Saya selalu kagum pada para akademisi dan intelektual yang bekerja keras melahirkan istilah dan konsep-konsep baru yang kadang enak didengar seperti “koradikalisasi” ini.

Pekerjaan menyodorkan konsep dan istilah baru tidak mudah. Menurut John Gerring dari Universitas Boston, kekuatannya akan amat bergantung pada delapan syarat: keakraban, resonansi, kesederhanaan, keberbedaan, kedalaman, kegunaan teoretis dan kegunaan lapangan. Jika Gerring warga Nahdliyin, saya duga ia akan menambahkan satu syarat lagi agar pas menjadi sembilan.

Koradikalisasi dipopulerkan Douglas Pratt dari Universitas Waikato Selandia Baru. Bukan istilah yang nongol tahun ini. Dipopulerkan sejak 2015. Konsep itu kurang lebih menggambarkan fenomena “radikalisasi berbalas” dari masyarakat sekuler, sebagiannya masyarakat Kristen, sebagai bentuk penentangan dan ketakutan terhadap ekstremis Islam, jika bukan Islam atau Muslim. Islamopobia di Barat adalah contoh utama yang disebutnya sebagai koradikalisasi reaktif (reactive coradicalization).

“Mereka jarang ditentang. Mereka menjadi semakin biasa,” kata Pratt dalam artikelnya yang lugas “Bereaksi atas Islam: Islamopobia sebagai Bentuk Ekstremisme”. Mereka yang dirujuk Pratt tak lain kelompok sayap kanan ekstrem dan kuasi-Kristen. Ia mengatakan itu untuk menegaskan masalah faktor penting mengapa koradikalisasi ini mewabah. Dibiarkan! “Ketakutan pada yang lain, pada perbedaan dan kearagam adalah akar masalahnya,” katanya lagi.

Selain koradikalisasi, ada istilah lain yang menarik minat saya: radikalisme timbal-balik (reciprocal radicalism). Istilah yang memantik minat saya memahaminya ini pernah dibicarakan pada sebuah Workshop Pusat Riset dan Bukti tentang Ancaman Keamanan (CREST) Mei 2018 di London Inggris.

Radikalisme timbal-balik setidaknya merujuk dua fenomena. Pertama “perang kata-kata” atau eskalasi retorika. Kedua, tindakan kekerasan kelompok radikal sebagai bentuk reaksi atas radikalisme lainnya. Kelompok radikal ini merujuk beragam jenis. Dari kelompok ekstrem kanan atau kiri, kelompok keagamaan seperti kalanin islamis, gerakan nasionalis separatis, atau etnis tertentu.

Pesan pokok dua istilah ini sebetulnya sama saja: kekerasan tak dapat dijawab dengan kekerasan. Kekerasan hanya dapat diakhiri dengan empati, solidaritas, toleransi, dan dukungan atas nilai-nilai kemanusiaan.

Jika Anda ingin tahu lebih soal fenomena ini di Prancis ada baiknya bergabung dalam diskusi ini.

Kalimulya, 14 November 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *