Istilah Santri dan Kiai

Kata santri dan kiai tentunya ini bukan kata yang baru lagi, karena kedua istilah ini sudah muncul sejak lama, dan bahkan santri dan kiai akhir-akhir ini sudah mampu memegang atau menduduki ranah-ranah strategis di dalam kancah kenegaraan, maka tentunya dalam hal ini, lembaga pendidikan pesantren banyak di buru oleh orang berbagai lapisan masyarakat. Ini terjadi bukan tidak ada sebab. 

Seringkali kita melihat fenomena yang sangat luar biasa, yang tidak pernah didapatkan di tempat lain, kecuali di pesantren. Fenomena ini muncul dengan cara spontan bukan di ada-adakan, misalnya adalah perlakuan santri terhadap sang kiai yang penuh rasa hormat, ketika adzan berkumandang semua santri laki-laki sudah siap untuk menjalankan ibadah shalat. Akan tetapi perlakuan santri tidak langsung serta merta melakukan shalat sendiri tanpa kiai. Akan tetapi dengan spontan dan suka rela mereka semua menunggu kedatangan kiai tersebut.  Perlakuan yang seperti ini yang muncul dari santri atau masyarakat bukan perlakuan yang dibuat-buat. Akan tetapi tindakan ini muncul dari sendiri yang spontanitas dan struktur . 

Memahami Santri dan Kiai

Untuk memahami santri dan kiai tentunya, ini keliatan sangat jelas kalau menggunakan teorinya Anthony Giddens. Karena Gidden menanggapi perihal santri dan kiai ini dengan melihat kepada struktur masyarakat dan actor. Dimana santri sebagai tatanan masyarakat memiliki kebebasan penuh untuk bertindak untuk memangun lingkungan sendiri. Akan tetapi kebebasan yang ia miliki secara utuh itu hilang ketika santri ketemu bertemu dengan Kiai, tentunya ia membatasi prilakunya, yang asalnya lagi santai ngobrol asyik dengan temannya, seketika itu pula tentunya suasana menjadi hening seolah-olah berada dalam lingkungan yang sepi tanpa berpenghuni. 

Sedangkan Kiai sendiri sebagai Agensi atau actor, ia harus mampu mengkontrol dan membina santri untuk menjalankan program-program atau aturan-aturan yang sudah dibuat. Akan tetapi kadang-kadang perlakuan santri terhadap Kiai, ada beberapa hal yang tidak tertulis di dalam aturan, diantaranya adalah perlakuan santri terhadap Kiainya dengan bertujuan untuk mencari keberkahan.

Arena Kiai

Dilain hal seoarang Kiai juga harus mampu bertahan hidup dalam sebuah arena, karena mau tidak mau seorang kiai tentunya berharap lembaganya atau pondokannya yang ia buat harus mampu menarik calon-calon santri yang akan menyantri kepadanya, dengan sebanyak-banyaknya. Dan disinilah tentunya harus diwaspadai, karena kejadiannya dilapangan lemabaga atau pondok pesantren dimanapun itu, tentunya ada motif persaingan. Sehingga yang terjadi adalah saling sikut dan sebagainya, yang membuat antar pengasuh pondok dan yang lainya menjadi tidak aman dan tentram. Mengenai perihal ingin santrinya banyak yang mondok di tempatnya, ini tidak harus seorang pengasuh pondok memakai jampe-jampe atau menanam sebuah benda dan sebagainya yang dijadikan sebagai jimat keberuntungan.

Untuk terhindar dari itu semuanya, tentunya kita harus mencari jalan keluar dari masalah tersebut, agar tatanan pesantren satu dengan yang lainnya saling membantu, saling kerja sama dan saling percaya satu sama lainnya, demi terciptanya tatanan yang harmonis dan dinamis. Tentunya ini tidak lepas dari habitus itu sendiri, kalau menurut  Anthony Giddens adalah actor atau agensi.

Habitus /Agensi

Dimana Bourdieu ini lebih menekankan kepada sejauh mana praktek yang dilakukan oleh seorang Kiai yang mampu bertindak dengan ciri hasnya sendiri yang membentuk sebuah nilai-nilai luhur atau identitas simbolik, yang  nantinya ucapan atau perlakuan yang ia keluarkan menjadi bahan pertimbangan dan acuan bertindak oleh masyarakat. Sehingga seorang kiai tersebut secara tidak langsung dapat legalitas atau pengakuan. Tentunya pengakuan yang didapati oleh Kiai, adalah bukan pengakuan yang dibuat-buat, atau di manupulasi dengan sedemikian rupa. Akan tetapi ini muncul akibat dari kehidupan sehari-hari seorang Kiai yang memiliki distingsi yang berbeda dengan Kiai lainnya.

Maka untuk mencari konsumen, atau yang ingin mondok atau sekolah tentunya ini harus terpenuhinya 4 faktor diantaranya adalah : Pertama Kapital Sosial, yang mana nantinya melahirkan relasi atau jaringan sebanyak banyak. Kedua Kapital Ekonomi, yang mana dalam hal ini adalah segala kebutuhan yang menyangkut ekonomi demi ksejahteraan seluruh civitas akademika, Ketiga Kapital Budaya, yang mana ini melahirkan prilaku-prilaku baik yang mencerikan suasana khas budaya pesantren. Keempat Kapital Identitas Simbolik, yang mana ini adalah kapital yang paling tinggi yang dapat mempengaruhi tatanan kehidupan lembaga atau pesantren. Yang mana habitus ini atau nilai-nilai luhur yang diperaktekan oleh seorang Kiai harus mampu diterima dan mampu dilegitimasi oleh seluruh komponen yang berinteraksi langsung atau tidak langsung. Yang nantinya perihal mencari calon-calon siswa atau santri yang mondok ini tidak usah kita repot sana-sini atau jemput bola dan sebagainya. Akan tetapi hanya cukup dengan mengonversi empat Kapital Sosial.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *