Kita tahu bahwa setiap tempat memiliki ruang dan dimensi yang berbeda-beda, ciri sederhananya adalah jika gunung berupa gundukan tinggi yang tampak hijau dari kejauhan, pun daratan terlihat bentangan luas yang datar. Namun di balik itu semua terdapat dimensi yang kadang tak kasat mata. Sudut pandang kebanyakan orang menganggapnya mistik. Bisa jadi anggapan itu sebenarnya adalah ruang mitik atau myth.  

Seperti halnya gunung jidor di Desa Kaligadung, tidak jauh dari keramaian, tepatnya di sebelah utara pasar kaligadung kecamatan Tirtoyudo Kabupaten Malang, di sana menyimpan rahasia yang memiliki keeratan dengan munculnya desa tersebut. Kehidupan masyarakat yang ragam, juga area pertanian dan perkebunan yang masih legang, ditopang dengan sungai yang menyediakan air jernihnya, Gunung Jidor menjadi ruh bagi masyarakat di sana.

Pertanyaannya adalah mengapa gunung ini diberi nama “Jidor”. Jidor berarti bedug yang ditabuh sebagai pertanda memasuki waktu shalat atau penyemangat ketika lomba dan perang di masa lampau. Menurut Mbah Min sesepuh desa Kaligadung, Dulu di masa-masa para leluhur desa Kaligadung, setiap malam jumat legi terdengar suara tabuh bedug dari gunung tersebut, bahkan hal ini terjadi dahulu ketika masa penjajahan. Sehingga fenomena yang kerap muncul dari gunung tersebut ditêngêri atau menjadi penanda, yang akhirnya gunung tersebut dikenal dengan gunung Jidor.

Dikisahkan bahwa gunung yang diapit oleh sumber mata air di sebelah kanan dan kirinya dihuni oleh “Kidang Wulung.” Ketika hewan yang katanya mirip rusa ini bersuara, gunungnya pun ikut mengeluarkan suara gaduh seperti rebana dan bedug yang bertalu-talu. Anehnya masyarakat sekitar gunung tidak begitu mendengar suara gaduh tersebut, tetapi desa yang lain seperti Wonokoyo, Banjarpatoman, Madanom dan lain sebagainya yang berada di sebelah barat gunung tersebut mendengar kegaduhan itu. Kegaduhan itu juga pertanda bahwa akan ada salah satu masyarakat yang akan meninggal. Cerita tutur tinular inilah yang terus diwariskan oleh para sepuh kepada anak cucu mereka, di samping agar tahu sejarah desanya, harapan terbesarnya adalah menghormati alam sekitar. Baik sebagai titipan dari Tuhan, pun sebagai tempat di mana mereka bertahan hidup.

Masyarakat setempat juga percaya bahwa gunung tersebut dipangku(ditunggu) oleh seorang sepuh dari kerajaan Tuban yang dijuluki “Mbah Loro Ireng”. Sesepuh desa yang punya kelebihan melihat dimensi lain menerangkan bahwa di gunung tersebut terdapat masjid yang lengkap dengan pedukuhannya, dikatakan bahwa di sana adalah tempat berkumpulnya para wali di sebelah timur Kerajaan Malang atau Sinhasari. Sehingga setiap bulan suro sesepuh desa dan masyarakat melakukan selamatan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan karena telah diberi kekayaan alam dan hasil panen yang melimpah. Pun demikian banyak juga masyarakat dari luar desa yang datang ke gunung tersebut, baik dengan niat tadabbur alam, atau dengan niat yang lain, tentu mereka semua memiliki penghormatan yang berbeda-beda terhadap alam.

Di masa perang dengan belanda, masyarakat Kaligadung atau lebih tepatnya masyarakat jawa menggunakan Gunung Jidor sebagai pusat pertahanan. Jika Belanda berpusat di Gunung Wonokoyo dengan tembakan yang bertubi-tubi, maka masyarakat Kaligadung memukul seng atau gembréng untuk mengimbanginya, sembari melepas satu peluru yang dimiliki oleh masyarakat kaligadung, itupun harus mengenai satu orang belanda. Artinya masyarakat jawa kala itu sudah memiliki strategi perang, hal ini berakar pada peradaban dan corak pemikiran yang berkembang.

Masayarakat menganal danyang  sebagai penunggu desa, dan memiliki peran yang luar biasa besar hingga saat ini. Danyang atau Dhanyang adalah pemangku yang menurut orang jawa kuno diyakini sebagai roh penunggu. Menurut Mbah Min, sesepuh Kaligadung, mengatakan bahwa “Dhanyang iku roh sing nunggu desa, nunggu gunung, nunggu sumber, lan jagad amba, ugo dhayang iku manggon ana ing pundèn. Akèh wong percaya, dhania iku iso dijaluki pitulung, pahalane dhanyang slametan, soale dhanyang iku dudu roh sing ganggu, nanging ngayomi ing masyarakat dhusun utowo masyarakat luas.” Pendek kata danyang itu adalah pengayom bagi masyarakat, tentu harus menjaga alam sekitar.  

Mbah Saridin dan Mbah Nyai Roro Restu (Setu) adalah orang yang mbedah krawang Desa Kaligadung. Makam Mbah Roro Restu terletak di daerah Tugu, di bawah pohon besar yang mungkin sudah berumur ratusan tahun. Sedangkan Mbah saridin ada di sebelah selatan jalan di seberang Mbah Roro Restu. Makam kedua Leluhur desa tersebut kerap menjadi ampiran atau jujugan bagu masyarakat setempat yang sedang memiliki hajat besar. Menurut sesepuh desa, karena pemangku desa ini adalah wanita, istilah lainnya adalah “danyang” maka setiap masalah yang ada di masyarakat desa dapat diselesaikan dengan kekluargaan, tidak sampai ada korban jiwa. Hal ini diyakini karena memang sering terjadi.

Antara Mbah Loro Ireng, Mbah Saridin, Mbah Roro Restu dan Kidang Wulung adalah satu rangkaian pemangku desa atau wilayah gunung jidor. Keterkaitan ini adalah wujud dari kerjasama antara manusia dan alam. Istilah danyang juga diyakini sebagai energi yang berperan besar. Artinya, apa yang dibangun oleh mbah-mbah dulu memiliki pengaruh yang besar terhadap anak cucu secara turun temurun. Hal ini juga diyakini sebagai buah dari hasil tirakatnya para leluhur.

Pada hakikatnya, alam adalah ruang yang melingkupi setiap makhluk. Di mana mereka berkewajiban untuk menjaga dan melestarikan apa-apa yang menjadi penunjang keberlangsungan alam tersebut. Salah satunya adalah menghormati papundhèn. Tidak membuat kerusakan di sana-sini, melestarikan alam sekitar, menjaga ekosistem adalah upaya untuk saling menghormati satu sama lain. Pun menjadi timbal balik yang signifikan antara manusia dengan alam sekitar.

Realitas sosial yang terjadi akan selalu berkembang dengan dinamika dan dialektika yang beragam. Hal ini disadari atau tidak terjadi atas campur tangan berbagai pihak. Baik yang kasat mata ataupun makhluk kasar. Pada akhirnya alam semesta yang terdiri dari ragam ruang dan dimensi memiliki korespodensi dan keterkaitan antara satu dengan lainnya. oleh karenanya, menjaga, melestarikan dan menghormati ragam perbedaan, pun corak, adalah sebentuk penghargaan terhadap alam semesta. Khususnya terhadapa alam sekitar. []

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *