Sempatkan berkunjung ke pelosok desa di mana uang 2000 rupiah memiliki makna lebih dari 200.000 rupiah. Jajanan desa supermurah seharga 2000-an sudah cukup mewah dan membahagiakan bagi mereka. Kalimat syukur mereka begitu jelas terucap, senyum simpul bahagia sangat tampak di wajah mereka, keakraban hubungan sosial sangat terasa di antara mereka. Bukankah hal itu semua sudah cukup sebagai indikator untuk menyebut mereka sebagai manusia bahagia? Bahagia ternyata tidak mahal.

Lalu bandingkan dengan sebagian masyarakat kota modern yang super sibuk mengejar uang banyak demi bahagia. Bekerja terus sampai lupa berbincang dan makan bersama. Jarang berbagi karena berbagi menurut  rumus matematikanya adalah mengecilkan kepemilkan. Kemana-mana merengut karena ada jurang pemisah antara keinginan dan kenyataannya. Jajanan seharga 2000-an dianggap ketinggalan jaman dan tak layak masuk media sosial. Jajanan mahal juga masih kurang memuaskan selera dan tak cukup kuat untuk menjadi alasan untuk tersenyum dan bersyukur. Bahagiakah orang-orang semacam ini?

Desa yang sangat desa mengajarkan kesederhanaan hidup bagi kita, mengajarkan cara simpel untuk bahagia. Semalam saya bertemu dengan orang desa yang mendefinisikan  hidup bahagia dengan simpel sekali: “Yang penting masih bisa makan dan beribadah, maka kami sudah bahagia.” Mereka datang ke pengajian dengan jalan kaki, paling mewahnya dengan naik pick up bersama dengan rombongan. Mereka berbahagia bermaulid nabi sambil berharap mendapat keberkahan hidup.

Tadi saya bertemu dengan seorang kiai desa, kiai surau, yang yak pernah ambil pusing dalam hidup: “hidup sudah ada yang mengatur, yang penting hidup lurus tidak macam-macam maka tidak akan terjadi macam-macam yang tidak mengenakkan dalam hidup.” Beliau tidak memerlukan teoti dan konsep yang sulit-sulit,  karena Allah memang tidak menyediakan syarat sulit untuk bahagia. Kiai desa ini menghadiahkan burung perkutut kesayangannya kepada saya sebagai tanda “pangesto” hati.

Tadi saya juga bertemu dengan seorang rektor yang mengawali karirnya dari sebagai petugas kebersihan. Kisah hidupnya disimpulkannya sebagai: “Allah memiliki 1001 cara yang sering sulit ditebak dalam menentukan jalan hidup.” Saya bersyukur bertemu dengan mereka. Semuanya mengantarkan pada satu kalimat motivasi: “Jangan pernah putus asa. Selama Tuhan kita adalah Allah, maka selalu saja ada jalan menuju sukses bahagia.” 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *