Dalam perjanjian Hudaibiyah, Nabi Muhammad saw rela tidak mencantumkan status kerasulannya dlm teks perjanjian demi “kompromi” dg Orang Kafir Quraish Mekah. Setahun kemudian Rasul saw kembali ke Mekah dg kemenangan yg dikenal “Futuh”. Makah”. Perdamaian selalu diawali dengan kompromi.

Barangkali karena pengetahuan saya yang terbatas, saya merasakan situasi sekarang belum kondusif, terasa was was. Masih ada rencana unjuk rasa disertai “ ancaman bernada keras “, menjadi indikasi belum semua aspirasi yg terkait omnibus law tersalurkan. Mereka yg mempunyai “ kepentingan “ biasanya akan ikut ndompleng.

Mengedepankan solusi hukum dg premise “negara hukum” tidak salah, tetapi harap diingat tidak semua konflik politik bisa diselesaikan secara hukum. Ketika “rasa keadilan terusik “ hukum menjadi mandul semisal “ibu tua miskin mencuri tiga buah cocoa dihukum 3 bulan”, masy menjadi marah. Ada istilah “bener tetapi tidak pener” atau benar terapi tidak patut secara etis karena tidak mencerminkan rasa keadilan sejati.

Kata para ahli , “politik adalah konflik yg dilembagakan, perlu seni untuk saling berkompromi “. Kompromi biasanya dimulai dari mereka yg berjiwa besar.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *