Categories:

Sebagai sebuah organiasasi yang lahir pada masa pergerakan nasional, yang merupakan kelanjutan dan sekaligus kristalisasi dari budaya Nusantara, NU tampil sebagai organisasi pergerakan yang sangat berpengaruh. Tentang kiprah perjuangan NU ini telah banyak ditulis dalam bentuk buku dan karya lainnya. Walaupun telah ribuan buku tentang NU di tulis, tetapi tetap saja tulisan yang ada belum mampu mencakup dan belum berhasil mengungkap secara tuntas sejarah NU yang utuh dalam lintasan zaman.

Apalagi dalam sektor tertentu NU sering dianggap kurang atau bahkan tidak memiliki peran. Padahal kalau sedikit mau bersabar menggali dan mengorek sejarah yang ada, NU memiliki peran besar. Memang yang menjadi persoalan sumber sering tidak lengkap. Seringkali hanya ditemukan sepenggal cerita atau sekilas peristiwa. Kenyataan yang serba sepintas sekilas dan sepotong itulah yang saya sebut sebagai fragmen.

Dalam mengkontruksi sejarah NU perlu membaca dan mempertimbangkan berbagai fragmen sejarah yang masih berserakan itu. Sebab ketika peran sosial politik atau kesejarahan NU banyak di lupakan, tersembunyi bahkan banyak disembunyikan, akhirnya bisa digali dan dibuktikan serta dikonstruksi ulang dengan menggunakan sekumpulan fragmen sejarah yang ada. Tentu untuk mendapatkan fragmen ini juga tidak mudah karena keberadaannya berserakan di berbagai peristiwa sejarah nasional, ataupun dalam peristiwa lokal bahkan peristiwa internasional. Kejelian dan ketekunan serta kecermatan dalam membaca berbagai peristiwa sangat diperlukan untuk bisa memahami makna peristiwa dari serpihan sejarah tersebut.

Baca Resensi “Fragmen Sejarah NU :  Mendorong Peniliti NU Menuliskan Sejarah” 

Pengabaian sejarah NU itu terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang dalam sejarah. Kalau kita ambil jarak paling dekat saja yaitu Sejarah NU dasawarsa 1950 hingga 1960-an, yang merupakan gelombang pasang perkembangan politik NU, bersamaan dengan bangkitnya Indonesia sebagai kiblat politik dunia dan Indonesia tampil sebagai pemimpinnya. Langkah strategis itu dimulai dengan melakukan langkah besar Kembali ke UUD 1945 dari UUDS 1950 yang liberal kapitalistik menuju UUD 1945 yang nasionalistik dan populistik.

Dengan menggunakan Demokrasi Terpimpin, sebagai ganti dari demokrasi liberal. Pemegang peran politik saat itu adalah tiga kekuatan besar yaitu; PNI, NU dan PKI serta ditambah satu lagi TNI. Sementara kekuatan lain seperti Masyumi dan PSI sudah dipinggirkan sejak 1958 karena melakukan pemberontakan PRRI yang kemudian tersingkir dari gelanggang karena dilarang pada tahun 1960.

Dalam situasi seperti itu, NU tampil dan ambil peran yang menentukan, di satu sisi berhadapan dengan kekuasaan Presiden Soekarno, penentu utama, di sisi lain harus berhadapan dengan gencarnya opini dan propaganda yang disebarkan oleh Masyumi dan PSI yang merendahkan. Tetapi NU mempunyai Khittah (Garis Besar Haluan NU) sendiri, sehingga bisa berjalan pada relnya sendiri, sehingga bisa keluar dari baying-bayang kuasa Bung Karno dan sekaligus bisa mengatasi propaganda Masyumi PSI. Dalam posisi seperti itu NU tidak hanya berkiprah dengan sempurna dan disegani oleh kawannya yaitu PNI dan disegani pula oleh lawan yaitu PKI. Maka saat itu, NU menjadi penjuru politik Bangsa ini, sehingga Bung Karno sendiri banyak meminta advis pada NU, bahkan tokoh Murba Adam Malik terang-terangan mengagumi dan berguru politik pada Kiai Wahab Chasbullah.

Kondisi politik pun relatif lebih stabil dibanding demokrasi liberal sebelumnya. Saat itu negara baru bisa melakukan penataan dan pembangunan di segala bidang, termasuk peran politik internasional. Penataan politik, pembangunan ekonomi serta pendidikan rakyat dengan melakukan character building dimulai, sehingga bangsa Indonesia yang baru merdeka itu menjadi guru dan panutan bangsa lain di Asia dan Afrika, yang juga sangat disegani oleh dua negara super power yang ada baik Uni Soviet maupun Amerika Serikat.

Tetapi, setelah Demokrasi Terpimpin Bung Karno ditumbangkan oleh kekuatan kapitalisme global, melalui berbagai kesalahan Bung Karno sendiri, dengan melindungi PKI, lalu diganti dengan rezim orde baru, maka Indonesia tidak lagi mandiri dan berdaulat, sebaliknya telah menjadi komprador kapitalis global. Kekuatan lama seperti NU dan PNI dilumpuhkan serentak setelah penghancuran PKI. Maka muncul kekuatan baru yakni militer, kemudian menggandeng kalangan teknokrat dengan melibatkan kelompok sosialis dan Islam modernis yang dulu dipinggirkan karena memberontak, pada masa orde baru mereka mendapatkan posisi kembali dan ikut berkuasa bersama tentara. Tugas mereka adalah menaklukkan kekuatan tradisional, baik dari kalangan Islam maupun kalangan nasionalis.

Dengan berkuasanya orde baru yang menggandeng kelompok sosialis dan Islam modernis, karena sejalan dengan agenda modernisasi, maka perguruan tinggi juga mereka dominasi. Akibatnya sejarah Indonesia kemudian ditulis oleh kelompok mereka yang mendapatkan fasilitas baik dari orde baru maupun sistem kapitalisme global melalui berbagai beasiswa ke universitas terkemuka di Amerika dan Eropa. Mereka itulah yang menulis sejarah Indonesia, menulis perkembangan politik serta menjadi pengamat ekonomi. Pendidikan itu memberikan mereka cara pandang yang khusus sebagaimana dikembangkan oleh para orientalis, yang melihat tradisi dan kebangsaan sebagai simbol keterbelakangan bagian dari kekunoan.

Maka periode yang cemerlang bagi PNI dan NU pada akhir dasawarsa 1950 hingga akhir 1960 itu, oleh mereka dianggap sebagai masa gelap gulita sejarah Indonesia. Padahal ini massa gemilang bagi bangsa Indonesia, sebagai panutan dunia. Periode itu memang merupakan masa gelap bagi PSI dan Masyumi. Kacamata PSI –Masyumi itu dijadikan cara pandang terhadap Indonesia, hal itu ada baiknya untuk menjaga sikap kritis dan obyektivitas, tetapi ada bahayanya karena sikap subyektif disertai kebencian bisa menimbulkan bias, sehingga apa yang dilihat sangat bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.

Zaman Demokrasi Terpimpin itu oleh orde baru disebut secara pejoratif sebagai Orde Lama, tatanan kuno, yang dicirikan sebagai pemerintahan yang irasional dan demagogik dan mistik. Hanya mementingkan pembangunan politik dengan menjadikan politik sebagai panglima, dengan melupakan pembangunan ekonomi. Sebagai alternatifnya mereka membuat orde baru yang mengutamakan pembangunan ekonomi mengabaikan pembangunan politik, politik hanya milik pemerintah, rakyat tidak boleh berpolitik, hanya boleh bekerja, karena itu peran partai politik dibatasi. Maka sejak saat itu terjadi depolitisasi sehingga masyarakat apatis terhadap masalah politik. Kondisi ini tentu sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan politik warga.

Kebohongan sejarah mulai dalam propaganda orde baru yang dirumuskan oleh kaum intelektualnya secara sistematis. Kata mereka kalaupun dulu ada pembangunan ekonomi, tetapi tanpa perencanaan, tanpa hasil dan persiapan. Padahal apa yang terjadi setelah Indonesia merdeka, dan terutama sejak dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin, pembangunan mulai dirancang dan dilaksanakan dan diubah secara radikal, yaitu revolusi ekonomi dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Langkah itu tidak hanya dalam bentuk nasionalisasi besar- besaran terhadap monopoli perusahaan asing, tetapi juga menyiapkan sumber daya manusia yang ahli dalam berbagai bidang ilmu dan teknologi.

Untuk merancang program pembangunan yang berkelanjutan dan untuk mengatasi ketegangan dwitunggal yang mengganggu pelaksanaan pembangunan, maka NU mengusulkan agar dibentuk lembaga yang khusus menangani pembangunan biar tidak tergantung pada seorang tokoh, tetapi terlembaga secara permanen. Maka dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas). Untuk mengisi kemerdekaan itu Indonesia menyekolahkan banyak kader muda, maka muncul insinyur terkemuka seperti Ir Rosseno, Ir Sutami, BJ. Habibi JA. Katili, Ir. Sudiatmo dan sebagainya.

Saat itu pembangunan terencana dengan rinci dan cermat. Cermat dalam arti untuk menggali kekayaan alam dibutuhkan tenaga dari anak bangsa sendiri, dan dieksplorasi sendiri. Semuanya ini memerlukan kesabaran, karena tidak mungkin bangsa asing mau menyerahkan ilmu dan pengalamannya pada bangsa lain.

Dengan adanya sumberdaya manusia yang tersedia itu dimulai pembangunan di segala bidang dengan bidang yang disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun yang ditetapkan sejak 1954 yang menempatkan pertanian sebagai leading sector (sektor penentu). Kemudian dibangun Industri dasar yaitu bidang kimia dasar, industri baja dan penyediaan energi dasar yang massif. Dari situlah dibangun pabrik industri obat yaitu Kimia Farma, dibangun pabrik baja Krakatau Steel sebagai dasar pengembangan industri mekanik otomotif nasional.

Untuk kebutuhan irigasi dan energi dibangun bendungan raksasa seperti Jatiluhur, Karangkates dan proyek Asahan, dan sekaligus sebagai pembangkit tenaga listrik. Untuk pengembangan industri raksasa dan listrik murah serta untuk rekayasa pertanian dan untuk keperluan medis telah dibangun reaktor nuklir, hingga tahun 1965 Indonesia memiliki lima reaktor Nuklir, diprogramkan tahun 1970 telah dibangun PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) sebagai motor teknologi dan industri nasional.

Pembangunan PLTN itu dirancang untuk kemandirian energi, sehingga Indonesia bisa mengembangkan aneka industri. Untuk keperluan pertanian dan pertahanan dibangun pula industri pesawat terbang nasional Nurtanio. Semua pembangunan industri dasar tersebut di mulai pertengahan 1950-an. 1 Orde baru datang hanya meneruskan, itupun dijalankan dalam volume lebih kecil dengan dana sepenuhnya hutang.

Pembangunan ekonomi dan industri serta politik dirancang sebagai sarana pembangunan mental atau pendidikan karakter. Pembangunan ini dimulai dengan pembangunan pendidikan dari dasar hingga universitas. Untuk memperkuat mental dan rasa percaya diri bangsa, maka dibangunlah berbagai monumen kebangaan nasional, seperti Monumen Nasional (Monas), Stadion Raksasa Senayan, pembangunan Jembatan Semanggi, pembangunnan gedung pencakar Langit Wisma Nusantara. Semuanya dibangun selain unuk memenuhi kebutuhan politik, ekonomis dan administratif, juga bertujuan untuk membangun kebanggaan nasional, sehingga bangsa yang baru merdeka itu sejajar dengan bangsa lain yang lebih maju.

Tidak hanya pembangunan mental pendidikan ditujukan untuk membangun karakter, pembangunan fisik seperti pabrik, monumen semuanya juga dimaksudkan sebagai character building yang merupakan modal bagi nation building (pembangunan bangsa). Pembangunan proyek monumental itu bukan pemborosan di tengah kemiskinan, tetapi sebuah program pembangkit rasa percaya diri yang bisa menumbuhkan kreativitas bangsa.

Sementara itu pembangunan dalam bidang ekonomi, sebagai negara agraris, tentu pertanian menjadi dasar pengembangan ekonomi nasional. Tetapi pertanian modern yang intensif membutuhkan benih berkualitas, pupuk dan obat-obatan serta pengelolaan pasca panen, karena itulah perlu dibangun industri kimia dasar yang meproduksi benih dan obat-obatan serta pupuk. Tentu saja industri kimia dasar itu juga sebagai dasar pengembangan bidang kesehatan, yang tidak hanya mengembangkan western medicine (obat ala barat), tetapi juga berusaha keras mengembangkan eastern medicine yaitu berbagai macam pengobatan tradisional yang terbukti berdaya guna dalam penyehatan masyarakat.

Pengembangan pengobatan Nusantara ini digunakan untuk membangun kemandirian bidang kesehatan. Tetapi ketika orde baru datang, atas saran Lembaga Kesehatan Dunia WHO pengembangan pengobatan Nusantara dan semua yang berbau tradisi disingkirkan. Akibatnya Indonesia menjadi pasar obat internasional, karena tidak mengembangkan potensinya sendiri. Akibatnya sangat mengerikan, negeri penghasil bahan obatan ini 95 persen bahan obatan diimpor dari luar negeri. Semuanya ini akibat penyingkiran industri pengobatan Nusantara yang dilakukan Orde Baru yang maniak modernisasi dan anti tradisi.

Baca buku Kiai Abul Mun’im Dz, “Fragmen Sejarah NU, Menyambung Akar Budaya Nusantara” hlm. 1-6.

Lihat Katalog dan Info/Pesan Buku Di sini 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *