziz saat mengaji Qiro’ah Sab’ah kepada al-Muqri KH. Arwani Amin, Kudus selama tak kurang dua setengah tahun Dokumen berharga ini kami dapatkan dari KH. Muslim Nawawi, putra Kyai Nawawi Abdul Aziz saat ketika kami temui di kediamannya, Pondok Pesantren An-Nur, Ngrukem, Pendowoharjo, Sewon, Bantul, Jogjakarta, Jum’at, (20/12) Malam.
Khot atau Tulisan Arab ulama kelahiran 25 Dzulhijjah 1343 H/17 Juli 1925 M ini memang terlihat cukup indah. Bakatnya telah terasah semenjak belia atas bimbingan orangtua sekaligus gurunya, Kyai Abdul Aziz. Meski ditulis semenjak tahun 1955, namun sampai sekarang masih dapat terbaca dengan jelas. Tafsir Al-Ibriz, karya monumental KH. Bisri Musthofa khot-nya (tulisan arab) menurut pengakuan KH. Sya’roni Ahmadi, kawan seperguruannya saat mengaji kepada Kyai Arwani Kudus juga buah karya Kyai Nawawi yang asli Tulusrejo, Grabag Kutoarjo, Purworejo ini.
“Ketika mengaji di Kudus, Abah memang sempat diminta oleh Penerbit Menara Kudus untuk menuliskan kitab-kitab terbitan penerbit legendaris tersebut, salah satunya adalah Tafsir Ibriz”. Tutur Gus Muslim.
Dalam catatan ini, Kyai Nawawi menuliskan ulang kitab Faid Barokat fi Sab’i al-Qiro’at karya Kyai Arwani yang berguru kepada Al-Muqri’ KH. Munawwir, Krapyak. Rosidi dalam KH. Arwani Amin, Penjaga Wahyu dari Kudus mengkisahkan Kyai Arwani belajar selama 11 tahun kepada Maha Guru Al-Qur’an Tanah Jawa ini. Beliau ngangsu kaweruh kepada Mbah Munawwir dalam rentang tahun 1930-1941 M.
Kyai Munawwir mensyaratkan bahwa untuk belajar Qiro’ah Sab’ah kepadanya, maka harus hafal Al-Qur’an terlebih dahulu. Maka dengan penuh ketekunan putra Kyai H. Amin Said Kudus ini menghafal Al-Qur’an dan mampu mengkhatamkan dalam waktu tak kurang dari dua tahun. Setelah itu beliau melanjutkan mengaji Qiro’ah Sab’ah dengan memakan waktu yang cukup lama yakni 9 tahun.
Dalam mengajarkan bacaan Al-Qur’an riwayat 7 Imam Qiro’at ini, Kyai Munawwir berpedoman pada kitab Hirz Amaniy wa Wajhu at-Tahany karya ulama besar dari Andalusia (Spanyol) Imam Abu Muhammad Al-Qasim bin Firruh bin Khalaf bin Ar-Ra’ini al-Syatibi (538 H/1144 M -590 H/1194M). Sebelumnya Kyai Arwani juga telah mengkaji kitab Siroj al-Qari’ al-Mubtadi’ Syarah Mandzumah Hirz al-Amaniy wa Wajhu at-Tahaniy karya Syekh Ali bin Utsman bin Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan Al-Baghdadi saat nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng tahun 1926-1930 dibawah asuhan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari.
Menurut cerita dari H. Maulani, salah satu murid dan khadam-nya, dikatakan bahwa Kyai Arwani belajar pada jam satu dini hari (malam). Meski begitu Kyai Arwani selalu siap dengan pengajiannya semenjak pukul sebelas malam. Sambil menyetorkan hafalan Qiro’ah Sab’ah-nya Kyai Arwani menuliskan catatan tentang qoidah-qoidah Qiro’ah Sab’ah. Catatan itu yang dikemudian hari akan dikembangkan menjadi sebuah kitab Faid Barokat fi Sab’i al-Qiro’at yang sekarang sudah tampil dalam bentuk mushaf 30 Juz.
Berkat perjuangan tak kenal lelah tersebut, Kyai Arwani berhasil mengkhatamkan belajar Qiro’at Sab’ah dan mendapat ijazah juga sanad dari Kyai Munawwir. Berdasarkan dokumen yang kami dapatkan dari KH. Ulil Albab Arwani saat kami bersilaturrahmi ke kediaman beliau di Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an, Kudus Ahad, (22/12) dalam risalah sanadnya, Kyai Munawwir memberikan ijazah dan sanad kepada murid kesayangannya tersebur pada tanggal 7 Jumadil Ula 1355 H atau bertepatan pada 19 Juli 1936. Dalam sanad yang juga memuat untaian nasehat dan fadilah akan kemuliaan Al-Qur’an ini, disebutkan bahwa Kyai Munawwir berguru kepada Syekh Yusuf Husain Abu Hajar ad-Dimyathi yang bersambung mata rantai keilmuannya sampai kepada Rasulullah SAW.
Maka dari itulah dalam mengajarkan Qiro’ah Sab’ah sepulangnya ke Kudus, Kyai Arwani meminta kepada muridnya untuk berbuat serupa sebagaimana yang beliau lakukan saat mengaji kepada Mbah Munawwir, yakni menyalin Qoidah Qiro’ah Sab’ah yang telah beliau tulis sebelumnya. Dan hal ini yang dilakukan oleh Nawawi muda saat belajar kepada Kyai Arwani yang merupakan besan dari KH. Abdullah Salam, Kajen Pati (mertua KH. Ulin Nuha Arwani) dan KH. Sya’roni Ahmadi, Kudus (Mertua KH. Ulil Albab Arwani) tersebut.
“Abah Ngaji kepada Mbah Arwani selepas beliau mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an kepada KH. Raden Abdul Qodir, putra KH. Munawwir Krapyak. Sebelum berangkat ke Kudus, beliau meminta izin kepada gurunya Kyai Abdul Qodir untuk melanjutkan mengaji qiro’ah sab’ah kepada Kyai Arwani di Kudus. Hal ini sebagaimana diwasiatkan oleh Mbah Munawwir bahwa sepeninggal beliau jika ingin mendalami Bacaan Al-Qur’an riwayat 7 Imam ini, maka mengajilah kepada Kyai Arwani” tutur Gus Muslim.
“Saat berpamitan kepada Kyai Abdul Qodir Munawwir, beliau mensyaratkan bahwa beliau boleh pindah pondok asalkan mau menikah adik kandung lain ibu, yakni Siti Walidah, putri ketiga dari lima bersaudara dari pasangan KH. Munawwir dan Nyai Khadijah binti Hasbullah ini. Maka atas dasar ketaaatan kepada sang guru maka beliau menyanggupi dan dipersuntinglah Nyai Walidah oleh putra Kyai Abdul Aziz ini pada usia 27 tahun” kenang Gus Muslim tentang ayahandanya tersebut.
Disarikan dari Biografi KH. Nawawi Abdul Aziz, Sejarah Hidup Sang Penjaga Al-Qur’an karya Qowim Mustofa dikatakan bahwa Kyai Nawawi yang lahir di Kutoarjo, 25 Dzulhijjah 1343 H /17 Juli 1925 ini, sebelum nyantri di Krapyak, Nawawi kecil belajar kepada ayahandanya, Kyai Abdul Aziz, seorang guru sekaligus petani yang tinggal di kampung. Kepada sang ayah beliau belajar membaca Al-Qur’an, dasar-dasar tauhid, fikih dan lain-lain pada malam hari. Beliau juga belajar di Sekolah Rakyat (SR) Tulusrejo siang hari dan Madrasah Diniyah Jono di sore harinya. Selama tujuh tahun beliau belajar kepada sang ayah dan madrasah yang menjadi awal sebelum belajar ke pesantren.
Pada 1938, menginjak usia 13 tahun, Kyai Nawawi pergi ke Pondok Pesantren Lirap, Kebumen yang masyhur dengan ilmu alat-nya (nahwu-sharaf) untuk belajar kepada KH. Anshori selama empat tahun. Selanjutnya bersama kakaknya Kyai Nawawi dikirim oleh ayahandanya untuk belajar ke Ujung Timur Pulau Jawa, Banyuwangi untuk mengaji kepada KH. Abbas, Pengasuh Pesantren Tugung Banyuwangi.
Pada tahun 1945, saat kemerdekaan Indonesia dikumandangkan beliau pulang ke kampungnya di Purworejo untuk melepas rindu dengan keluarganya. Saat akan kembali ke pesantren tersiar kabar Jawa Timur sedang bergejolak, Bala Tentara Sekutu datang menggempur kota Surabaya dan disambut oleh rakyat dengan semangat juang yang dikuatkan oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya.
“Dikarenakan kondisi keamanan yang mengkhawatirkan, maka Abah mengurungkan niat untuk kembali ke Banyuwangi. Kitab-kitab beliau yang tertinggal di Banyuwangi harus musnah oleh serangan Belanda. Atas kegagalan itu Abah pergi ke Kraptak untuk mengaji kepada Kyai Abdul Qodir” kata Gus Muslim.
Kondisi stabilitas politik yang masih kacau balau, juga dialami oleh Nawawi muda saat belajar di Krapyak. Pada tahun 1948, Belanda melancarkan agresi militer kedua diawali dengan pengeboman Lapangan Udara Maguwo, Jogjakarta. Karena suasana yang serba tak menentu tersebut maka banyak santri Krapyak pulang kampung, termasuk Kyai Nawawi yang pulang dengan berjalan kaki bersama tujuh temannya. Saat masa revolusi tersebut Kyai Nawawi juga ikut bergerilya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, meski demikian beliau tetap istiqomah menjaga dan menambah hafalan Al-Qur’an-nya.
Enam bulan kemudian beliau kembali ke Krapyak dan mampu menuntaskan hafalan Al-Qur’an 30 juz di hadapan KHR. Abdul Qodir Munawwir dengan rentang waktu lima belas bulan. Prestasi yang luar biasa ini yang membuat Kyai Abdul Qodir Munawwir yang juga ayahanda dari KH. Najib Abdul Qodir Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak Yogyakarta saat ini dan KH. Hamid Abdul Qodir, Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Maunah Sari, Kediri ini kepada sosok Nawawi Muda mengundang decak kagum . Dari sinilah Kyai Abdul Qodir bermaksud menawarkan adik kandungannya untuk dinikahi oleh santrinya tersebut. Dan tawaran tersebut diterima dengan tangan terbuka.
Selanjutnya Kyai Nawawi harus berangkat mengaji ke Kudus untuk mengaji kepada Kyai Arwani, di sisi lain istrinya, Nyai Walidah meneruskan hafalan Al-Qur’an kepada sang kakak (Kyai Abdul Qodir). Meski terasa berat karena harus berpisah namun keduanya menjalani dengan penuh ketabahan dan keikhlasan. Kedua pasang pengantin baru ini harus bersabar dalam menuntut ilmu demi meraih kemuliaan di kemudian hari.
Solahudin dalam Ulama Penjaga Wahyu mengatakan bahwa Kyai Nawawi berangkat ke Kudus setelah tujuh puluh hari lahirnya putra pertama dari hasil perkawinannya dengan Nyai Walidah binti KH. Munawwir. Dengan restu kakak iparnya beliau berangkat menuju Kudus untuk mendalami Qiro’ah Sab’ah kepada KH. Arwani Amin sekitar tahun 1955.
Metode yang dipakai oleh KH. Arwani saat mengajarkan Qiro’ah Sab’ah sebagaimana yang telah tersebut diatas adalah meminta santrinya sebelum setoran untuk menyalin kitab Faidh al-Barokat. Selanjutnya saat setoran beliau menyodorkan salinan tersebut kepada Kyai Arwani untuk kemudian dikoreksi kembali. Tampak coretan-coretan hasil tashih Kyai Arwani atas karya Nawawi Muda. Catatan tersebut disimpan dengan cukup rapi oleh Gus Muslim sampat saat ini, sehingga ketika kitab Faidh al-Barokat fi Sab’i Qiro’at akan dicetak, maka kedua putra Kyai Arwani, yakni KH. Ulin Nuha Arwani dan KH. Ulil Albab Arwani beberapa kali pergi ke Ngrukem untuk mencocokkan dengan catatan KH. Nawawi Abdul Aziz.
Selama di Kudus, Kyai Nawawi sering tinggal di daerah sekitar Menara Kudus. Sering kali beliau berpuasa di tengah aktifitasnya beliau mengkaji Qiro’ah Sab’ah. Untuk mengisi waktu luang sembari mencari bekal untuk studinya juga menafkahi istri yang telah ditinggalkannya, maka berkat keahliannya menulis khot maka beliau ikut bekerja di Penerbit Menara Kudus.
Berkat keteguhan, keikhlasan serta doa yang terus dipanjatkan maka pada tahun 1955 Kyai Nawawi berhasil menyelesaikan belajar Qiro’ah Sab’ah kepada Kyai Arwani dan oleh Kyai Arwani diminta untuk menyalin ijazah dan sanad yang diberikan oleh gurunya KH. Munawwir. Sungguh puji syukur tiada kira terucap dalam benak Nawawi Muda atas keberhasilannya menghafalkan Baca’an Qiro’ah Sab’ah yang tak banyak orang mampu menguasainya.
Dalam risalah sanad dan ijazahnya yang ditulis sendiri tersebut juga dimuat tanda tangan KH. Arwani, KH. Abdul Qodir Munawwir, Kyai Hisyam Hayat, KH. Sya’roni Ahmadi dan ulama lainnya yang ikut menjadi saksi atas keberhasilan Nawawi dalam menghafal dan mengkaji Qiro’ah Sab’ah. Dalam risalah yang menjadi satu kesatuan dengan salinan kitab Faidh al-Barokat yang ditulis sebelumnya ini, Kyai Nawawi memberikan wasiat dalam bahasa Arab dan Jawa dengan aksara pegon yang dibubuhi tanda tangan beliau.
Berikut teks lengkapnya:
وقف الى طلبة القراءات السبعة وقرائها والموقوف حق الله (ينتفع ولا يباع)
اكو وصية مارغ اناء فوتو كابيه: يا ايكو لامون سير اورا بيصا غالاف منفعة ايسينى كتاب ايكى مكا مسرهنا كتاب ايكي مارغ وغكغ حاجة غالاف منفعة اغ كتاب ايكى
Artinya:Waqaf untuk pengkaji Qiro’ah Sab’ah dan para pembacanya. Barang yang diwaqafkan ini adalah milik Allah SWT (Boleh dimanfaatkan tidak boleh dijual)
“Saya berwasiat kepada anak cucuku semua. Yaitu jika engkau tidak bisa mengambil manfaat atas apa yang ada dalam kitab ini, maka serahkanlah kepada orang yang sanggup memanfaatkan kitab ini”
Setelah menyelesaikan belajar kepada Kyai Arwani, maka kembalilah Kyai Nawawi ke kampung halamannya di Purworejo untuk mengamalkan ilmu dan menemani ayahandanya Kyai Abdul Aziz yang sudah menua. Di kampungnya beliau membuka pengajian Al-Qur’an dan Madrasah Ibtidaiyah. Saat itu hanya ada kelas satu dan saat mengajar Kyai Nawawi hanya dibantu seorang pengurus yang merangkap menjadi guru.
Kabar duka datang dari Krapyak, guru sekaligus kakak iparnya KH. Raden Abdul Qodir Munawwir berpulang ke Rahmatullah pada 17 Sya’ban 1381 H/ Februari 1961. Maka Kyai Nawawi diminta untuk membantu mengajar di Pesantren Krapyak bersama menantu KH. Munawwir lainnya seperti KH. Ali Ma’shum (kelak menjadi Rois Aam PBNU menggantikan KH. Bisyri Syansyuri) dan KH. Mufid Mas’ud (kelak akan mendirikan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Sleman). Oleh KHR. Abdullah Affandi (kakak Kyai Abdul Qodir) selaku pengasuh utama, Kyai Ali Ma’shum mengajarkan kitab kuning, sementara Kyai Mufid dan Kyai Nawawi mengajar Al-Qur’an.
Dilansir dari bangkitmedia.com Di saat bersamaan Kyai Nawawi juga diangkat menjadi Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Bantul. Mengingat jarak Krapyak yang Bantul yang cukup jauh maka beliau berikhtiar mendirikan pesantren di tempat kerjanya. Dipilihlah Dusun Ngrukem sebagai tempatnya mendidik para santri pada tahun 1964. Pesantren ini kemudian diberi nama An-Nur yang berarti cahaya.
Dari Pesantren An-Nur inilah santri berdatangan untuk dididik dan dibina oleh Kyai Nawawi dan Nyai Walidah. Bersama istri tercintanya tersebut, Kyai Nawawi dikaruniai 11 orang anak diantaranya: M. Ngasim, M. Yasin, Istiqomah, Abdul Mukti, Barokah, Binti Nafisah, Umi Azizah, Muslim, Wardah, Ulfah dan Zakiyyah.
Dari desa yang sejalur dengan kawasan Pantai Selatan Jogjakarta inilah kemudian muncul generasi qur’ani yang menyebarkan ilmunya kepada khayalak masyarakat. Saat ini tak kurang 2000 santri belajar di Pesantren An-Nur Ngrukem. Selain pendidikan ala pesantren An-Nur Ngrukem juga membuka pendidikan formal dari tingkat dasar seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah sampai perguruan tinggi yakni Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) An-Nur.
Diantara santri Mbah Nawawi yang masyhur adalah KH. Maftuh Bastul Birri, Pendiri Pondok Pesantren Murottil Qur’an, Lirboyo dan Kodran Kediri. Dikisahkan bahwa Kyai Maftuh yang belum lama berpulang ke Rahmatullah ini dengan penuh keikhlasan rela mengaji kepada Kyai Nawawi yang masih terhitung famili ini seminggu sekali dengan menempuh perjalanan pulang pergi dari Kediri, Jawa Timur ke Bantul, Jogjakarta karena beliau sudah berkeluarga dan memiliki santri.
Setelah lama berjuang di jalan Allah SWT, KH. Nawawi Abdul Aziz berpulang ke Rahmatullah pada 24 Desember 2014 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta pada usia 89 tahun menyusul istri tercintanya Nyai Hj.Walidah Munawwir yang wafat pada 2011. Menurut pengakuan Rofiq Aulawi, santri An-Nur Ngrukem, selama dirawat di rumah sakit lidah beliau tak lepas dari nderes (mengulang ulang) hafalan Al-Qur’an bahkan beliau masih sempat membenarkan bacaan santri yang salah ketika membaca Al-Qur’an disampingnya.
Mendengar ulama kharismatik ini wafat, kaum muslim berduyun-duyun memenuhi Dusun Ngrukem untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama’ (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta 1984-1991. Kyai Nawawi yang wafat dengan meninggalkan 11 orang anak dan 49 cucu ini juga terhitung produktif dalam menulis. Berbagai karyanya telah diterbitkan seperti Risalah Alaikum bi Sawadil A’dzom yang memuat sejarah ringkas ahlussunnah wal jamaah, ragam penafsiran, ilmu ushul fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Nadzom Fiqh Fasholatan Bahasa Jawa Pegon juga menjadi karya peninggalan Kyai Nawawi yang mendapat apresiasi dari Habib Husain bin Anis Al-Habsyi.
Tulisan tangan indah dari goresan tangan Kyai Nawawi adalah bukti shahih kegigihan para ulama kita dalam mendalami sebuah keilmuan. Perjuangan yang sulit ditiru di zaman serba instan dan termanjakan oleh teknologi yang melenakan. Semoga dengan merenungi kisah hidup guru-guru kita dapat menumbuhkan motivasi untuk meneladani dan berusaha menjadi yang lebih baik. Dengan itulah cahaya peradaban umat akan kembali lahir dari bumi Indonesia tercinta.
*Catatan ini kami disusun dalam rangka memperingati 5 tahun wafatnya KH. Nawawi Abdul Aziz dan Haul KH. Arwani Amin Kudus ke-26 dan Ibu Nyai Hj. Naqiyyul Khod ke-9*
No responses yet