Jaringansantri.com, Banyuwangi –
Korespodensi atau surat menyurat merupakan media komunikasi yang telah dilakukan sejak berabad silam. Tak terkecuali dilakukan oleh para ulama di Nusantara dengan para ulama di pelbagai daerah. Bahkan hingga ke mancanegara.

Salah satu bentuk korespodensi tersebut, mengupas soal keagamaan. Seperti halnya ulama asal Nusantara menanyakan suatu hukum atau meminta fatwa atas suatu hal dalam perspektif hukum Islam (syar’i). Tak ayal, dari fenomena korespodensi demikian, melahirkan genre literasi baru. Yakni, surat-surat fatwa yang sarat dengan ilmu. Surat jawaban yang tak sekedar menceritakan satu dua hal. Tapi, mendedah suatu pengetahuan.

Fenomena korespodensi inilah yang coba dipotret oleh Ahmad Ginanjar Sya’ban dalam bukunya, ‘Mahakarya Islam Nusantara’. Buku yang memberikan ulasan terhadap berbagai literatur yang berkaitan dengan Islam Nusantara itu, tidak hanya mengkaji kitab-kitab saja, tetapi juga korespodensi ini. Sebagaimana termaktub dalam sub-judul bukunya, ‘Kitab, Naskah, Manuskrip dan Korespodensi Ulama Nusantara’.

Sebagaimana awal dikemukakan, tulisan ini pun mencoba merangkum fenomena korespodensi yang coba disajikan oleh Ajengan Ginanjar dalam bukunya tersebut. Karya-karya hasil korespodensi itu, biasa disebut dengan ‘risalah’.

Hasil korespodensi tertua adalah “Al-Ajwabat Al-Gharawiyyah li Al-Masail Al-Jawiyyah Al-Juhriyyah”. Risalah ini, ditulis oleh Syekh Burhanuddin Ibrahim bin Hasan Al-Kurnani (W. 1689) pada 1079 H/ 1659 M. Hal ini untuk menjawab surat dari ulama yang berasal dari Johor yang kala itu terhitung bagian dari “Jawa/ Nusantara” (kini masuk Malaysia).

Risalah berikutnya adalah “Ithaf Al-Dzaki Syarah Tuhfah Al-Mursalah” yang ditulis oleh ulama yang sama dengan yang menulis risalah di atas. Kitab ini sendiri merupakan jawaban atas berbagai pertanyaan tentang faham panteisme (wahdatul wujud). Syekh Ibrahim Al-Kurani menulisnya lebih awal dari yang sebelumnya, yakni 1076 H/ 1665 M.

Risalah ketiga masih karya dari Syekh Ibrahim Al-Kurani. Yaitu, “Kasyf Al-Muntazhir li Ma Yarahu Al-Muhtadhir”. Kitab ini ditulis dalam rangka merespon surat-surat yang datang dari Nusantara. Isinya berupa pertanyaan tentang status hukum Islam mengenai tradisi menjemput kematian yang lumrah dilakukan oleh masyarakat Nusantara kala itu.

“Risalah Abdul Ghani fi Hukm Syath Al-Wali” merupakan karya dari korespodensi yang selanjutnya dibahas. Sebagaimana tertera dalam judulnya, risalah ini ditulis oleh Syaikh Abdul Ghani bin Ismail Al-Nablusi Al-Dimasyqi (W. 1641 H/ 1731 M). Risalah yang ditulis pada 1139 H itu, mengupas tentang teosofi dan panteisme. Ulama asal Damaskus itu, mengembangkannya dari risalah yang terlebih dahulu ditulis oleh gurunya, Syekh Ibrahim Al-Kurani, sebagaimana dijelaskan di awal.

Yang bisa disebut sebagai karya korespodensi adalah “Muhimmat Al-Nafais” yang disunting oleh Abdussalam bin Idris dari Aceh. Kitab yang selesai dianggit pada 1305 H ini, merupakan kumpulan fatwa Syekh Zaini Dahlan dan mufti-mufti Syafi’iyah lainnya di Mekkah tentang berbagai pertanyaan dari Nusantara. Tentu saja, ada diantara pertanyaan tersebut yang disampaikan melalui surat, bukan?

Korespodensi ulama Nusantara juga menghasilkan sebuah karya berjudul “Al-Tuhfah Al-Mardhiyyah fi Hukm Tarjamah Al-Qur’an ila Al-Lughah Al-Ajnabiyyah”. Risalah ini ditulis oleh Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad bin Ali Quds Al-Makki (w. 1915 M). Isinya tentang fatwa menafsiri dan menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa-bahasa Nusantara.

Yang terakhir, pembahasan dari sebuah karya yang berawal dari korespodensi adalah “Al-Ajwibah Al-Makkiyyah ala Al-As’ilah Al-Jawiyyah”. Kitab ini ditulis oleh Syekh Abdullah bin Abdurraman Siraj pada 1340 H. Kitab yang membahas tentang persoalan furuiyah yang diajukan oleh beberapa ulama Nusantara. Salah satu ulama yang bertanya adalah Kiai Syamsudin atau lebih dikenal dengan nama Kiai Saleh Lateng Banyuwangi.

***

Berbagai bahasan tersebut, tentu akan semakin menarik saat didiskusikan langsung bersama penulis bukunya, Ajengan Ahmad Ginanjar Sya’ban. Fenomena korespodensi ulama Nusantara dengan ulama Hijaz ini, menginformasikan apa saja kah? Memberikan makna apa terhadap pengembangan Islam Nusantara? dan sederet pertanyaan lain, mungkin, yang bisa kita kemukakan kala bersua langsung.

Untuk itu, jangan lewatkan bedah buku “Mahakarya Islam Nusantara: Kitab, Naskah, Manuskrip dan Korespodensi Ulama Nusantara”, besok (10/9), siang (13.00 WIB) di Aula Kantor PCNU Banyuwangi (Jl. Ahmad Yani, No. 59 Banyuwangi).

Lebih menariknya lagi, sang penulis buku yang juga Direktur Islam Nusantara Center (INC) ini, akan mengupas sebuah risalah yang baru saja ditemukan, yakni risalah yang ditulis oleh Kiai Asnawi Kudus kala masih bermukim di Mekkah untuk ulama-ulama di Nusantara. Risalah itu, lebih menariknya lagi, ditemukan dalam koleksi Kiai Saleh Lateng.

Apa sebenarnya peran dan posisi Kiai Saleh Lateng ini, dalam fenomena korespodensi ulama Nusantara dengan ulama di Hijaz sana? Tentu, ini pertanyaan yang patut dibahas pada bedah buku Mahakarya Islam Nusantara di Aula PCNU Banyuwangi, 10 Sept 2017

(Ayung Notonegoro)

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *