Pada tanggal 2 Syawwal 1245 H, bertepatan dengan tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap atas tipu daya Belanda di rumah Residen Kedu Magelang, termasuk para pengawalnya juga dilucuti. Ketika laskar Dipanegara kalah, banyak pengikutnya yang menyembunyikan diri di kawasan pedesaan untuk mengajar santri. Jaringan laskar kiai kemudian bergerak dalam dakwah dan kaderisasi santri. Di antara prajurit pengawalnya yang sempat meloloskan diri dari kejaran Belanda adalah Raden Hadiwijaya yang kemudian menyamar dengan nama samaran KH. Muntaha bin Nida’ Muhammad (w. 1860).

Menurut catatan silsilah, R. Hadiwijaya merupakan putra Raden Ayu (Nyai) Puspowijoyo binti R.A. (Nyai) Muhammad Shalih binti R.M. Sandiyo BP Ngabehi Kyai Muhammad Ihsan atau Kyai Nur Iman Mlangi (KGP Angabehi Kartosuro) bin R.M. Suryo Putro (Hamangkurat IV) atau Kyai Syaikh Syamsuddin atau Kyai Wongso Taruno, dengan isteri R. Rr. Irawati binti Surowiroaji atau Untung Suropati (Tumenggung Wiranegara Pasuruan).

Pada tahun 1832, R. Hadiwijaya atau yang sudah menggunakan nama KH. Muntaha tiba di Dusun Karangsari, Desa Kalibeber yang waktu itu sebagai ibu kota Kawedanan Garung. Ia diterima Mbah Glondong Jogomenggolo dan mendirikan masjid serta padepokan santri di Dusun Karangsari, Ngebrak, Kalibeber, dipinggir sungai Prupuk yang sekarang dijadikan makam keluarga kyai. Padepokan santri inilah yang kelak menjadi cikal bakal PPTQ. Al-Asy’ariyah.

Pada waktu itu, masyarakat Kalibeber belum banyak yang menganut agama Islam, sebagian besar mereka masih menganut agama Hindu dan Budha. Dengan ketekunan dan kesabaran Kyai Muntaha, secara berangsur-angsur masyarakat Kalibeber mulai memeluk agama Islam. Mereka juga mulai meninggalkan kebiasaan buruknya, seperti berjudi, menyabung ayam, minum alkohol, dan perbuatan maksiat lainnya.

Padepokan di tepi sungai Prupuk tersebut merupakan cikal bakal berdirinya PPTQ. Al-Asy’ariyyah. Pada masa-masa awal, pondok pesantren tersebut hanya mempunyai beberapa santri saja. Ilmu pokok yang diajarkan adalah baca tulis al-Qur’an, tauhid, dan fiqih. Para santri di samping belajar ilmu agama, juga mendapatkan ilmu kanuragan. Ilmu kanuragan ini sangat penting, terutama untuk menghadapi penjajah Belanda. 

Samsul Munir Amin dalam Biografi KH. Muntaha Al-Hafidz: Ulama Kharismatik Pencetus Mushaf Al-Qur’an Akbar (2018:8-10) menjelaskan bahwa padepokan santri yang didirikan oleh Kyai Muntaha lama-kelamaan tidak mampu menampung santri dan juga sering terjadi banjir, maka kegiatan pengajian agama Islam dipindahkan ke kompleks Pecinan, tepatnya di Dusun Kauman, Kalibeber. Dengan berpindahnya padepon Kaliprupuk ke komplek Pecinan ini, maka orang-orang yang tidak mau memeluk agama Islam kemudian banyak yang meninggalkan Kauman Kalibeber. Bahkan di bagian selatan Masjid Baiturrahim yang semula dihuni oleh orang-orang Cina, akhirnya ditinggalkan penghuninya. Lambat-laun daerah ini menjadi daerah yang dihuni oleh masyarakat pemeluk agama Islam yang belajar kepada Kyai Muntaha bin Nida Muhammad.

Kyai Muntaha I atau R. Hadiwijaya wafat pada tahun 1860, setelah 28 tahun memimpin pesantren. Jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan isterinya, Ny. Nida Muhamamd di Makam Pare Kranggan Temanggung.

Sahabat Kyai Muntaha yang sama-sama menjadi pengawal Pangeran Diponegoro adalah Kyai Abdul Wahab yang merupakan keturunan seorang Tumenggung Bupati Puroloyo Mangli Yogyakarta.  Kiai Wahab kemudian mengundurkan diri untuk menghindar dari kejaran Belanda. Ia menyusuri Kali Progo menuju kawasan Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, hingga singgah di kawasan Parakan. Kawasan Parakan merupakan titik penting arus transportasi kawasan Kedu, yakni sebagai persimpangan Banyumas, Kedu, Pekalongan dan Semarang. Keluarga Kiai Abdul Wahab kemudian menetap di Parakan, sebagai tempat bermukim untuk menggembleng santri dan menyiapkan perlawanan terhadap penjajah (Bizawie, 2019:308).

Kyai Wahab kemudian menurunkan Kiai Harun Rasyid yang berputra KH. Subkhi, yang kelak dikenal dengan nama Kyai Bambu Rucing. Persahabatan Kyai Muntaha Awal dengan Kyai Wahab kemudian dilanjutkan kedua keturunannya, yakni KH. Subhi Parakan (cucu Kyai Wahab) dan KH. Muntaha al-Hafidz (cicit Kyai Muntaha Awal) yang sama-sama berjuang menumpas penjajah dalam Barisan Muslimin Temanggung (BMT).

Pasukan Belanda henti-hentinya mengejar pengikut Diponegoro di berbagai pelosok Jawa, terutama di pedalaman Yogyakarata, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk itu, beberapa bekas pasukan ini kemudian terus masuk ke pedalaman dan membentuk jejaring santri melalui padepokan-padepokan yang didirikannya. Keberadaan padepokan ini, selain dimaksudkan untuk menggembleng para santri dalam mempelajari agama Islam, juga dimaksudkan untuk menyusun strategi dan memperkuat jiwa nasionalisme masyarakat serta memperkuat semangat jihad mereka melawan imperialisme Belanda.

Menurut KH. Saifuddin Zuhri (2013:350-352), sejak tertangkapnya Pangeran Diponegoro, sisa-sisa prajurit Mataram –dalam gerakan taktik mengundurkan diri—bergerak menyusuri Kali Progo, melalui daerah Sentolo, Godean, Barobudur, Bandongan, Secang, Temanggung dan akhirnya ke daerah Parakan, sebuah persimpangan tapal batas Karesidenan Banyumas, Pekalongan, Kedu dan Semarang. Daerah dataran tinggi di kaki Gunung Sindoro ini menjadi tempat bertemunya bermacam-macam sisa prajurit Diponegoro dari berbagai daerah, untuk melakukan konsolidasi kekuatan untuk menyusun strategi perjuangan.

Di antara putra Kyai Muntaha adalah KH. ‘Ali (Mbah Babad Alang-alang) dan KH. Abdurrokhim. KH. ‘Ali menetap di Wonokromo Mojotengah dan menurunkan KH. Hasan ‘Imron dan KH. Abdullah Faqih Kongsi. KH. Hasan Imron menurunkan Kyai Masruh Kongsi. Sementara KH. Abdullah Faqih menurunkan KH. Hasbullah yang menurunkan KH. Ahmad Alim (w. 2021), Nyai Sangidah Wonokromo, Nyai Dimyati Kaliwiro, dan Nyai Ibnu Hajar Kalikajar. (Lihat,  https://www.youtube.com/watch?v=FIT_tE8EDKI). 

Sementara KH. Abdurrokhim (w. 1916) merupakan penerus KH. Muntaha Awal untuk memimpin pesantren yang dirintisnya. Sejak mudanya, KH. Abdurrahim bin Kyai Muntaha telah dipersiapkan untuk meneruskan perjuangan memimpin pesantren. Beliau pernah nyantri di Pondok Pesantren Kyai Abdullah Jetis Parakan Temanggung, bahkan akhirnya beliau dijadikan menantunya. 

Di bawah asuhan KH. Abdurrahim, pesantren Kalibeber semakin maju. Ia masih melestarikan sistem dan materi pendidikan yang telah ada sebelumnya, atau yang sudah berjalan sejak zaman Kyai Muntaha. Namun di penghujung kepemimpinannya, penjajah Belanda semakin sewenang-wenang terhadap penduduk Indonesia. Kondisi ini ditanggapi oleh pesantren Kalibeber dengan mengikutsertakan para santrinya dalam perang gerilya. Sehingga mengakibatkan pesantren mengalami masa surut.

Bertepatan dengan tanggal 3 Syawal 1337 H/1916 M,  KH. Abdurrahim wafat. Beliau meninggalkan tiga orang putra, yaitu KH. Asy’ari, KH. Marzuki, dan KH. Syuchaimi (Syekh Suhaimi Singapura). Jenazah KH. Abdurrahim kemudian dimakamkan di bekas komplek Pondok Karangsari Ngebrak. Sepeninggal beliau, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putra pertamanya, KH. Asy’ari (w. 1949). []

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *