Sebagaimana kita ketahui bahwa rejim sekarang (secara terstruktur, masif, dan sistematis) sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur, seperti jalan nasional, jalan tol, bendungan, bandara, bendungan, pembangkit listrik, saluran irigasi, dan lain-lain. Keberadaan tanah maupun sumberdaya alam lainnya sangat dibutuhkan dalam pembangunan tersebut sehingga kadang-kadang pemerintah atau pelaku industri (dengan seijin pemerintah) sengaja melakukan akuisisi lahan dengan paksa (land grabbing) ketika pemilik sumberdaya tersebut tidak bersedia menjualnya.
Pertanyaannya kemudian:
Bagaimana hukum land grabbing tersebut?
Hukum perampasan lahan tersebut boleh dilakukan oleh pemerintah, hanya semata-mata demi kepentingan umum (mashlahah ‘ammah)
الفروع لابن مفلح الجزء 6 صحـ : 623 مكتبة عالم الكتب
وَذَكَرَهُ وَجْهًا فِي الْمُنَاقَلَةِ وَأَوْمَأَ إِلَيْهِ أَحْمَدُ وَنَقَلَ صَالِحٌ نَقْلَ الْمَسْجِدِ لَمَنْفَعَةٍ لِلنَّاسِ وَنَصُّهُ تَجْدِيْدُ بِنَائِهِ لِمَصْلَحَتِهِ وَعَنْهُ بِرِضَى جِيرَانِهِ وَعَنْهُ يَجُوزُ شِرَاءُ دُوْرِ مَكَّةَ لِمَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ فَيُتَوَجَّهُ هُنَا مِثْلُهُ
قَالَ شَيْخُنَا جَوَّزَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ تَغْيِيرَ صُوْرَتِهِ لِمَصْلَحَةٍ كَجَعْلِ الدُّوْرِ حَوَانِيْتَ وَالْحُكُوْرَةَ الْمَشْهُوْرَةَ وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ بِنَاءٍ بِبِنَاءٍ وَعَرْصَةٍ بِعَرْصَةٍ وَقَالَ فِيمَنْ وَقَفَ كُرُوْمًا عَلَى الْفُقَرَاءِ يَحْصُلُ عَلَى جِيرَانِهَا بِهِ ضَرَرٌ يُعَوِّضُ عَنْهُ بِمَا لاَ ضَرَرَ فِيهِ عَلَى الْجِيرَانِ وَيَعُودُ اْلأَوَّلُ مِلْكًا وَالثَّانِيْ وَقْفًا اهـ
Bagaimana dengan ganti ruginya?
Perampasan lahan tersebut harus dilakukan ganti rugi yang standar/ setimpal (NJOP), mungkin bisa jadi sesuai atau malah tidak sesuai dengan harga yang diharapkan warga (jika keinginan warga bernilai di atas standar). Dalam Kitab Al Asybah wan Nadhair, hlm. 83, Imam Jalaluddin As Suyuti menjelaskan:
إذا كا ن فعل الا مام مبنيّا على المصلحة فيما يتعلّق بالا مو ر العا مّة لم ينفّذ امره شرعا إلاّ إذا وافقه فإن خالفه لم ينفّذ. ولهاذا قال الا مام ابو يوسف في كتاب الخراج من باب إحياء الموات: وليس للإ مام أن يخرج شيئا من يد أحد إلاّ بحقّ ثابت معروف.
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat atau ketetapan yang terdapat dalam kitab Hasiyah Al Dasuqiy ‘alasy Syarhil Kabir juz III, hlm. 6 yang berbunyi:
وامّا لو أجبر على البيع جبرا حلالا كان البيع لازما كجره على بيع الدّار لتوسّع المسجد اوالطّريق او المقبرة.
(حاثية الدّسوق على الشّر ح الكبير: 3/6(
Artinya :
Seandainya seseorang dipaksa untuk menjual (demi tujuan) yang baik dan halal, maka penjualannya sah, seperti dipaksa untuk menjual rumah untuk memperluas masjid, jalanan umum atau kuburan.
Di sisi lain, sebagai bentuk kehati-hatian, Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin juga menjelaskan sebuah ancaman:
القسم الاوّل المعاصى وهي لا تتغيّر عن موضعها بالنّيّة … إلى ان قال: وبيني مدرسة او مسجدا او رباطا بمال حرام قصد الخير فهذ كلّه جهل والنّيّة لا تؤثّر في إخراجه عن كونه ظلما وعدوانا و معصيّة
(إحياء علوم الدّين الجزء الاوّل(
Bagian pertama adalah maksiat. Dan maksiat itu tidak akan berubah dari posisinya (sebagai hal yang diharamkan) dengan niat kebajikan. Jika seseorang membangun sekolah, masjid dan pondokan dengan uang haram, ia bermaksud (dengan pembangunan tersebut) untuk melakukan kebajikan, maka semuanya itu merupakan kebodohan dan niatnya itu tidak akan berpengaruh untuk mengeluarkannya dari posisinya sebagai tindakan yang dhalim, aniaya dan maksiat.
Artinya, pemerintah atau pelaku industri bermodal jutaan dolar wajib berhati-hati dan bijaksana dalam melakukan akuisisi lahan tersebut.
(Wallaahu yuhibbul muhsinin)
No responses yet