Oleh: Ralph Austin (Penerjemah Dr Yoyo Hambali)

Dari semua pilar praktik agama Islam (arkân al-islâm), Salat adalah mungkin yang paling penting, selain dari semua-yang diperlukan pilar pertama dari Syahadah atau pernyataan keyakinan yang tanpanya tentu saja semua praktik agama Islam yang lain akan tidak sah. Ritus salat sekaligus merupakan ritus yang paling umum dan sekaligus paling istimewa, di mana-mana dikenal dan umum, namun merupakan kesempatan untuk komunikasi terdalam dengan Tuhan. 

Salat ini juga unik dalam dua cara lain. Pertama, salat adalah satu-satunya ritus yang Allah sendiri dapat dikatakan melakukannya, karena Dia katakan, “innallâha wa malâkatahu yuşallûna ‘alâ al-nabî… (sungguh Allah dan malaikatnya ‘bersalawat’ atas’ nabi…)”. [1] Kedua, satu-satunya dari semua ritus, salat menggabungkan semangat esensial dari empat pilar lainnya. Misalnya, (dalam salat) diucapkan syahadat; salat adalah waktu untuk menahan diri dan menghindari pembicaraan dan aktivitas yang tidak perlu dan berlebihan, seperti Puasa (Maria dalam Alqur’an); salat adalah, atau seharusnya, tindakan yang suci dan murni atau zakat, dan akhirnya (salat) merupakan refleksi batin dari perjalanan fisik ke Ka’bah di Mekah, menjadi perjalanan ke Ka’bah hati. 

Pandangan yang lebih mendalam tentang salat ini sudah menunjukkan jenis salat mistik yang sedang dipertimbangkan, yaitu dengan cara menjadi internalisasi dan individualisasi liturgi Islam. Cakupan dan ruang lingkup ritus salat dalam Islam, dari yang biasa dan sehari-hari hingga ke kedalaman wacana spiritual yang intim, disinggung dengan baik dalam dua baris pertama puisi yang mengawali bab besar tentang salat dalam al-Futûhât al-Makkîyah yang terkenal di mana Ibn ‘Arabi berkata:

Berapa banyak orang yang salat tidak memperoleh apa-apa dari salatnya kecuali lelah, letih dan melihat mihrâb,

Sementara yang lain terus-menerus diberkati dengan percakapan ilahi yang intim, meskipun ia tampaknya hanya memenuhi kewajiban agamanya yang biasa. [2]

Tentu saja, dalam konteks visi seseorang seperti Ibn Arabi di mana, pada akhirnya, tidak ada ruang untuk apa pun selain Dia, Yang Unik, misteri agung salat, yang akan dibahas lebih lengkap di akhir kitabnya adalah bahwa salat, pada kenyataannya, tidak lain adalah kontemplasi oleh Diri Ilahi dari Dirinya sendiri sebagai selain Diri, dan perenungan oleh selain Diri dari Diri itu sendiri. Tapi lebih dari itu nanti (akan dijelaskan).

Dalam mempersiapkan makalah ini saya menggunakan dua sumber utama dalam tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi. Pertama dan yang paling penting, saya telah menggunakan sebagai kerangka diskusi saya tentang salat yang sangat singkat dan tajam menjelang akhir bab terakhir, tentang Muhammad, dalam Fusûs al-Hikam, di mana ia juga telah menjelaskannya dengan sangat mendalam dua unsur lainnya dalam sabda Nabi tentang wanita, wewangian dan salat. [3] 

Dalam bagian tentang salat, bagi saya tampaknya Syekh al-Akbar telah menguraikan sebagian besar aspek yang menonjol dan signifikan dari salat mistik dan kontemplatif dalam Islam. Kedua, saya telah menemukan baris-baris yang sangat mencerahkan dalam puisi yang sudah dikutip, seperti juga di bagian selanjutnya dari bab tentang salat dalam Futûhât,[4] Selain itu saya juga berhutang budi pada kutipan dari Tanazzulât Mawsiliyyah atau Wahyu-wahyu Mosul (Revelations of Mosul), sebuah karya yang tidak tersedia untuk saya, seperti yang dipilih dan diterjemahkan oleh Michel Chodkiewicz dalam bab terakhir dari kumpulan esainya yang baru-baru ini diterbitkan berjudul Un Océan sans Rivage (An Ocean without Shore). [5] Diskusinya sendiri yang ahli dan terpelajar tentang materi ini tentang masalah salat juga tidak sedikit telah mengilhami saya.

Tampak bagi saya bahwa dalam bagian Fusûs yang telah disinggung, Ibn ‘Arabi membahas topik salat mistik di bawah delapan judul utama, yaitu:

Kebersamaan salat antara Tuhan dan manusia.

Kemampuan dan indera yang dengannya manusia dan Tuhan menjangkau satu sama lain.

Fungsi dan peran imam sangat penting.

Unsur takbir yang krusial dan sangat menentukan.

Arti penting gerakan-gerakan ritus salat.

Arti non-gerakan dan stabilitas orientasi dalam salat.

Subjek keutamaan objek salat baik oleh Tuhan maupun manusia.

Misteri Ketuhanan dan Kehambaan yang membingungkan dan Ketuhanan dan ciptaan yang mendasari seluruh perlakuan Ibn ‘Arabi tentang subjek yang esensial secara spiritual ini, berakar dalam karena subjek ini ada dalam ajaran Syekh tentang pra-disposisi abadi dan realitas pra-eksistensi.

Bagi saya, delapan judul ini tampaknya menyatu dengan baik menjadi tiga aspek utama salat dan renungan mistik, yaitu aspek mutualitas dan hubungan, aspek keunikan dan esensi ilahi, dan aspek misteri kesesuaian dan paradoks aspek keduanya, satu sama lain.

Dalam bagian Fusûs tentang salat, seperti dalam sebagian besar tulisannya, Ibn ʿArabi menunjukkan kesimetrisan ide dan konsep yang indah yang mendasari penyajian ajarannya yang tampaknya serampangan. Salat berkaitan dengan kedua mode utama Ketuhanan, Esensi dan Penciptaan, dengan keunikan dan eksklusivitas yang pertama dan multiplisitas dan inklusivitas yang terakhir. Sama halnya, ini berkaitan dengan arus kosmik besar penciptaan dan penciptaan kembali, dengan kekuatan paksa yang melepaskan kita ke dalam kontinum kosmik dan kekuatan terus-menerus yang menekan kita untuk berusaha kembali ke sumber kita. Demikian pula, salat mengungkapkan banyak makna waktu dan ruang, juga tentang penangguhan ruang dan waktu.

Tentu saja, sebelum salat dapat dilakukan dengan cara yang sah, orang yang salat harus melakukan dua hal, yang pertama sangat primordial dan terestrial, yang lain sangat karakteristik dari keadaan manusia kita. Yang pertama adalah ritual wudu atau tayamum di mana orang yang salat harus melakukan kontak baru dengan air atau tanah untuk membersihkan dirinya dari makhluk palsu dan pengetahuan palsu, pembaruan kontak dengan dasar-dasar penjelmaan. Tentu saja, seperti yang ditunjukkan oleh Ibn ‘Arabi dalam bab yang sama dari Fusûs, wudu atau mandi total diperlukan dari orang yang, misalnya, seperti yang dia katakan, membenamkan dirinya dalam objek keinginannya dalam kesatuan hubungan seksual, dengan demikian menunjukkan dengan sangat jelas betapa spiritual dan terestrial substansi dan citra air dan bumi.[6] 

Sangat menarik dalam hubungan ini bahwa Ibn ‘Arabi menggambarkan ritual wudu dalam Futûhât sebagai tindakan ibadah independen (‘ibâdah mustaqillah ) dan tidak hanya melekat pada ritual salat. [7] Yang kedua adalah merumuskan secara sadar niat (atau niyah ) untuk melakukan ritus suci, yang tujuannya adalah untuk memastikan sejauh mungkin bahwa pelaksanaan ritus itu tidak hanya kebiasaan, seperti naluri binatang, tetapi sepenuhnya sadar dan disengaja, sebagaimana layaknya keadaan manusia.

Dalam membahas berbagai aspek salat mistik seperti yang diuraikan dalam bab terakhir Fusûs, bagi saya tampaknya kita dapat mempertimbangkan bagian-bagian yang berkaitan dengan hubungan, fakultas, gerakan doa, dan posterioritas dari salat mistik, di bawah judul umum hubungan kreatif, sementara kita mungkin berpikir tentang fungsi dari imam, ucapan dari takbir dan makna yang lebih dalam dari kata Qurrah atau menenangkan di bawah  judul makhluk principial atau esensial.

Kata kunci di bagian pembuka bacaan tentang salat di Fusûs adalah, saya percaya, “bayna”, yang berarti ‘antara’, di mana Ibn Arabi berusaha menunjukkan bahwa salat, setidaknya dalam aspek ini, pada dasarnya adalah perbuatan atau pengalaman yang dibagi antara Tuhan dan manusia, terutama karena Tuhan menggambarkan diri-Nya sebagai salat atas nabi atau atas kita. [8] Jadi salat biasanya baginya suatu tindakan hubungan yang menunjukkan kedekatan manusia dan Tuhan. 

Kata “bayna”, bukan sebagai kata depan, tetapi dalam bentuk kata bendanya berarti jarak atau perpisahan, jarak dan perpisahan yang selalu dikeluhkan oleh para penyair pra-Islam dalam Qasidah mereka yang indah. Dengan kata lain, seperti yang saya yakin Syekh telah menyadarinya, kata kunci ini adalah petunjuk penting bagi misteri ilahi primordial tentang penciptaan dan rekreasi, yang ritus salat dan praktik kontemplasi dilakukan kembali dan diungkapkan secara simbolis. 

Jadi, dengan cara yang sangat menarik, ritus salat bagi Ibn ‘Arabi bukan hanya sebuah ritus yang menunjukkan berbagi dan kedekatan dengan Tuhan dan manusia, tetapi juga, seperti drama liturgi lain dari Misa Kristen, sebuah pengalaman kembali dari masa primordial, pemisahan dan rasa jarak yang juga penting untuk pengalaman kita tentang yang ilahi. Jadi, dengan cara yang cukup mengagumkan, ritus salat dapat dikatakan memberlakukan misteri ganda dari Pembedaan-Diri yang asli dan Pendirian-kembali yang dengannya Ketuhanan dapat mengetahui harta karun-Nya yang tersembunyi dan sekaligus menjadi diri-Nya sendiri yang tidak berubah. 

Jadi, bagi kita sebagai makhluk, doa kreatif ilahi atau keinginan untuk dikenal adalah kemunculan dari ketiadaan (‘adam) atau, seperti yang dikatakan Alqur’an, ‘lam yakun shay’an madhkûran,'(manusia) tidak dapat disebutkan apa-apa’, [9] ke dalam keragaman kosmos yang tak terbatas. Salat re-kreasi atau pernyataan Wujud, di sisi lain, sekarang lebih sadar kembali ke dan pilihan non-eksistensi sebagai pemusnahan diri (fanâ’), sehingga tidak ada lagi kita bisa melihat Dia atau, seperti yang dikatakan Nabi, ‘jika tidak, Anda akan melihatnya’, biasanya dibaca sebagai ‘jika Anda tidak melihatnya’ (hadis tentang ihsân: “al-ihsân huwa anta’budullâh ka annka tarhu, fainlam takun tarahu faiinahu yarak, ‘ihsan itu engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, karena engkau tak melihat-Nya, maka Dia melihat engkau”-YH.).

Dalam kedua kasus, makhluk yang tidak ada berada dalam kondisi kecenderungan laten itu. [10] Ritus salat kemudian merupakan latihan dari dua arus besar kosmik ilahi penciptaan dan penciptaan kembali, keluar dari dan kembali suci ke-Tuhan, arus “kâna” atau penjelmaan dan arus “sâra” atau penjelmaan kembali dalam Tuhan, seperti dalam Alqur’an, ‘wa ilayhi’l-masîr: ‘dan hanya kepada-Nya lah penjelmaan yang tak terhindarkan’. [11]

Sifat salat yang kreatif dan re-kreatif ini, menurut saya, ditegaskan oleh cara interpretasi Ibnu Arabi menafsirkan dua ekspresi lain dari Alqur’an. Yang pertama adalah, ‘Ingatlah Aku, dan aku akan mengingatmu’ (udhkurûnî adhkurkum) dan, ‘Menyebut Allah Yang Maha Besar,’ (wa ladhikru’llâhi akbar), yang terakhir biasanya berarti penyebutan kita tentang Allah dalam mengingat-Nya (dhikr). [12] Selain makna ini, ia juga menafsirkannya sebagai makna penyebutan Tuhan tentang kita, seperti pada kutipan pertama. Dhikir atau mengingat  dengan sungguh-sungguh di sini adalah pra-kesungguhan untuk melakukan dengan dialog yang, seperti (terpusatnya) pendengaran dan penglihatan, bahwa Allah bersama kita, sesuai dengan Quran. [13].

Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa dengan menyebut kita, Tuhan melepaskan kita dari keadaan ‘tidak dapat disebutkan’ dan dengan demikian menciptakan kita dengan ucapan atau Firman-Nya yang kreatif, gambaran kreatif yang umum bagi agama-agama Ibrahim. [14] Demikian pula, ketika manusia menyebut Tuhan sebagai tindakan yang disengaja untuk menemukan kembali sumber ilahinya, ia dapat dikatakan siap untuk menyerahkan haknya untuk disebutkan demi menegaskan kembali superioritas Ilahi, karena penyebutan Tuhan lebih besar, seperti yang dikatakan Alquran. Selanjutnya karena kita, sebagai makhluk, tidak lain adalah Dia, penyebutan Tuhan tentang kita, seperti penyebutan kita tentang Dia, pada akhirnya penyebutan-Nya tentang diri-Nya. ‘Tidak ada perlindungan dari Tuhan kecuali di dalam Dia’, seperti yang dikatakan Alqur’an. [15]

Dalam pembahasannya tentang salat, Ibn Arabi menyatakan bahwa, dalam salat, baik Tuhan dan manusia dapat dikatakan berada di bawah rezim Nama Ilahi, Yang Terakhir (al-Âkhir) di mana orang yang salat harus selalu memiliki apa yang di atasnya atau yang dia salatkan. [16] Jadi saat salat, Tuhan menganggap keberadaan kita, makhluk-Nya, di atasnya atau di atasnya Dia bersalat, sementara ketika kita melakukan salat, kita menganggap dengan tindakan kita realitas Wujud yang kita salatkan. Jadi, dengan posterioritas-Nya dalam salat-Nya, Dia menciptakan kita dengan implikasi keberadaan kita, sementara kita bergabung kembali dengan arus penciptaan kembali dengan implikasi dari Wujud tertinggi-Nya.

Ritual besar mendekatkan dan menjauhkan dalam konteks hubungan kreatif ini juga mengungkapkan kepada kita misteri lain yang disukai Syekh al-Akbar, yaitu misteri manusia sebagai penyembah dan Tuhan sebagai yang disembah di mana penyembah, olehnya tindakan penyembahan yang menegaskan keilahian Tuhan, secara misterius ‘menciptakan’ ‘Ketuhanan’ Tuhan, sama seperti Tuhan menjadikan kita objek keilahian-Nya untuk menyembah Dia. Jadi Tuhan mungkin hanya Tuhan jika Dia memiliki penyembah untuk memanggil Dia Tuhan, dan kita hanya bisa menjadi makhluk jika kita memiliki Dia sebagai Pencipta untuk menciptakan kita. Saling ketergantungan yang mendalam ini, pada tingkat tertentu, antara Realitas Tertinggi sebagai Tuhan dan ‘yang lain’ -Nya sebagai makhluk, secara grafis diungkapkan oleh Ibn ‘Arabi dalam Fusûs dalam baris-baris terkenal:

Dia memuji aku dan aku memuji Dia,

Dia melayani (mengingat) aku dan aku melayani (mengingat) Dia. [17]

Di balik ini, dari sudut pandang yang lebih eksoteris, “tour de force” mistik yang tampaknya menghujat dan mudah, tentu saja, terletak apa yang mungkin merupakan misteri terbesar yang diuraikan oleh Ibn Arabi, yaitu tentang esensi laten yang cenderung abadi yang manifestasi eksisi. Tapi lebih dari itu nanti.

Mungkin cara paling halus di mana Ibn Arabi menggambarkan hubungan ini dan aspek penciptaan liturgis-drama-penciptaan salat adalah di bagian bagian tentang subjek di mana ia menyentuh makna dan signifikansi gerakan ritus itu sendiri. [18] Islam adalah tradisi keagamaan di mana, mungkin, tubuh manusia paling terlibat secara teratur dalam tatanan agama dan kesalehan, sejauh setidaknya tiga dari lima ritus iman melibatkan psiko- susunan fisik manusia. Setiap tahun, banyak umat Islam berpartisipasi dalam apa yang mungkin adalah salah satu yang paling, jika tidak yang sebagian besar, tindakan asketisme kolektif yang ketat dalam agama dunia dalam Puasa Ramadan. Sekali atau mungkin beberapa kali dalam kehidupan Muslim ada aktivitas ziarah atau haji yang melibatkan tubuh, sedangkan ritual salat, yang kita perhatikan di sini, melibatkan rezim gerakan fisik lima kali sehari yang melibatkan seluruh kerangka tubuh, dengan demikian mengungkapkan salah satu kebenaran terpenting dari semua tradisi agama besar, yang sering dilupakan atau diabaikan, yaitu bahwa tubuh, tidak peduli betapa berbahayanya dengan cara lain, harus diintegrasikan ke dalam dan, jika mungkin, diubah oleh Roh, hanya sebagai Roh harus perlu tersirat dan diterjemahkan ke dalam tubuh, interaksi yang sangat banyak subjek ajaran Syekh tentang Imajinasi dan dunia imaginal atau alam perumpamaan (âlam al-mithal). [19] 

Ibn ‘Arabi mengarahkan dirinya pada empat postur dasar salat, posisi berdiri atau qiyam, posisi rukuk, posisi sujud, dan posisi duduk atau julûs. Dalam konteks diskusi kita sekarang, posisi-posisi ini harus dipahami sebagai bagian dari aliran atau ritme gerakan, yang setiap poin barunya ditandai dengan pengucapan takbîr atau Allâhu akbar, ‘Tuhan Maha Besar’, seolah-olah mengatakan bahwa semua inisiatif adalah milik Tuhan. Tapi lebih banyak tentang takbîr yang cepat. 

Jadi, kami memiliki kemajuan dalam gerakan-gerakan salat ini dari posisi vertikal atau tinggi ke posisi setengah, posisi horizontal, ke posisi rendah atau dalam, yang berpuncak pada posisi duduk yang stabil atau seimbang, yang juga terjadi di akhir ritus salat dengan salam ke kanan dan kiri. Sebagai gambaran dari realitas spiritual, posisi atau gerakan ini bersifat polivalen, masing-masing menyarankan ide yang berbeda, jika terkait tergantung pada tingkat yang dipertimbangkan. Jadi, seperti yang dikatakan Ibn ‘Arabi dalam Fusûs, posisi berdiri adalah gambaran keadaan manusia, rukuknya keadaan hewan, sujud keadaan tumbuhan, dan duduk keadaan mineral dalam keadaan tidak bergerak. [20] 

Sebagai alternatif, posisi berdiri atau vertikal dapat dilihat sebagai gambaran kekuasaan dan ketuhanan, ruku sebagai posisi perantara keadaan manusia, sujud keadaan bumi dan kosmik, sedangkan posisi duduk dapat dilihat sebagai gambar alam semesta, stabilitas keseluruhan Allah dalam ciptaan. Sujud, sebagai postur yang paling menunjukkan perbudakan yang mendalam dan hina, dengan demikian dapat dilihat sebagai gambaran penghancuran diri (fanâ’), sementara kemunculan kembali ke cahaya dalam posisi duduk dapat dilihat sebagai simbol Tuhan Yang Mahakekal atau baqâ’. 

Dalam Futûhât Ibnu Arabi mengemukakan bahwa berdiri menunjukkan keadaan yang berasal dari Allah, rukuk adalah keadaan yang menghadap Allah, sujud adalah keadaan yang dialami oleh Allah, sedangkan duduk adalah keadaan untuk Allah. [21] 

Sangat menarik untuk dicatat bahwa interpretasi postur sujud bergantian antara kutub makhluk yang dapat dilihat sebagai gambaran perbudakan dan fanâ’ atau pemusnahan, atau bagian depannya yang tenggelam dalam dan perembesan oleh Tuhan. Juga, dalam cara yang sangat menarik, empat postur ritus salat adalah semacam ‘kaligrafi dalam gerakan’ sejauh setiap postur dalam urutan memiliki sesuatu dari huruf yang membentuk Nama Allah: alif= berdiri; yang menghubungkan, huruf lam= membungkuk; lingkaran lengkung hâ’= sujud; dan posisi duduk mewakili jeda atau pernapasan yang stabil dari hâ’. Akhirnya, seseorang mungkin melihat dalam berdiri atau alif kesendirian dari Wujud Unik, dalam kecenderungan kreatif-Nya membungkuk terhadap ciptaan-Nya, dalam sujud keterlibatan mendalam-Nya di Alam Semesta-Nya dan dalam duduk keseimbangan-Nya dan menetapkan diri-Nya sebagai Tuhan. Nyata dalam semua mode-Nya.

Tentu saja, ritus salat tidak semua gerakan dalam ruang dan waktu, tetapi juga dalam arti yang sangat penting keheningan yang mendalam, penghentian atau penangguhan waktu dan ruang, dan di sinilah kita beralih dari hubungan dalam ruang dan waktu menjadi sebuah mode yang banyak berkaitan dengan Esensi yang tidak dapat diketahui seperti halnya dengan Tuhan yang disembah, sebanyak yang berkaitan dengan Wujud dan juga dengan menjadi. 

Hal ini membawa kita kemudian untuk berbicara tentang takbîr dan qurrah, tentang keberadaan Tuhan yang ‘Maha Besar’ dan kebutuhan akan kepastian dan keheningan; ‘Diam dan ketahuilah bahwa Akulah Tuhan’ seperti yang dikatakan dalam Alkitab. Kami prihatin di sini tidak hanya dengan takbir yang menandai setiap keheningan antara gerakan salat, tetapi terutama takbir pertama (takbirah al-ihram) atau mengucapkan ‘Tuhan Maha Besar’ dari salat, atau mengucapkan kata-kata yang membuat tempat suci yang haram atau dilindungi dari waktu dan tempat salat, dan yang membentuk ikatan yang tak terpisahkan antara yang salat, atau yang mendirikan salat, dan arah kiblat, agar tidak ada orang yang lewat di depan orang yang salat karena kerasnya sanksi yang berat. Kata tahrîm ini adalah kata yang sangat sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, bahkan dalam beberapa kata. Itu berarti membuat sesuatu, tempat atau waktu menjadi suci, tertutup, terlarang, tidak dapat diganggu gugat, kebal. Lawannya adalah tahlîl atau membuat terbuka atau sah. Dalam puisi pengantar bab tentang salat dalam Futûhât yang dikutip sebelumnya, Ibn ‘Arabi memiliki baris-baris berikut:

Pengucapan ‘Tuhan Maha Besar’ adalah yang membuat salat suci,

jika Anda adalah orang yang memiliki perawakan (kâbiran),

Jika tidak, maka tidak masalah apakah Anda mensucikan atau tidak. [22]

Kata kâbiran yang sangat menarik, yang telah saya terjemahkan di sini sebagai ‘memiliki perawakan’, saya pahami sebagai makna seseorang yang memiliki kemanusiaan sejati, seseorang yang mungkin mencita-citakan kedudukan yang relatif signifikan yang dinyatakan oleh Allah bahwa Dia maha besar daripada, jika tidak, kita berbicara tentang ketiadaan murni dan sederhana. Dengan demikian pengertian haram atau tempat kudus mungkin juga menunjukkan bahwa daerah suci atau ruang terbatas di mana drama liturgi suci yang dibahas di atas dapat dilakukan, tidak hanya dalam waktu tetapi dalam aeternis, dalam “illo tempore” seperti yang biasa mereka ucapkan sebelum membaca Injil, pengudusan yang tidak hanya mengekalkan area suci atau kuil kontemplasi seperti yang ditunjukkan Corbin, tetapi juga waktu itu sendiri. Dalam hubungan ini Ibn ‘Arabi juga menulis dalam puisi yang sama:

Karena orang yang (benar-benar) lalai terhadap waktu (khusus) salat, adalah yang paling dekat, unik waktunya, kutub. [23]

Takbir al-Tahrim juga bahwa ucapan ‘Allah adalah maha besar’, yang dilarang salat pengalihan (pikiran) atau menyimpang dari tujuannya atau orientasi apakah luar atau dalam, sehingga Abu Hamid al-Ghazali mengatakam pembohong siapa pun yang, setelah mengucapkan kata-kata ‘Tuhan maha besar’, memikirkan apa pun selain Tuhan. Hadis Nabi yang merupakan subjek dari bab terakhir dari Fusûs berakhir dengan kata-kata, ‘dan pelipur laraku atau yang menenangkan mataku adalah salat’. [24] 

Kata Arab untuk pelipur lara di sini adalah qurrat al-ʿayn, yang akarnya adalah qarra yang menunjukkan menetap memperbaiki, menstabilkan. Artinya, daya tarik objek salat ilahi harus sedemikian kuat sehingga perhatian sepenuhnya tertuju kepada-Nya dengan mengesampingkan (tahrim) dari segala sesuatu yang lain. 

Jadi, gagasan menenangkan ini lebih merupakan salah satu perhatian yang menarik dan dengan demikian sangat terkait dengan definisi dan penggambaran pengertian tahrîm. Ibn ‘Arabi dengan jelas menghubungkan kebutuhan untuk sepenuh hati dalam orientasi seseorang menuju Kekasih ilahi dengan kebutuhan juga untuk sadar diri dan disiplin diri, menjaga hati, menjaga pikiran dan jiwa seseorang agar mereka tidak tersesat oleh tuhn-tuhan palsu, sementara tubuh telah suci dan murni secara ritual.

Yang berfungsi untuk mengucapkan ‘Tuhan maha besar’ dan untuk mempengaruhi keadaan hal-hal yang dijelaskan di atas tidak lain adalah imam atau orang yang salat itu sendiri, seperti yang dikatakan Ibn ‘Arabi, imam dari mikrokosmosnya sendiri. [25] Imam adalah alif dari posisi berdiri, sepotong rosario yang memegang semua manik-manik bersama-sama, koordinator, juru bicara itu. Di atas segalanya, imam, sebagaimana dikatakan Ibn ‘Arabi, adalah wakil Tuhan yang menjalankan fungsi Rasulullah. [26] 

Ibnu ‘Arabi melanjutkan untuk menunjukkan, ini berarti bahwa imam secara fungsional dan spiritual seperti Rasulullah dalam dua hal penting. Pertama, ia harus disucikan dan tidak bersalah karena ia harus ikut serta dalam ‘buta huruf’ atau ummiyyah Nabi, sebuah konsep yang disejajarkan dalam agama Kristen dengan gagasan tentang kemurnian Maria sebagai pembawa Sabda yang menjadi daging, seperti Muhammad harus berasal dari Firman yang menjadi suara. Artinya, imam harus terbuka dan menerima kehadiran dan aktivitas Tuhan. Dengan demikian ia juga harus menjadi medium dalam fungsinya, seperti Nabi sendiri, untuk  ucapan Tuhan, seperti yang dikatakan Ibn Arabi, ‘Karena Tuhan sendirilah yang berkata dalam bahasa hamba-Nya, “Tuhan mendengar dia yang memuji Dia.”’ [27]

Ini, tentu saja, berarti bahwa imam dengan demikian secara simbolis menjalankan fungsi pribadi manusia yang sebenarnya, manusia normatif sebagai Khalifah Allah di muka bumi. Dia memang, atau seharusnya, kâbiran, seperti dalam ayat puisi Futûhât yang dikutip sebelumnya, yaitu makhluk yang memiliki makna lebih besar dari siapa Tuhan itu. Sangat menarik bahwa dalam puisi yang sama kita memiliki baris yang sangat relevan dalam hubungan ini:

Bagaimana kemudian, karena misteri Yang Maha Esa yang menjadi imamnya, bahkan jika dia dipimpin secara formal, karena dia telah mencapai tujuannya. [28]

Bukankah Manusia, Manusia Sempurna, adalah inti dari misteri ilahi, sehingga imam yang benar dan sempurna adalah makhluk yang merupakan mata yang dengannya Tuhan dapat melihat dan mengenal diri-Nya sebagai ciptaan-Nya? [29] Sesungguhnya, ketika seorang Muslim sedang salat, dapat dikatakan, berdasarkan ajaran ini, bahwa imamnya tidak lain adalah kemanusiaan sejati mereka, sifat abadi dan asli mereka di dalam Tuhan. Sejauh orang yang salat menyadari sifat manusia yang sebenarnya, ia dapat dikatakan, pada kenyataannya, menjadi imamnya sendiri, di belakangnya, seperti yang dikatakan Syekh, para malaikat berdoa dalam barisan yang berurutan. [30]

Di akhir bagian salat dalam Fusûs Ibn ‘Arabi sampai pada apa yang mungkin merupakan salah satu rahasia atau misteri salat terbesar dan paling membingungkan, yaitu misteri siapa dan kepada siapa, oleh siapa dan untuk siapa makna doa itu, karena, seperti yang telah kita amati sebelumnya dalam makalah ini, bagi Ibn ‘Arabi semua pada akhirnya tidak lain adalah Yang Nyata, al-haqq. [31]

 Masing-masing dari kita, sebagai lokus manifestasi Diri ilahi (tajalli), tidak lebih dan tidak kurang, di alam, kata, pikiran atau perbuatan, dari esensi laten kita yang abadi, yang sudah ada sebelumnya di dalam wujud Tuhan yang terdalam, memberi kita keberadaan, juga bukan kita, baik di sini atau jauh di dalam Wujud ilahi, selain Yang Nyata yang terus-menerus berhubungan dengan diri-Nya sebagai ‘yang lain’, sebagai kosmos, untuk mengenal diri-Nya dan menikmati kemungkinan-kemungkinan-Nya yang tak terbatas. 

Jadi, dalam berdoa atau salat kita masing-masing berdoa kepada Tuhan yang merupakan misteri keberadaan abadi kita sendiri dan dengan siapa kita memiliki hubungan saling bergantung yang tak terpisahkan antara Tuhan dan ‘hamba’, rabb dan marbûb, hubungan yang sangat menarik dieksplorasi dan dibahas oleh Henri Corbin dalam studinya yang kompleks tentang pemikiran Ibn ‘Arabi. [32]

Jadi, dikatakan, ‘Siapa yang mengenal dirinya sendiri mengenal Tuhannya.’ Misteri yang sama, tetapi pada tingkat makrokosmos, adalah hubungan, yang telah disinggung sebelumnya, antara Tuhan dan ciptaan dalam simbiosis saling ketergantungan antara Tuhan dan ‘bertuhanan’, Allah dan ma’lûh. Doa primordial dari Yang Esa, Yang Unik, adalah untuk mengetahui diri-Nya sendiri yang darinya mengeluarkan seluruh misteri keliyanan sekaligus begitu asing bagi ahadiyyah -Nya, namun begitu penting bagi kemampuan-Nya untuk mengetahui diri-Nya sebagai objek. 

Dengan demikian jarak dan keterpisahan kita dari-Nya dapat, dalam arti paradoks, dikatakan sebagai jawaban atas doa itu, sehingga dengan keberadaan kosmis kita yang majemuk, kita tersedia bagi-Nya sebagai makhluk lain untuk diketahui. Doa primordial kita adalah untuk kembali ke rumah dari pengasingan terestrial kita, untuk mengambil diri kita sendiri sebagai orang lain, dalam keberbedaan kita, kembali ke surga dari Diri yang ditemukan kembali. 

Jadi, di satu sisi, Kedirian dan Hakikat-Nya yang tak henti-hentinya dan tidak dapat dicabut juga secara paradoks merupakan jawaban atas doa kita itu. Dalam prosesnya Dia kehilangan diri-Nya sendiri, sehingga bisa dikatakan, di dalam kita, sementara kita kehilangan diri kita sendiri di dalam Dia. Semua hal ini, tentu saja, tidak benar-benar menjadi subjek kata-kata dan pikiran, karena berkaitan dengan hal-hal yang, pada dasarnya, menentang upaya bahasa dan pikiran yang terbatas untuk memahaminya. Tidak pernah berhenti membuat saya bingung bagaimana para mistikus besar, terutama yang lebih produktif dari mereka, dapat membenarkan banyak volume mereka, ketika mereka terus-menerus mengatakan kepada kita betapa mustahilnya untuk mengungkapkan apa yang telah mereka alami dengan kata-kata.

Pada akhirnya, rahasia salat adalah masalah kebingungan atau kebingungan spiritual, hayrah.

Mengingat kebingungan ini, saya merasa bahwa saya tidak dapat melakukan yang lebih baik, dengan mengakhiri makalah ini, selain menawarkan terjemahan sebuah puisi yang memang merupakan tur de force metafisik. Itu berasal dari bab tentang salat dalam Futûhât , [33]

Aku bukanlah aku yang sebenarnya, aku juga bukan Dia.

Jadi siapa aku dan siapa dia?

O Dia, katakan bahwa kamu adalah Dia; Oh, Dia hanya kamu sebagai Dia.

Aku bukanlah Dia sebagaimana aku, juga bukanlah Dia yang dikatakan sebagai Dia.

Jika Dia seperti itu, mata kita tidak akan melihat keberadaan-Nya, sebagai milik-Nya

selain diri kita sendiri.

(Demikianlah ada) Aku dan Dia, dan Dia dan Dia.

Siapa milik kita, melalui kita dan untuk kita adalah

Sebagai milik-Nya, melalui Dia, untuk Dia.

———

Anotasi

[1] Ibn al-‘Arabi, Bezels of Wisdom, trans. RWJ Austin, London, 1980, hal. 282.

[2] Ibn al-‘Arabi, Al-Futûhât al-Makkiyya, Kairo, 1329 ah., I, hal. 386.

[3] Bezel, hlm. 279-84.

[4] Futhât hlm. 386 dst.

[5] Editions du Seuil, Paris, 5992, hlm. 529-65.

[6] Bezel, hal. 274.

[7] Futûhât IV, hal. 486.

[8] Bezel, hal. 279.

[9] Qur’an 76:5.

[10] Lih. Bezel, hal. 280.

[11] Qur’an, 2:285.

[12] Ibid., 2:552 dan 29:45.

[13] Bnd. Qur’an, 58:26.

[14] Bnd. Injil St. Yohanes, 5:5.

[15] Qur’an, 9:558.

[16] Bnd. Bezel, hlm. 282-3.

[17] Ibid., hal. 95.

[18] Ibid., hlm. 285-2.

[19] Ibid., Bab. IX.

[20] Ibid., hal. 282.

[21] Futûhât II, hal. 48.

[22] Ibid., I, hal. 386.

[23] Ibid.

[24] Bnd. Bezel, hal. 279.

[25] Ibid., hal. 280.

[26] Ibid.

[27] Ibid., hal. 285.

[28] Futûhât I, hal. 386.

[29] Bezel, hal. 55.

[30] Ibid., hal. 285.

[31] Ibid., hlm. 283-4.

[32] Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi, London, 1970.

[33] Futûhât I, hlm. 496-7.

© Muhyiddin Ibn Arabi Society CIO (Charity 1179324) |

Diterjemahkan dari Ralph Austin, “Aspects of Mystical Prayer in Ibn ʿArabi’s thought”, dalam

Journal of the Muhyiddin Ibn Arabi Society, Volume XIV, 1993.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *