Buku ini bercerita tentang perjalanan isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad SAW, ditulis dengan huruf Arab, dan berbahasa Madura, Risalah yang ditulis pada 27 Syawal 1391 atau 17 Desember 1971 dengan tebalnya 21 halaman.

Buku ini, diawali dengan sebab terjadinya mi’raj (naiknya Nabi ke langit dan Sidrah al-Muntaha). Konon, peristiwa mi’raj tersebut bermula dengan perdebatan sengit, antara bumi dan langit, tentang siapa yang paling utama di antara keduanya. Mereka pun mengajukan beberapa argumentasi dan kelebihannya masing-masing. “Hai langit! Sayalah yang paling utama dari kamu! Mengapa? Karena sayalah tempatnya  gusti-nya para nabi, kekasih Tuhan, dan yang paling utamanya makhluk; yaitu Muhammad!” kata bumi kepada langit.

Perkataan bumi tersebut, cukup mematikan. Langit diam dan kalah. Karena itu, dia lalu berdo’a kepada Allah agar Nabi Muhammad dinaikkan kepadanya. Allah mengabulkan, lalu menyuruh kepada Malaikat Jibril agar membawa Nabi.

Nun jauh di sana, di Hijir Ismail, dekat Baitullah Makkah, Nabi Muhammad SAW  sedang tidur, bersama Sayyidina Hamzah dan Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib. Nabi Muhammad lalu dibawa oleh Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail ke dekat sumur zamzam. Di sana Malaikat Jibril membelah dada Muhammad.

Hati Muhammad dicuci. Lalu diisi dengan ilmu hikmah dan iman. Setelah itu, diberi  ilmu, hilm, yakin, dan Islam. Sesudah selesai, dada Nabi Muhammad “dijahit” dan pulih seperti sedia kala. Malaikat Jibril pun memberi “stempel kenabian” di antara kedua belikatnya, “Allah wahdah lâ syarîkalah Muhammad ‘abduh wa rasûluh tawajjah haits syi’ta fainnak mansûr”.

Lalu Kiai As’ad memaparkan perjalanan isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad. Dalam perjalanan yang memakai kendaraan buroq tersebut, Nabi ditemani Malaikat Jibril dan Mikail. Nabi Muhammad melakukan ziarah ke tempat-tempat yang bersejarah. Kedua malaikat tersebut, menjelaskan dan menerangkan arti penting tempat tersebut.

Setelah selesai isra, lalu Nabi pun melanjutkan perjalanan mi’rajnya. Di  setiap langit, beliau disambut beberapa Nabi. Kemudian beliau menghadap Tuhan untuk menerima titah kewajiban shalat.

Di akhir tulisannya, Kiai As’ad mengharapkan kepada para pembaca, agar memberi saran dan koreksi terhadap tulisannya tersebut. Di samping itu, ia menyerukan kepada saudara-saudara kaum muslimin, agar menjadi lelaki yang sejati. Lelaki yang sejati adalah orang yang mengetahui kewajiban dan tugasnya sebagai lelaki.

Begitu pula kepada kaum muslimat. Kaum muslimat diharapkan menjadi perempuan yang sejati. Perempuan yang sejati adalah perempuan yang mengetahui kewajibannya sebagai perempuan. “Seperti isteri nabi, yaitu: Siti Khadijah, Siti ‘Aisyah, dan putri nabi, Siti Fatimah,” tulisnya.

Karena itu, lanjut Kiai As’ad, kedua isteri Rasul tersebut, dinamakan “um al-mukminin (ibunya orang-orang beriman)”, maksudnya: orang yang menjadi teladan bagi kaum perempuan yang mukmin dan yang belum mukmin agar menjadi mukmin.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *