Kita sering mendengar istilah fatwa di dalam kehidupan kita sehari-hari. Ada fatwa dari Majelis Ulama Indonesia, ada fatwa dari Nahdlatul Ulama, ada fatwa dari Muhammadiyah, ada fatwa dari ulama ini dan itu, dlsb. 

Apa sebenarnya fatwa itu dan bagaimana seharusnya fatwa dikeluarkan dan oleh siapa?

Secara terminologis, fatwa berasal dari bahasa Arab –futya–artinya pendapat hukum. Pendapat hukum ini dikeluarkan oleh mufti, atau orang yang memberi fatwa. Proses pemberian fatwa itu disebut dengan istilah ifta.‘ Dalam ilmu usul fiqih, teori hukum Islam, sebuah fatwa muncul jika ada permintaan dari pihak lain. Proses permintaan hukum disebut dengan istilah istifta. Pihak yang minta fatwa ini disebut mustafti. Para pencari fatwa ini bisa perseorangan dan bisa kelembagaan.

Oh ya, mufti itu bukan sembarang orang. Artinya, mufti adalah orang khusus: memiliki kapasitas keilmuan dan juga etis yang tidak bisa ditemukan di setiap orang. Sebagian ulama mensejajarkan mufti dengan mujtahid. Mujtahid adalah penggali hukum Islam dari sumber utama Islam, al-Qur’an dan Sunnah. 

Mengapa bukan sembarang orang bisa memberi fatwa atau menjadi mufti, karena untuk sampai pada derajat mufti banyak hal yang harus dimiliki. Misalnya, mufti harus menguasai banyak cabang ilmu –puluhan cabang ilmu agama– selain ilmu utama yaitu mengetahui al-Qur’an dan cabang2 ilmunya, mengetahui hadis dan cabang-cabangnya, mengetahui kesepakatan ulama, mengetahui pendapat ulama, dan masih banyak cabang ilmu lagi. 

Sudah barang tentu, prasyarat lain yang juga fundamental adalah penguasaan bahasa Arab. Bahasa Arab ini memang instrumental atau populer disebut dengan ilmu alat, namun tanpa penguasaan alat ini kita hampir mustahil menjadi seorang mufti. Bahasa Arab ini cabang ilmunya juga luas dan macam-maca. Ada yang disebut sharaf (ilmu tentang perubahan kata, morfologis), ada yang disebut dengan ilmu nahwu (gramatika Arab), ada yang disebut balagah, dan cabang-cabang ilmu bahasa Arab lainnya.Penguasaan bahasa Arab inipun butuh level yang agak tinggi, tidak hanya tahu makna perkata istilah Arab, tapi juga harus tahu filsafat bahasa Arab itu sendiri. Pendek kata, membutuhkan waktu panjang untuk mempelajari bahasa Arab.

Ingat juga, si mufti ini bisa saja sendiri dan bisa kolektif. Baik sendiri maupun kolektif, semua cabang pengetahuan yang diwajibkan tetap saja dipersyaratkan untuk sebuah fatwa. Bahkan untuk ilmu-ilmu baru, di luar ilmu agama yang tidak dikuasainya, seorang mufti bisa bertanya kepada ahlinya untuk memperkaya pengetahuannya atas masalah yang akan difatwakan. 

Bagaimana dengan fenomena akhir-akhir ini dimana fatwa nampaknya begitu mudah dikeluarkan bahkan oleh orang yang tidak memiliki kualifikasi keilmuan yang harus dimilikinya? 

Karena persyaratan mengeluarkan fatwa yang begitu sulit dan ketat, maka sungguh mengkhuwatirkan kini sembarang orang banyak yang berfatwa.

Rasulullah pernah berkata: „Barang siapa yang memberikan fatwa tanpa bukti pengetahuan, maka dosa akan fatwa tersebut ditanggung oleh orang yang mengeluarkan fatwa tersebut.“ Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibn Majah. Ada sabda lain dari Rasulullah SAW, „man afta bi futya bi ghayri ilmin kana ithmu dhalika ala al-ladhi aftahu,“ artinya barang siapa berfatwa tanpa ilmu maka dosanya pada orang memberi fatwa,“ hadis riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud. 

Bahkan, ada hadis Rasululullah yang lain, bahwa pemberian fatwa tanpa keilmuan, maka pihak yang memberi fatwa ini akan dilaknat oleh malaikat langit dan malaikat bumi, man afta al-nasa bi ghayri ilmin la’anathu mala’ikatus sama wa mala’ikat ardi.“ Hadis ini diungkapkan oleh Ibn Jawzi untuk memberi kedudukan betapa pentingnya sebuah fatwa. Karena sebuah fatwa itu penting, maka fatwa itu memang harus benar-benar didukung dengan ilmu pengetahuan.  

Karenanya kita sangat perihatin dengan maraknya fatwa yang dikeluarkan bukan oleh ahlinya dan tidak didukung oleh ilmu pengetahuan. Hal ini justru bisa mendegradasi fatwa itu sendiri.

Jika ada orang minta fatwa, apakah seorang mufti harus menjawabnya?

Permintaan fatwa tidak harus dijawab. Bahkan para mufti besar zaman dahulu tidak dengan sembarang mengumbar fatwa. Mereka cenderung hati-hati karena mereka tahu konsekwensi akan fatwa mereka. Bahkan Ibn Mas’ud mengatakan: “Barang siapa yang memberikan fatwa atas seluruh permintaan fatwa kepada kepadanya, maka orang itu adalah majnun, alias gila. Bunyi redaksi Arabnya: „man afta al-nasa fi kullia ma yas’alunahu anhu fahuwa majnunun.“ (Lihat kitab Ahmad al-Harrani al-Hambali, Sifatul Fatwa wa al-Mufti wa al-Mustafti, h. 7.

Jikapun menjawab, fatwa yang diminta tersebut tidak harus diikuti oleh kita bahkan oleh si peminta fatwa itu sendiri. Di sinilah beda fatwa dengan qada, atau keputusan pengadilan.

Bagaimana fatwa di Indonesia? Indonesia bukan negara yang menjadikan fatwa sebagai sumber hukum resminya. Fatwa boleh dikeluarkan oleh mereka yang memiliki otoritas seperti MUI, NU, Muhammadiyah dan ulama-ulama yang memiliki kapasitas untuk itu, namun tetap saja fatwa tersebut tidak mengikat warga Indonesia untuk mengikutinya. Kita harus meletakkan fatwa pada kedudukannya yang dikehendaki oleh tradisi Islam.

Sekian

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *