Kitab ini sangat penting. Sebab, mempunyai nilai sejarah dan kebudayaan di Nusantara, terlebih Melayu Medan Sumatera Utara. Di dalamnya, Syaikh Hasan Maksum berhasil mendokumentasi masalah-masalah keagamaan yang berkembang saat itu dengan memberikan fatwa-fatwa keagamaan sesuai posisinya sebagai mufti kerajaan Deli yang bergelar Imam Paduka Tuan.
Jika diterjemahkan sub judulnya cukup panjang; Pada Menyatakan Wajib Percaya Dengan Ulama dan Katanya dan Hukum Nikah Tahlil dan Berdiri Barzanji dan Membaca al-Qur’an Dengan Tiada Tahu Bahasanya dan Mengaji Sifat Dua Puluh dan Talqin dan Melafazkan Niat Pada Sembahyang karya SYAIKH HASAN MAKSUM (1301 H/ 1882 M)
Sesuai dengan judul, kitab ini mengurai permasalahan-permasalahan yang berkembang saat itu dan didiskusikan di Istana Maimun. Ada tujuh permasalahan yang terangkum di dalamnya, yaitu kewajiban percaya kepada ulama dan kitab karangan mereka, bercina buta dibolehkan dengan syarat tidak disebutkan di dalam akad, mensunahkan ber-usalli, berdiri ketika barzanji dan mengaji sifat dua puluh, menguatkan pendapat bahwa mentalqinkan mayit setelah dikubur dan membaca Al-Qur’an tanpa mengetahui artinya termasuk di antara amalan yang dibolehkan. Dalam menguraikannya, Syaikh Hasan Maksum banyak memberikan argumentasi, baik dari sumber ajaran Islam maupun pendapat para ulama.
Dalam mukadimahnya, Ia menjelaskan latar belakang kitab ini ditulis. Menurutnya, ada sekelompok ulama yang mendakwa diri sebagai mujtahid dan membebaskan diri dari bertaklid kepara ulama-ulama Syafi’i. Mereka itu menyerukan masyarakat untuk mengambil langsung hukum agama dari Al-Qur’an dan Hadis. Mereka berpendapat bahwa tidak dibenarkan percaya kepada ulama dan kitab karangan mereka, tidak mensunahkan ber-usalli, meyakini bahwa berdiri ketika pelaksanaan pembacaan barzanji ketika peringatan maulid nabi saw dan mengaji sifat dua puluh termasuk bid’ah, membaca Al-Qur’an tanpa mengetahui artinya termasuk perbuatan terhina dan lainnya.
Mereka adalah sekelompok orang bermarga Mandailing yang mengaji kepada Syaikh Mahmud Khayyat di wilayah sungai Rampah Bedagai. Pendapat-pendapat mereka sampai kepada Sultan Makmun Rasyid Perkasa Alamsyah, sultan kerajaan Deli di Medan, sehingga ia mengumpulkan para ulama dan pegawai kerajaan untuk membahas dan mendiskusikan permasalahan tersebut sesuai yang ada dalam mazhab Syafi’i di pusat kerajaannya, Istana Maimun dalam bentuk persidangan. Syaikh Hasan Maksum mewakili kerajaan di diskusi terbuka ini yang terjadi pada tanggal 10 Muharram 1340 H.
Di bagian sebelum akhir dari kitab ini, Ia melampirkan naskah diskusi dalam bentuk tanya jawab yang ditandai dengan dua kode. Kode (ح) merujuk dirinya sebagai mufti kerajaan Deli yang bergelar Imam Paduka Tuan yang mewakili kerajaan dan bertugas sebagai penanya, dan (م) perwakilan dari kelompok Mandailing yang beraliran paham kaum muda yang berposisi sebagai orang yang ditanya. Naskah ini dimuat sampai lima halaman kitab.
Turut dilampirkan, di bagian akhir, satu risalah berjudul Nail al-Ma’ârib ilâ Ajwibah al-Mafâti li al-Mazâhib al-Arba’ah: Yaitu Menyatakan Jawapan Beberapa Masalah Yang Terbit Dari Pada Orang Yang Mendakwa Akan Ijtihad Pada Masa Yang Akhir Ini. Risalah ini berisikan jawaban mufti empat mazhab di Mekkah pada saat itu: Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Siraj –mufti Hanafi dan ketua para qadi di Mekkah, Syaikh Sayyid Muhammad Saleh az-Zawawi –mufi Syafi’i, Syaikh Muhammad Abid bi Husain al-Maliki –mufti Maliki, Syaikh Umar bin Abi Bakar Bajunaid –wakil mufti Hambali. Syaikh wakil mufti Hambali adalah ulama mazhab Syafi’i yang pakar di bidang fikih.
Risalah ini diberi kata pengantar dan pujian oleh salah satu ulama di Mekkah, yaitu Syaikh Muhammad Habibullah bin Mayabi as-Syinqiti bulan Zulhijjah 1339 H. Sementara yang menulis kembali risalah ini adalah Syaikh Muhammad Mukhtar bin Atharid Bogor 3 Muharram 1340 H, dan selesai diterjemahkan oleh Syaikh Hasdi an Maksum 25 Rabi’ at-Tsani tahun yang sama.
Kitab ini diselesaikan pada malam Jum’at, 9 Rabiul Akhir 1340 H pada pukul 00.10. diterbitkan oleh Syarikat Tapanul di Medan tahun 1351 H. Pemberi kata pengantar dan pujian adalah gurunya, Syaikh Abdul Qadir bin Sabir Mandailing, seorang ulama besar asal Mandailing di Mekkah.
No responses yet