Categories:

Siti Nurhaliza1, Najmi Janani2, Aisyah Safiinatunnajah3

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. DR Hamka,
Jl. Limau II No.3 3, RT.3/RW.3, Kramat Pela, Kec. Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12210

  1. Email: snurhlza616@gmail.com
  2. Email: jananinajmi@gmail.com
  3. Email: aisyahsafiinaaa@gmail.com

ABSTRAK

            Artikel ini membahas peran depresi terhadap kesehatan mental, gejala dan tingkat keparahan depresi, serta hubungan antara agama, spiritualitas, dan depresi. Kami menyajikan informasi tentang bagaimana agama dapat menjadi sumber dukungan dan makna bagi individu serta menjelaskan perbedaan orientasi keagamaan ekstrinsik dan intrinsik. Tanda-tanda depresi seperti ketidakpuasan terhadap hidup, perasaan hampa, kurang semangat, dan gangguan kognitif dapat diidentifikasi pada tingkatan: ringan, sedang, dan berat. Artikel ini juga menyoroti peran agama dalam menanamkan pandangan positif terhadap kehidupan, membantu individu menemukan makna dan tujuan, serta memberikan dukungan sosial. Dalam konteks pengobatan depresi, artikel ini menekankan bahwa agama dapat memberikan dukungan emosional, namun juga dapat menimbulkan dampak negatif jika tidak dilakukan dengan benar. Ada perbedaan besar antara mereka yang berorientasi agama ekstrinsik, yang cenderung memanfaatkan agama untuk kepentingan pribadi, dan mereka yang berorientasi intrinsik, di mana agama menjadi bagian integral dari identitas dan nilai-nilai kehidupannya. Artikel ini menyoroti bahwa agama tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental, tetapi juga bagaimana orang memaknai agama dalam kehidupannya. Masalah kesehatan mental dan stigma terkait agama juga dibahas sebagai faktor yang dapat mempengaruhi cara seseorang mencari dukungan. Penting untuk dipahami bahwa depresi adalah masalah kesehatan mental yang kompleks dan mungkin memerlukan pendekatan holistik. Baik dukungan sosial dari komunitas keagamaan maupun perawatan psikiatri profesional dapat membantu orang mengatasi tantangan depresi.

ABSTRACT

This article discusses the role of depression on mental health, the symptoms and severity of depression, and the relationship between religion, spirituality and depression. We present information on how religion can be a source of support and meaning for individuals and explain the difference between extrinsic and intrinsic religious orientation. Signs of depression such as dissatisfaction with life, feelings of emptiness, lack of enthusiasm, and cognitive impairment can be identified at levels: mild, moderate, and severe. The article also highlights the role of religion in instilling a positive outlook on life, helping individuals find meaning and purpose, and providing social support. In the context of depression treatment, the article emphasises that while religion can provide emotional support, it can also have a negative impact if not done correctly. There is a big difference between those with an extrinsic religious orientation, who tend to utilise religion for personal gain, and those with an intrinsic orientation, where religion becomes an integral part of their identity and values. This article highlights that religion not only affects mental health, but also how people interpret religion in their lives. Mental health issues and stigma related to religion are also discussed as factors that can influence how a person seeks support. It is important to understand that depression is a complex mental health issue and may require a holistic approach. Both social support from faith communities and professional psychiatric care can help people overcome the challenges of depression.

PENDAHULUAN

Dalam era modern ini, kesehatan mental menjadi perhatian utama di tengah masyarakat yang semakin kompleks dan cepat berubah. Salah satu aspek penting dalam kesehatan mental adalah depresi, sebuah kondisi yang dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang secara signifikan. Di sisi lain, aspek spiritualitas dan tingkat religiusitas juga menjadi fokus perhatian, terutama dalam konteks pemberdayaan individu untuk mengatasi tantangan kehidupan.

          Terdapat beberapa studi yang telah dilakukan untuk mengeksplorasi korelasi antara tingkat religiusitas dan depresi. Hasil dari penelitian ini bervariasi tergantung pada metodologi, populasi yang diteliti, dan faktor-faktor lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara religiusitas dengan penurunan tingkat depresi, sementara yang lain menemukan bahwa hubungan tersebut tidak terlalu jelas. Mereka berpendapat bahwa individu yang religious juga dapat mengalami tingkat depresi yang tinggi, dan beberpa penelitian bahkan meenmukan adanya konflik dalam keyakinan agama yang dapay menyebabkan stress tambahan. Di antara individu, tingkat keagamaan dapat bervariasi, dank arena itu, efeknya terhadap depresi juga dapat berbeda-beda.

          Penting untuk dicatat bahwa korelasi antara religiusitas dan depresi adalah subjek yang kompleks, dan banyak faktor lainnya juga dapat berkontribusi terhadap tingkat depresi seseorang, termasuk faktor genetik, lingkungan, pengalaman hidup, dan faktor psikologis. Bagi individu yang mengalami depresi atau masalah mental lainnya, penting untuk mendapatkan bantuan profesional dari tenaga medis atau terapis yang berkualifikasi untuk mendapatkan perawatan yang sesuai.

          Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi dan menganalisis korelasi antara depresi dan tingkat religiusitas. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana keterlibatan dalam aktivitas keagamaan dapat memengaruhi kesehatan mental, khususnya dalam mengurangi tingkat depresi. Apakah hubungan antara kedua faktor ini bersifat kausal atau hanya berkaitan secara statistik? Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang korelasi depresi dan tingkat religiusitas, kita dapat meraih wawasan yang lebih baik tentang peran spiritualitas dalam menjaga keseimbangan kesehatan mental.

PEMBAHASAN

Dalam era modern ini, kesehatan mental menjadi perhatian utama di tengah masyarakat yang semakin kompleks dan cepat berubah. Salah satu aspek penting dalam kesehatan mental adalah depresi, sebuah kondisi yang dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang secara signifikan. Di sisi lain, aspek spiritualitas dan tingkat religiusitas juga menjadi fokus perhatian, terutama dalam konteks pemberdayaan individu untuk mengatasi tantangan kehidupan.

Banyak tanda-tanda depresi yang bisa kita lihat secara langsung, diantaranya tidak puas dengan kehidupan, sering merasa bosan, banyak meninggalkan kegiatan atau minat, merasa kehidupannya kosong, sering merasa bosan, tidak mempunyai semangat setiap harinya, sellau ketakutan sesuatu yang buruk, tidak merasa bahagia, tidak suka mengerjakan hal baru, senang berdiam diri di rumah, mempunyai banyak masalah dengan daya ingat, merasa tidak berharga, dan berpikir bahwa keadaan dirinya paling buruk dari orang lain. Selain mengetahui tanda-tanda depresi, kita juga perlu tau bahwa depresi memiliki tingkat. Tingkatan yang pertama, depresi ringan yaitu sementara, alamiah, adanya rasa pedih perubahan proses piker komunikasi social dan rasa tidak nyaman. Tingkatan yang kedua depresi sedang yaitu afeknya murung, cemas, kesal, marah dan menangis sedangkan proses berpikirnya menjadi lambat, kurang komunikasi, perasaan sempit dan komunikasi non verbal meningkat. Dalam depresi tingkatan kedua, pasrtisipasi sosial penderita jadi lebih menarik diri tak mau melakukan kegiatan dan mudah tersinggung. Dan depresi tingkatan yang ketiga yaitu Depresi Berat memiliki gangguan afek pada pandangan yang kosong, perasaan hampa, murung serta inisiatif yang berkurang. Pada tingkatan ini juga adanya gangguan proses berpikir, bisa diam dalam waktu yang lama, bisa tiba-tiba hiperaktif, kurang merawat diri, tidak mau makan dan minum, menarik diri, tidak peduli dengan lingkungan.

Dalam kehidupan sehari-hari, agama diperlukan untuk mengatur dan mengendalikan sikap, pandangan hidup dan cara untuk menghadapi setiap masalah dalam semua aspek kehidupan. Seseorang yang memiliki keyakinan yang kuat kepada Yang Maha Kuasa akan memiliki cara pandang yang positif terhadap setiap masalah  yang dihadapi, tidak melakukan hal-hal yang merugikan dan bertentangan dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Dengan pikiran yang positif, dapat mencegah seseorang dari depresi. Agama dapat membantu manusia ketika manusia dapat tujuan serta makna hidup dalam agama tersebut, misalnya menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menyebarkan cinta kasih di dunia. Dengan memiliki tujuan yang kuat, seberat apapun rintangan yang dihadapi orang tersebut, ia percaya bahwa Tuhan selalu bersamanya dan menolongnya.

Agama juga memberikan dukungan sosial bagi setiap penganutnya. Seseorang yang beragama dan sering mengunjungi tempat ibadah kemungkinan besar memiliki kelompok dukungan sosial, untuk mendukung kesehatan mental dan tubuh sehingga memperpanjang usia harapan hidupnya. Di dalam agama juga ada sosok inspirasi atau panutan bagi pengikutnya, Apabila seseorang benar-benar meyakini dan meresapi kisah-kisah  tersebut, agama dapat menjadi penguat dikala musibah datang di kehidupan.

            Ada anggapan bahwa orang yang tidak dekat dengan Tuhan rentan mengalami depresi. Faktanya, banyak umat beragama yang merasa dirinya berdosa, memendam perasaan bersalah, jarang beribadah kepada Tuhan, dan sering melupakan Tuhan, sehingga mendapat hukuman dari Tuhan. Sebuah penelitian selama 10 tahun di Universitas Columbia menemukan bahwa orang yang memikirkan agama dan spiritualitas lebih kecil kemungkinannya untuk menderita depresi dibandingkan mereka yang tidak menghargai agama atau spiritualitas. Namun penelitian tersebut juga menemukan bahwa frekuensi ibadah keagamaan tidak berpengaruh terhadap depresi.

            Spiritualitas sedikit berbeda dengan agama. Meskipun religiusitas ditentukan oleh sejauh mana kita mengidentifikasi diri dengan agama yang kita yakini, spiritualitas adalah hubungan dengan diri kita sendiri (makna dan tujuan hidup), dengan lingkungan kita dan orang lain, serta dengan emosi yang transenden.

            Dorothy Rowe, pakar depresi terkemuka, menyamakan depresi dengan sistem peringatan diri kita. Sistem peringatan ini merupakan anugerah penting bagi umat manusia. Tanpanya, kita bisa tersesat dan kehilangan akar kita. Ia merupakan salah satu psikolog yang tidak sependapat dengan orang-orang yang hanya mengandalkan obat-obatan untuk menyembuhkan depresi. Ia dengan tegas menyatakan di awal bukunya bahwa obat untuk depresi adalah kebijaksanaan, bukan obat. Depresi dikatakan sebagai penyakit dengan gejala yang beragam. Namun, kali ini kita akan melihat depresi sebagai gejala kehidupan yang cepat berlalu. Louise Hay, penulis hubungan kesehatan fisik dan mental, juga menyatakan bahwa semua penyakit (termasuk penyakit fisik) merupakan mekanisme pikiran bawah sadar manusia. Penyakit mungkin menunjukkan pola pikir yang salah atau emosi negatif yang belum terselesaikan (tulisan Louise Hay dibahas dalam bab “Penyakit Fisik”).

            Jika dicermati lebih jauh, hubungan antara agama dan depresi adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Orang yang beragama memiliki pemahaman yang baik tentang Tuhan, yang memberi mereka ketenangan pikiran secara psikologis. Persepsi positif yang dapat disampaikan oleh agama antara lain bahwa Tuhan itu sangat baik, bahwa Tuhan selalu mencintai umatnya, dan kasih sayang Tuhan terhadap umatnya sangat besar. Namun, umat beragama juga bisa mempunyai pemikiran negatif terhadap Tuhan. Salah satu persepsi negatifnya adalah semua bencana terjadi karena Tuhan murka terhadap hambanya. Segala dosa manusia akan dicatat dan disiksa dengan siksa kubur dan neraka. Persepsi negatif seperti itu menimbulkan perasaan takut dan bersalah yang menjangkiti masyarakat. Pertanyaan yang harus kita tanyakan pada diri kita adalah: apakah kita menyembah Tuhan karena kita mengasihi Dia, ataukah kita beribadah karena takut neraka? Pertanyaan selanjutnya: Apa arti ibadah bagi kita? Faktanya, alasan ibadah dan keyakinan kita mempunyai dampak psikologis yang sangat kuat. Oleh karena itu, sebelum depresi “menerpa” Anda, ada baiknya Anda memikirkan alasan Anda percaya kepada Tuhan dan tujuan Anda.

            Agama tidak hanya memberikan banyak manfaat bagi kesehatan manusia, namun jika dipraktikkan secara tidak benar, agama juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kesehatan mental. Pertama, agama seharusnya mengajarkan kasih sayang, namun sebagian orang tumbuh dengan pandangan negatif terhadap orang di luar agamanya, seperti kebencian, ketidakpercayaan, dan kemarahan. Faktor kedua: Ada orang beriman tapi tidak mengamalkannya. Mereka yang menganggap agama sebagai perintah dan berdoa agar tidak menjadikan agama sebagai tujuan hidup, memandang agama hanya sebagai ritual dan tidak merasakan manfaat hidup yang sesungguhnya. Ketiga, penderita penyakit jiwa takut membuka diri dan meminta pertolongan karena stigma yang terkait dengan keyakinannya. Stres psikologis yang mereka alami, seperti depresi, kecemasan, dan kepanikan, dipandang sebagai akibat kurangnya keintiman dengan Tuhan. Mereka bahkan mungkin ditegur karena tidak beragama. Teguran ini dapat meningkatkan tekanan psikologis mereka. Sebagai orang beriman, sering kali kita menjadikan agama sebagai jalan pintas untuk membantu orang lain. Kami meminta mereka untuk mendekatkan diri kepada Tuhan tanpa pemahaman yang mendalam terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Nasihat ini mungkin membuat mereka skeptis terhadap agama atau bahkan membuat mereka semakin merasa bersalah karena tidak memahami agama atau Tuhan.

            Para peneliti di bidang psikologi dan agama membagi cara masyarakat meyakini agamanya menjadi dua arah: berorientasi ekstrinsik dan berorientasi intrinsik. Hal ini mengacu pada sifat, kualitas, dan fungsi komitmen keagamaan seseorang. Orang yang pada dasarnya beragama memperluas makna agama lebih dari sekadar ritual. Mereka menggunakan agama sebagai pedoman dan menjadikan hidupnya sebagai objek ibadah. Agama memainkan peran besar dalam pola makan, kehidupan pribadi, pekerjaan, dan tujuan hidup kita. Sedangkan orientasi ekstrinsik adalah ketika agama digunakan untuk sosialisasi, untuk memperoleh manfaat sosial, untuk memperoleh status dalam masyarakat, untuk membenarkan atau membenarkan tindakan, untuk meningkatkan rasa percaya diri, harga diri, dan harga diri. Ketika digunakan hanya sebagai alat untuk meningkatkan kepercayaan diri. Dalam teologi, umat beragama yang berorientasi ekstrinsik adalah mereka yang menjaga harga diri sambil beribadah kepada Tuhan.

            Berbeda dengan orang yang berorientasi intrinsik yang menjadikan agama sebagai bagian integral dari identitasnya, orang yang berorientasi ekstrinsik menjadikan agama sebagai status terpisah dari identitasnya. Misalnya, kita mengandalkan agama ketika kita berpakaian sesuai agama, menghadiri tempat ibadah, dan berpartisipasi dalam pertemuan sosial. Namun mereka menyimpang dari agama ketika mereka marah, menyerang, berbuat curang dalam bisnis, berbuat jahat kepada orang lain, atau membalas dendam. Setiap orang mempunyai cara yang berbeda-beda dalam mengamalkan agama dan memperoleh ilmu agama. Kedua kategori umat beragama ini setidaknya menunjukkan betapa berbedanya kualitas hidup antara umat beragama ekstrinsik dan beragama intrinsik.

            Orang yang beragama dengan orientasi ekstrinsik cenderung menerima agama secara dogmatis. Mereka mengikuti ajaran tanpa memikirkannya secara kritis dan mendalam. Oleh karena itu, mereka hanya mengikuti ajaran yang diyakininya, meskipun keyakinannya salah. Misalnya, beberapa pemimpin agama menyatakan bahwa Tuhan membenci orang yang tersesat. Kategori orang tersesat dalam konteks ini adalah mereka yang menganut agama dan kepercayaan lain. Mereka yang menerima pernyataan ini begitu saja akan merasakan kebencian terhadap penganut agama lain di dalam hatinya. Namun kebencian itu tidak mengganggunya, karena agama terpisah darinya. Mereka boleh saja mengabaikan pernyataan pemuka agama jika tidak menimbulkan kebencian di hati mereka. Dengan cara ini, mereka akan memanfaatkan aspek-aspek baik agama dan meninggalkan apa yang tidak sesuai bagi mereka. Pilihan ini muncul karena agama dipandang sebagai sesuatu yang bisa dipilih atau ditinggalkan oleh anggotanya, dibandingkan menjadikan agama sebagai bagian integral dalam kehidupan.

            Mereka yang merasa benci tetap beriman (beribadah, beramal shaleh), namun sebisa mungkin menghindari interaksi dengan pemeluk agama lain. Orang-orang seperti itu memiliki banyak konflik batin dan nilai-nilai yang bertentangan dalam hidupnya, yang tidak dapat mereka jelaskan atau jawab. Sebaliknya, orang dengan orientasi intrinsik berpikir sangat intensif tentang agama dan keyakinannya karena keyakinannya tertanam dalam citra dirinya. Ketika mereka mendengar seorang pemuka agama mengatakan sesuatu, mereka tidak serta merta menelan mentah-mentah. Mereka berpikir dengan sangat hati-hati dan mengkaji kitab suci yang digunakan oleh para pemimpin agama. Kami kemudian menafsirkan cerita di balik puisi tersebut, mempertanyakan relevansinya dengan situasi kita saat ini dan mempertimbangkan jenis interpretasi yang sesuai untuk kehidupan modern. Jika tuturan seorang pemuka agama mengajarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, maka ia akan sangat prihatin. Orang dengan orientasi intrinsik ibarat “agama yang berjalan” karena setiap tindakan dan keputusan yang diambilnya dalam hidup sejalan dengan nilai-nilai yang diyakininya.

            Orang-orang dengan orientasi keagamaan memiliki kesehatan mental yang lebih sehat, memiliki skor depresi yang lebih rendah, dan secara keseluruhan 15% lebih sehat secara emosional. Orang dengan orientasi intrinsik juga cenderung lebih toleran, menerima, altruistik, dan memiliki tujuan serta makna hidup yang lebih kuat dibandingkan mereka yang berorientasi ekstrinsik. Orang intrinsik juga lebih bertanggung jawab atas keyakinannya. Mereka lebih peka terhadap orang lain dan peduli pada masalah moral. Di sisi lain, masih terdapat perdebatan mengenai orang yang berorientasi ekstrinsik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan orientasi ekstrinsik memiliki banyak konflik internal sehingga lebih rentan terhadap berbagai masalah psikologis.

            Beberapa orang tetap menganut agama yang sama meski arahnya berubah. Misalnya, sebelum mengalami depresi, masyarakat memiliki orientasi keagamaan yang ekstrinsik. Ketika seseorang mengalami depresi, ia memutuskan orientasi eksternalnya dan menetapkan orientasi esensial terhadap agama. Dengan cara ini, pemahaman masyarakat terhadap agama akan berubah total dan agama semakin menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat. Orang lain menemukan keyakinan baru. Biasanya tipe orang seperti ini melakukan pencarian spiritual dan mempelajari semua agama. Ketika dia bertemu dengan orang-orang yang berbeda agama, dia menunjukkan sisi kemanusiaannya yang normal. Beberapa orang akhirnya memutuskan untuk meninggalkan agama dan gagasan tentang Tuhan. Biasanya orang-orang dalam kelompok ini memiliki pola asuh yang sangat ketat terhadap agama sehingga memiliki rasa bersalah yang kuat. Setelah mengalami depresi, ia mengetahui bahwa salah satu penyebab depresinya adalah kesalahpahaman terhadap agama.

            Proses didikan yang terlalu meneror juga dapat membuat seseorang merasa tertekan, tidak ikhlas dalam menjalani agamanya, mencintai tuhannya dan beragama karena adanya rasa takut karena seperti “terror” dalam kehidupan. Banyak remaja masa kini yang hanya beribadah karena takut kepada orangtuanya, atau hanya agar mendapatkan kekayaan di dunia. Semakin agama didalami, semakin terror itu  berasa karena banyak pernyataan-pernyataan seperti; harus sholat, jika tidak Tuhan akan membakarmu dan jika tidak sholat amaka semua kebaikan sia-sia. Itu adalah kata-kata ancaman, membuat persepsi seakan-akan Tuhan adalah penghukum. Padahal Tuhan adalah keagungan yang harus dicintai. Tuhan ada di setial sel hambanya, di setiap atom dan ruang hampa yang menyusun semesta. Juga sudah seharusnya seorang hamba beriman kepada-Nya tanpa rasa takut yang mencekam, tanpa meminta hadiah atau demi menjauhi neraka. Beriman kepada Tuhan karena mencintai-Nya dan ingin selalu berada di Jalan-Nya karena jalan itu penuh keindahan dan ketentraman.

            Maka korelasi antara depresi dan tingkat religius tidak selain berkaitan, justru banyak orang yang depresi atau merasa tekanan karena salah dalam konsep beriman kepada Tuhan. Karena depresi adalah mekanisme alam bawah sadar manusia untuk menampar dirinya sendiri bahwa ada yang salah di hidupnya dan menjadi pengingat bahwa ia tidak memerankan potensi terbaiknya—bahwa ia terejebak dalam lingkungan dan pola pikir yang salah. Oleh karena itu, orang yang rajin beribadah pun bisa mengalami depresi jika salah memaknai iman dalam dirinya.

            Banyak hal yang mempengaruhi depresi namun kita dapat mencegah depresi dengan mengubah makna hidup kita. Mengubah makna hidup dengan berbagai cara, yang pertama adalah jalur “imajinatif”, atau makna hidup, yang diperoleh dengan melakukan kreativitas dan menghasilkan karya, seperti menulis buku, melakukan penelitian, menggubah musik, atau mendirikan perusahaan.Viktor Frankl bertemu dengan orang-orang yang mengalami depresi hingga berpikir untuk bunuh diri, namun memilih bertahan karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Mereka ingin meninggalkan pekerjaan ini sebagai warisan kepada dunia. Metode kedua adalah metode “experiential”. Artinya, kita merasakan makna hidup melalui pengalaman, seperti merasakan cinta, berhubungan dengan orang lain, berhubungan dengan alam, atau sekadar mengunjungi suatu tempat. Contohnya, kekasihku berkata bahwa dia menemukan makna hidupnya setelah dia mulai merawat kucing-kucing liar di sekitarnya rumahnya.Merasakan keterhubungan dengan kucing-kucing kota memberi makna di tengah kehidupan yang hampa. Ketiga, tentang sikap (attitudinal) memiliki sikap positif yang memberi makna pada hidup apa pun yang terjadi. Cara ini biasanya digunakan oleh orang-orang yang mengalami penderitaan yang tidak dapat dihindari (misalnya di kamp tawanan perang Nazi) atau oleh orang-orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan belum dapat melepaskan diri dari penyakit tersebut. Tapi kita bisa memilih sikap kita terhadap keadaan hidup ini dan mengisinya dengan makna. Viktor Frankl sendiri memilih untuk memberi makna pada peristiwa di kamp konsentrasi Dengan tiga cara ini orang memberi makna pada kehidupan mereka, yang seringkali mengikat mereka pada kehidupan dan menghalanginya untuk berakhir. Alangkah indahnya jika kita semua bisa menemukan makna dalam hidup kita. Salah satu dari ketiganya dapat menjadi alat yang berguna.

            Cara yang lain adalah dengan bermimpi, berkarya, dan berbahagia. Memiliki keinginan bahagia semakin membuat jauh dari depresi, bermimpi untuk mengembangkan usaha, organisasi dan lain lain membuat kita semakin memiliki alasan yang kuat untuk hidup lebih lama. Berkarya juga membuat stress kita bisa berkurang, seperrti menulis,menggambar, melukisa dan lain-lain.

            Stigma seputar masalah kesehatan mental dan agama dapat memengaruhi cara orang mencari dukungan. Penting untuk dipahami bahwa depresi adalah masalah kesehatan mental kompleks yang memerlukan pendekatan pengobatan holistik. Agama mungkin menjadi sumber dukungan bagi sebagian orang, namun banyak yang memerlukan perawatan profesional dan dukungan medis. Saat menangani depresi dan keterlibatan keagamaan, penting untuk mempertimbangkan keragaman pengalaman individu dan menerapkan pendekatan yang sensitif secara budaya dan spiritual. Baik dukungan sosial dari komunitas keagamaan maupun perawatan psikiatri profesional dapat membantu orang mengatasi tantangan depresi.

KESIMPULAN

            Artikel yang telah disajikan membahas korelasi antara tingkat religiusitas dan depresi dalam konteks kesehatan mental. Terdapat banyak nuansa yang diuraikan, dan beberapa poin dapat diambil sebagai kesimpulan dari artikel ini:

  1. Kompleksitas Hubungan: Korelasi antara tingkat religiusitas dan depresi adalah subjek yang kompleks. Studi menunjukkan hasil yang bervariasi tergantung pada faktor-faktor seperti metodologi penelitian, populasi yang diteliti, dan faktor-faktor lainnya.
  2. Dukungan dari Aspek Spiritualitas: Agama dan spiritualitas dapat memberikan dukungan sosial, struktur, dan makna hidup bagi individu, yang dapat membantu mengatasi tantangan mental seperti depresi. Bagi sebagian orang, keyakinan agama dan keterlibatan dalam praktik keagamaan dapat memberikan ketenangan pikiran.
  3. Variabilitas Individual: Pengalaman spiritual dan agama sangat individual dan dapat berbeda-beda. Efeknya terhadap depresi juga bisa sangat bervariasi antarindividu.
  4. Perlu Pendekatan Holistik: Depresi adalah masalah kesehatan mental yang kompleks, dan perawatan yang efektif melibatkan pendekatan holistik yang mencakup dukungan dari komunitas keagamaan serta perawatan profesional dari tenaga medis atau terapis yang berkualifikasi.

            Peran Orientasi Agama: Ada perbedaan antara individu yang memiliki orientasi keagamaan ekstrinsik (menggunakan agama untuk kepentingan sosial atau status) dan intrinsik (mengintegrasikan agama sebagai bagian integral dari identitas). Orang yang

memiliki orientasi intrinsik cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik.

            Pentingnya Makna Hidup dan Tujuan: Mencari makna hidup, baik melalui kreativitas, pengalaman, maupun sikap positif, dapat membantu mengurangi risiko depresi dan memberikan dorongan untuk menjalani kehidupan.

            Pengaruh Negatif Agama: Meskipun agama dapat memberikan banyak manfaat, jika tidak dipraktikkan dengan benar, dapat pula menjadi faktor yang mempengaruhi kesehatan mental. Stigma seputar masalah kesehatan mental dalam lingkup agama juga bisa mempengaruhi cara individu mencari dukungan.

            Dalam kesimpulannya, artikel ini menyoroti kompleksitas hubungan antara tingkat religiusitas dan depresi serta pentingnya pendekatan holistik dalam mengatasi tantangan kesehatan mental. Dalam menghadapi depresi, perlu mempertimbangkan keragaman pengalaman individu dan menerapkan pendekatan yang sensitif secara budaya, spiritual, dan profesional.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *