Mengamalkan syariat itu supaya mudah memang perlu sanad. Karena dengan sanad itu, kita memiliki contoh yang akurat bagaimana mengamalkan suatu ajaran secara benar.

Dalam persoalan mengkritik tanpa membenci, mungkin di Indonesia, masih kurang sanad seperti ini. Kita memiliki budaya pakewuh yang lebih tinggi. Jadi, siapapun yang mengamalkan ajaran mengkritik kesalahan tokoh tanpa membenci memang agak sukar. Berkali-kali kita saksikan kritikan selalu dibalut kebencian yang tak wajar.

Namun alhamdulillahnya, para pelajar Al Azhar memiliki sanad itu banyak sekali. Kita sering sekali melihat dan membaca para masyayekh mengkritik pandangan dan sikap ulama lain. Tapi kita tak melihat ada guratan kebencian yang terpancar dari sana. Sehingga, mungkin kita mendapat pancaran haliyah ini sehingga biasa saja ketika mengkritik seorang tokoh tanpa membenci sedikitpun.

Dulu Syekh Ahmad Thayyib saat masih menjadi Rektor Universitas Al Azhar, bahkan pernah membawa ke pengadilan persoalan administrasi yang tak beliau setujui dari Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi, Syekhul Azhar, di zamannya. Kritikan beliau dibawa ke pengadilan hingga akhirnya Syekh Ahmad Thayyib, yang jabatannya tentu di bawah Syekhul Azhar, malah memenangkan kasus di pengadilan. Karena keduanya memang alim, ya biasa setelahnya. Syekhul Azhar menerima keputusan pengadilan, Syekh Ahmad Thayyib tetap hormat dengan Syekhul Azhar. Keadaan berjalan normal seperti biasa.

Kalau di Indonesia, membawa kasus seorang tokoh tertentu ke pengadilan, bisa-bisa menjadi awal dari pertempuran.

Mungkin karena contoh-contoh live seperti ini, saya melihat, santri Al Azhar biasa banget mengkritik suatu pandangan tokoh, tanpa perlu membencinya. Mereka bisa mengamalkan ajaran syariat ini dengan mudah.

Sepertinya syariat mengkritik tanpa membenci ini perlu juga disanadkan di Indonesia.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *