Catatan Singkat Peran Pesantren (II)

Dalam bukunya yang berjudul “Islam is Not Only for Muslim” (2016), Kiai Ali Mustafa Yaqub (1952-2016) menegaskan bahwa satu di antara lima prasyarat kader ulama adalah menguasai kitab kuning. Kemampuan ini memungkinkan seseorang expert memahami al-Qu’an dan hadis. Tidak berlebihan, karena warisan kekayaan ilmiah para ulama tertulis dalam literatur bahasa Arab. Dalam tradisi pesantren, literatur ini jamak dikenal dengan kitab kuning. Meskipun kini telah banyak dicetak dalam kertas putih. Sudah barang tentu, penguasaan kitab kuning harus didukung dengan kemampuan memahami literatur lain. 

Terkait hal ini, 20 tahun yang lalu, Kiai Sahal Mahfudh (1937-2014) telah mewasiatkan bahwa pesantren harus mampu mengakses literatur kontemporer lainnya. Dalam bukunya yang berjudul “Pesantren Mencari Makna” (1999), Kiai Sahal menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah kemauan pesantren untuk membuka diri terhadap referensi lain. Pesantren harus mulai mengikis “phobia”-nya terhadap referensi selain kitab kuning. Baik dalam bidang eksak ataupun ilmu sosial. Keduanya perlu dikuasai dan disandingkan dengan kajian kitab kuning.

Lebih lanjut, dalam pandangan Kiai Sahal, jika pesantren dapat mengintegrasikan kitab kuning dengan berbagai referensi lain, maka akan tercapai sinergi ilmiah. Bagi dunia pesantren, hal ini menjadi kesempatan untuk kembali menjadi “pemain” dalam dinamika keilmuan. Yakni mampu mewarnai rumusan solusi permasalahan sosial dengan nuansa pesantren. Dalam upaya ini, satu di antara langkah nyatanya adalah melalui forum bahtsul masail. Selain sebagai ajang membahas permasalahan sosial keagamaan, bahtsul masail merupakan metode diskusi ilmiah yang telah mengakar kuat di dunia pesantren.

Pada tahun 1988, di Pesantren Watucongol Magelang, ulama NU telah memutuskan garis besar mekanisme bahtsul masail. Tiga di antaranya adalah, pertama, memahami teks kitab klasik harus dengan konteks sosial historisnya. Poin ini merupakan bentuk kesadaran bahwa, di satu sisi, literatur klasik sangat penting menjadi pegangan merespon dinamika masyarakat kontemporer. Namun di satu sisi, konteks historis antara dulu dan kini juga sangat menentukan dalam merumuskan hukum dan solusi. Solusi yang tepat di masa lalu, belum tentu sepenuhnya tepat untuk era sekarang. Mengingat kondisi masyarakat yang berbeda, meskipun keduanya sama-sama menginginkan kemashlahatan.  

Kedua, mengembangkan kemampuan melakukan observasi dan analisis terhadap teks kitab kuning. Kemampuan ini akan berbanding lurus untuk menangkap esensi teks kitab kuning. Selain memudahkan untuk melakukan kontekstualisasi, juga penting untuk memahami nalar epistemik ulama salaf. Dengan demikian, kita tidak hanya mendapatkan rujukan hukum secara literal saja, tetapi juga menangkap alur dan argumentasi metodologisnya. Dari titik inilah, pengembangan hukum secara metodologis (manhaji) dapat dimungkinkan.

Ketiga, menghadapkan kajian kitab kuning dengan wacana aktual melalui bahasa yang komunikatif. Poin ketiga ini sangat penting untuk mendorong santri dan kalangan pesantren mampu menghidupkan kitab kuning. Hidup dalam artian dapat menjadi sumber inspirasi. Serta komunikatif turut andil meramaikan wacana aktual yang sedang berkembang di tengah masyarakat. Lebih dari itu, mampu memberikan rumusan yang solutif, mudah dipahami, dan implementatif.

Lantas tertarikkah anda?

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *