Hubungan Konsumen dengan Obyek 

Lembaga pendidikan pada saat ini, di seluruh pelosok negeri sangat memperihatinkan, bukan karena akibat adanya wabah, akan tetapi ini akibat dari adanya hubungan antara lembaga dengan masyarakat selaku konsumen. Tentunya antara lembaga pendidikan dan toko swalayan itu hampir sama karena kedua sama-sama sebagai obyek kebutuhan masyarakat, tepatnya lembaga pendidikan sebagai obyek masyarakat untuk memenuhi kebutuhan anaknya dalam pendidikan, sedangkan toko swalayan adalah sebuah tempat dimana menyediakan kebutuhan sehari hari yang harus dipenuhi oleh masyarakat. Akan tetapi dari kedua lembaga ini, konsumen selaku pemangku kebutuhan ini kehilangan arah, akibat adanya hubungan dengan obyek yang selalu berubah. Sebagai contohnya adalah ketika konsumen membeli seseuatu barang atau kebutuhan, tentunya tidak membeli barang karena melihat manfaat, akan tetapi dalam rangka pemaknaan social. Sama halnya dengan memilih lembaga pendidikan, konsumen tidak melihat segi manfaatnya, akan tetapi hanya sebatas melihat kepada pemaknaan social. Sehingga dengan ini selaku konsumen memilih lembaga pendidikan asal-asalan saja tidak melihat secara utuh lembaga tersebut, asalkan terlihat keren oleh orang lain dan bahkan di akui oleh orang lain. 

Dalam rangka seluruh tatanan, obyek selalui berkaitan dengan yang lainnya sehingga ini akan membawa konsumen ke suatu rentetan motivasi belanja, sehingga ketika konsumen menyekolahkan anaknya tentunya ada beberapa rentetan motivasi lain, yang tentunya itu bukan untuk kebaikan anaknya untuk mengenyam pendidikan, akan tetapi hanya sebatas ingin di terlihat berbeda, dan bahkan ingin diakui oleh orang lainnya. Contohnya ketika konsumen ingin membeli kursi dan meja, tergoda dengan barang yang lainnya seperti rak buku dsb, hal ini pun terjadi terhadap konsumen untuk menyekolahkan anaknya. 

Barang atau kebutuhan baik pendidikan maupun kebutuhan sehari-hari, ini semuanya mengarahkan kepada dorongan atau perlakuan kepada konsumen, sehingga dengan adanya dorongan tersebut konsumen tergoda dan bahkan terperosok pada batas kemampuan ekonomi. Sehingga banyak sekali  konsumen dalam hal menyekolahkan anak ini tergoda dengan yang tidak pasti, dalam hal ini adalah warna keindahan dan makna dinamisme komersial yang mampu menentukan warna konsumsi. Tentunya ini adalah realita yang ada dalam dunia pendidikan kita. 

Untuk menyikapi ini semuanya, tentunya penulis menggunakan pisau analisa dengan menggunakan teori membongkar manupulasi tanda dari Jean Baudrillard. Sehingga dalam hal ini peran tanda sangat berpengaruh sekali terhadap prilaku konsumen, karena ia mampu mengarahkan konsumen akan gambar, fakta, dan informasi. Tentunya dengan hal ini pelaku kebutuhan menyamakan kenyataan ini dengan tanda-tanda. Contohnya anak 6 tahun ia berani meminta kepada ibunya untuk dibelikan pembalut, padahal ia sendiri belum saatnya membutuhkan pembalut karena belum mengalami menstruasi. Akan tetapi ia tetap saja ingin menggunakannya karena ia melihat gambar atau tanda, yang didapat dari iklan bahwasannya dengan menggunakan pembalut dengan merek apapun itu bisa dengan leluasa melaksanakan aktipitas naik kuda misalnya atau berenang. Tentunya ini sama halnya dengan konsumen selaku pemangku kebutuhan pendidikan, yang pertama kali adalah melihat tanda, sehingga yang terjadi adalah dengan sendirinya di tertipu oleh lembaga pendidikan, contoh kecil saja adalah mengenai jaminan lapangkan kerja setelah ia menjadi alumni. Padahal kenyataanya tidak. 

Hubungan Konsumen dengan Dunia Nyata

Hubungan konsumen dengan dunia nyata, bukan hubungan kepentingan, investasi dan tanggung jawab, namun semuanya adalah hubungan keingintahuan. Conohnya adalah ketika kita tertipu oleh iklan toko swalayan atau iklan sekolah, tentunya kita sekali-kali jangan salahkan iklan atau berita, akan tetapi kita harus mampu bisa berintropeksi diri dalam hal kengintahuan, atau mendengar sesuatu hal. 

Sehingga dengan hal ini selaku konsumen  baik sebagai pemangku kebutuhan sehari-hari atau pemangku kebutuhan dunia pendidikan, mendapatkan tekanan yang sangat besar sekali terutama tekanan psikologis, sosial, mobilitas tinggi, status dan persaingan dalam segala bidang. Yang nantinya ini akan menimbulkan rasa tidak nyaman dan aman. 

Makna sosial yang ditimbulkan dari semua ini, tentunya konsumsi dijadikan sebagai sistem pertukaran seperti bahasa. Contoh masuk sekolah unggulan ini tentunya sebagai alat komunikasi atau alat tukar sebagai penanda yang membedakan sesuatu kelompok. Dengan ini tentunya mempermudah klasifikasi sosial. Artinya adalah sebagai nilai yang mentukan status dalam hirarki sosial. Konsumsi tentunya akan menjadi bagian dari strategi yang menentukan bobot dalam distribusi nilai status. Melihat proses pembedaan sosial ini, seakan alamiyah dan dihayati. Akan tetapi konsumen mengalami semua itu sebagai bentuk kebebasan.

Tentunya dalam dunia pendidikan atapun yang lainnya, konsumsi dijadikan sebagai arena sosial yang tersetruktur. Sehinngga tidak asing lagi, kita jumpai banyak sekali lemabaga-lembaga yang menggunakan jasa orang sebagai iklan, dan bahkan tidak tanggung-tanggung mengundang jasa artis untuk dijadikan sebagai model, bertujuan untuk mengarahkan selera, atau pemikat. Sehingga dengan adanya model atau iklan tersebut melalui media masa ini akan menyebar luas, dan menyentuh setiap orang dalam hubungan dengan orang lain. 

Logika tanda, bukan dikaitkan pada salah satu fungsi atau kebutuhan tertentu, akan tetapi ini dikonsumsi akibat adanya hasrat akan sesuatu barang. Sehingga kebutuhan yang ia butuhkan sama sekali tidak akan ada puasnya, jadi bukan fungsi kebutuhan yang ia cari, atau kenikmatan,  akan tetapi fungsi sosial, dan fungsi kolektif (sebagai rasionalisasi individual, yang tidak jelas arahnya). Sehingga konsumen seakan merasa wajib menikmati, karena itu menjadi prinsip maksimalisasi, dan eksistensi dengan cara memperbanyak kontak relasi, dan mengeksploitasi semua kemungkinan kenikmatan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *