Kliwon. Bermula dari sebutan kaliwan. Ia berasal dari kata “kali” dan “wan”. “Kali” artinya “eling”. “Eling” biasanya diartikan; ingat. Padahal, eling tidak hanya sekedar ingat, melainkan ingat yang memiliki lapisan lebih dalam, luas, dan tidak bisa dijangkau oleh hanya perbuatan “mengingat” sebagaimana manusia mengingat orangtuanya atau orang terkasihnya. “Eling” yang menghunjam dalam dan menyebar luas itu disebut “kali”. “Eling” adalah waktu itu sendiri. Karena itu, “eling” juga berarti “padhang” atau terang. Islam yang dibawa oleh para wali menyepadankan “eling” dengan istilah; zikir. Penyepadanan ini bukan sekedar uthak-athik-mathuk, tapi merupakan operasi qiyas atau analogi berdasarkan kesamaan zat dan sifat keduanya.

Sedangkan “wan” atau “won” artinya “luwih” atau (ke)lebih(an). “Luwih” di sini bermakna bijaksana, yaitu akhlak atau kemampuan menempatkan hak dan kewajiban pada ruang dan waktunya. Dalam poros kiblat papat lima pancer (empat kiblat dan lima di tengahnya) atau tata letak arah perwilayahan, kliwon terletak di tengah. Ia memangku keburukan, kebaikan, kebenaran, kesalahan dan membasuh semua itu dengan pengampunan. Laku atau amal tetap Kliwon adalah menebar kasih-sayang. ‘Azizun ‘alaihi ma ‘anittum, harishun ‘alaikum, bil mukminina raufun rahim. Hanya dengan begitu, ia menjadi paku jagad raya.

Legi. Artinya manis. Tapi manisnya legi bukan manis inderawi semata. Melainkan manis yang harum atau wangi yang dapat “disaksikan”. Di Jawa, keharuman dan aroma tidak diaromai atau dibaui, tetapi disaksikan. Itu konsep aroma yang salah-satu perwujudan epistemologinya tertatah dalam istilah “ngeksigondo”. “Ngeksigondo” berarti; menyaksikan aroma. Nalar peradaban ilmiah-modern agak sulit memasuki khazanah epistemologi seperti ini.

“Legi” terletak di wetan atau wiwitan atau timur. Dengan demikian, legi berarti permulaan atau purwa. Ini menghajatkan pemaknaan lebih, yaitu sebuah kaidah tentang kebahagiaan hidup dimulai dari tindak-tanduk baik di tengah-tengah masyarakat. Itulah “kasusilan” atau akhlak yang hanya dapat ditempuh dengan polah-tingkah santun, pembicaraan harum, dan pembiasaan perbuatan baik tanpa pamrih. Ketanpapamrihan biasanya tampak polah-tingkah anak kecil yang benar-benar tidak menyimpan niat terselubung, maksud tersembunyi, dan sepenunggalnya. Di sini baru ditemukan asal-usul mengapa aroma dapat disaksikan. Lakunya legi adalah menguatkan iman. Tidak hanya sekedar pelisanan keesaan Tuhan, melainkan juga mewujud menjadi penghambaan dan pengabdian kepada sesama.

Pahing. Berasal dari kata “pahai/pahe/pae”, yang berarti “beda”. Akan tetapi bukan “beda” biasa, melainkan beda yang mengarah pada “pasulayan” atau pertengkaran. Tempatnya di selatan, yang juga disebut “daksina”. Salah satu arti daksina adalah kebodohan, yang merupakan pangkal pertengkaran. Mengapa? Sebab keinginan pahing adalah ingin hidup sendiri, menang sendiri, dan sepenunggalnya. Itulah yang disebut rayah-tamah atau angkara murka. Sifat ini bersumber dari keingingan untuk selalu memburu harta-benda.

Karena itu hatinya tidak tentram selamanya. Selalu dalam siksaan Tuhan. Paing juga disebut berasal dari kata “pahiang” atau kedewaan atau kedwian. Dewa adalah orang-orang yang secara sadar memilih untuk menjadi yang kedua. Untuk itu, ia membutuhkan perang-diri. Mujahadah dalam kosakata tasawuf. Jadi, amal atau laku pahing adalah memerangi dirinya sendiri. Sampai berhasil. Sampai rela menjadi yang kedua alias memunggungi wataknya yang selalu ingin menjadi yang pertama.

Pon. Dari kata “pong” yang berarti “pongga”, “dwipongga”, dan “kothong”. Kesemuanya berarti kosong atau suwung. Pon terletak di kulon. Kulon artinya “neriti”. “Neriti” artinya “barat”. “Barat” artinya sesuatu yang menyerap angin, menyerap hawa, menyerap sarinya suasana hati (swasana), dan memerintahkan masuknya benih udara (kebernafasan). Kulon memiliki laku salat daim, yaitu laku disiplin diri untuk terus-menerus dalam keadaan tidak lalai atau tidak melupakan Tuhan. Dengan demikian, makna kulon adalah mengosongkan cipta dan berlepas-diri dari godaan dunia. Tidak hanya itu, kulon juga berarti tidak lagi butuh pada kenikmatan, kesenangan, dan sepenunggalnya. Kebutuhannya hanyalah ayem tentrem. Di situ letak lakunya.

Wage. Artinya bahagia. Bahagia artinya rahayu. Juga berati slamet. Ia terletak di utara. Utara juga berarti “paksima” atau pintar mengelola hati yang menuju pada angkara. Apa itu angkara? Khazanah Jawa menempatkan angkara pada tiga perkara yang disebut “retnestri” atau “hestriyarta”. Ketiganya adalah busana atau sandang, baksana atau pangan, sanggama atau birahi pada lawan jenis. Ketiganya sering diungkapkan dalam peribahasa: nggombyang uwang, kecopak iwak, mining-mining pipi kuning. Laku atau amal hari pasaran ini adalah menuntut ilmu dan menunaikan amalnya sebagai bekal untuk mengelola angkara.

Wallahu a’lam.

Sumber:
Wirid Lukitadjati Lulungidaning Ilmu Kabatosan dan catatan-catatan dari kalam para sesepuh.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *