Satu lagi karya Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki, mahaguru ulama Nusantara awal abad 20 silam berjudul “Maqasid at-Tahkim fi Bayan Tsubut Syahr as-Shaum bi al-Hisab wa at-Tanjim” (beberapa tujuan penilaian dalam menetapkan bulan puasa dengan hisab dan tanjim) . Yang menarik dari kitab ini adalah penyebab dibalik alasan penulisan kitab ini, sebagaimana yang disebutkan penulisnya bahwa “telah datang kepada saya dari Tebuireng Jombang, sebuah kitab bertanggal 12 Rajab tahun sekarang (maksudnya: tahun 1355 H/ 1936 M) dari rais akbar Nahdatul Ulama (NU) di wilayah al-Mariki (Jawa), yaitu al-Alim al-Fadhil al-Hajj as-Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, tertulis bersamaan dengan kitab tersebut teks (surat) berikut ini yang berbunyi:
“saya kirim kepada tuan syaikh dua risalah (kitab pendek) yang berisi pandangan kedua penulis seputar masalah puasa yang sering terjadi polemik antara ulama kita…”
Syaikh Muhammad Ali Husain al-Maliki, pernah menjadi mufti mazhab Maliki di Mekkah dan sebagian karya tulisnya sebagai respons keagamaan yang terjadi di Nusantara (Indonesia dan Malaysia)
Jumlah halaman kitab ini keseluruhannya 64 halaman, dimana 40 halamannya khusus tentang masalah puasa. Sementara masalah-masalah lain yang dilampirkan adalah fatwa tentang israk dan mikraj, perbedaan pendapat yang menyebabkan perpecahan dan pengelompokan di masyarakat, bantahan atas bias misionaris dalam tafsir Audah al-Tafasir terkait 2 hadis tentang pribadi nabi Muhammad saw.
Latarbelakang penulisan kitab ini seperti yang disebutkan penulisnya adalah karena permintaan fatwa dan penjelasan dari Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari selaku rais akbar Nahdatul Ulama yang mengirim kepada penulis 2 risalah pendek (salah satunya kemungkinan besar karya Syaikh Muhammad Mansur Betawi, seorang ulama yang ahli ilmu falak asal Batavia yang mana judulnya tidak disebutkan tetapi dicetak pada pertengahan Jumadil Ula 1355 H di percetakan Sayyid Ali Alaidrus no 38 Batavia Centrum) pada tanggal 12 Rajab 1355 H dari pesantren Tebuireng Jombang beserta dengan surat tulisan beliau yang berbunyi:
“Saya mengirim kepada tuan (syaikh) 2 risalah dimana keduanya merupakan perspektif penulisnya seputar persoalan puasa yang banyak menyebabkan polemik antara ulama kita tanpa adanya pentahkikan. Persoalan ini termasuk diantara banyak permasalahan yang menjadi penyebab fanatisme buta dengan konsekuensi lahirnya perpecahan (tafarruq) dan (taba’ud) ketidak-akraban antar kewarganeraan.
Oleh sebab itu, saya sangat mengharapkan kepada tuan untuk melihat perbedaan pendapat dalam masalah ini, sesuai dengan keluasan bacaan tuan dari beberapa pendapat yang baik, dengan memberikan pendapat yang dapat menjadikan ketenangan hati. Semoga Allah swt selalu memberikan kita hidayah dan taufiq-Nya. Wassalamu’alaikum wr. Wb
Syaikh Muhammad Ali al-Maliki kemudian membaca 2 risalah tersebut dan mengambil kesimpulan bahwa isinya ada 2 pendapat: a) mengatakan tidak wajib berpuasa berdasarkan pendapat munajjim (orang yang melihat awal bulan dengan terbitnya bulan) dan hasib (pengguna hisab) dan b) mewajibkan.
Oleh karenanya, penulis membagi pembahasan kitab ini dengan 3 pembahasan:
- Argumentasi yang tidak mewajibkan (penulis mendukung pendapat ini)
- Argumentasi yang mewajibkan (pendapat ini dibantah oleh penulis)
- Membantah argumentasi Syaikh Muhammad Mansur bin Abdul Hamid Betawi
Untuk bagian pertama -dimana penulisnya mendukung pendapat ini- merujuk langsung kepada beberapa dalil dari a) hadis, b) ijmak dan c) pendapat empat mazhab fikih. Dari hadis, seperti hadis Imam al-Bukhari: “Puasalah kerena melihatnya dan makanlah karena melihatnya. Kalau terhalangi –dari melihatnya- atas kamu, maka sempurnakan bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Hadis lain, seperti “Kami kaum ummi ‘tidak pandai menulis dan menghitung”, “Tidaklah seorang yang mengambil ilmu nujum melainkan ia mengambil bagian dari ilmu sihir), dan “ pelajarilah ilmu nujum untuk mengetahui dengannya gelapnya daratan dan lautan kemudian (amsiku) tahanlah.”sementara ijmak menyebutkan bahwa “sekiranya imam berpendapat dengan hisab, kemudian hilal ditetapkan, maka pendapat imam tersebut tidak diikuti.” Sedangkan pendapat 4 mazhab menyepakati ijmak tersebut.
Untuk memperjelaskan pendapat mazhab, disini akan ditampilkan mazhab Syafi’i, bahwa menurut Imam al-Qasthalani, tidak boleh mengambil pendapat munajjim, kemudia ia berkata (dan juga pendapat) al-hasib, yaitu yang menghitung posisi bulan dan menentukan perjalanannnya sama seperti munajjim. Sementara maksud ayat: “dengan bintang mereka mengetahui” adalah ‘mengetahui dalil-dail kiblat ketika melakukan perjalanan, dimana dengan hisabnya boleh diterima seperti shalat, bukan maksudnya diterima dengan hisab untuk penetapan puasa.
Adapun pendapat yang mengatakan “apabila hisab menunjukkan atas hilal sudah muncul (terlihat), tetapi ada yang menghalangi dari melihatnya, maka ini menjadikan kewajiban puasa, karena ada sebabnya secara syar’i. Menurut penulisnya, pernyataan terakhir bisa diterima sekirannya yang mengatakan adalah orang yang jujur yaitu dengan melihat dan menyaksikan secara langsung. Tidak ada yang menyalahi pendapat mazhab Syafi’I kecuali Imam as-Subki ketika ditanya “kalau seseorang bersaksi melihat bulan malam ke-30 Sya’ban, kemudian al-hasib mengatakan tidak ada kemungkinan bulan dapat dilihat (adam imkan rukyah) malam tersebut, maka yang diperpegangi adalah pendapat al-hasib, sebab hisab adalah qat’i sementara syahadah (bersaksi) termasuk zhanni. Pendapat ini dibantah oleh banyak ulama mazhab Syafi’i sendiri.
Dalam mazhab Hambali, perdebatan terkait ketika bulan terhalangi dari penglihatan. Dalam hal ini, ada 2 pendapat dalam generasi sahabat: a) pendapat Abu Hurairah ra yaitu dengan melengkapi bulan Sya’ban menjadi 30 hari dan melarang puasa hari 30 Sya’ban. Sementara Ibnu Umar mewajibkan puasa hari 30 Sya’ban (yang sebenarnya 1 Ramadan) denga niat Ramadan sucara hukum zanni dan kehati-hatian, bukan secara yakin (niyat Ramadan hukman zanniyan ihtiyatan la zanniyan) dan ini juga pendapat sebagian sahabat, karena sebenarnya asal jumlah bulan qamariyah adalah 29 hari, dengan menafsirkan kata “faqduru lahu” dengan arti “dayyiqu” (menyempitkan) yaitu menjadikannya 29 hari).
Untuk bagian kedua (yang mewajibkan) dengan 3 alasan: a) menganalogikan boleh menggunakan hisab dalam puasa dengan analoginya untuk shalat, yang menurut penulis analogi ini adalah qiyas fi mahalli an-nash (qiyas dengan adanya nash) tidak dibolehkan. B) zahir nash ayat ‘ wa bin an-najm hum yahtadun” yang menunjukkan makna umum. Menurut penulis keumuman makna ayat dikhususkan dengan hadis-hadis yang tidak menyebutkan hisab sebagai alat penetapan puasa, dan c) menganalogikan bolehnya puasa dengan hisab yang zanni dengan bolehnya menghadap kiblat dengan zanni dalam keadaan bingun, juga dibantah dengan argumentasi yang pertama yaitu qiyas fi mahalli an-nash.
Untuk bagian ketiga, penulis mengkhususkan bantahannya atas pendapat Syaikh Muhammad Mansur bin Abdul Hamid Betawi dalam 8 argumentasi dan bagian ini merupakan pembahasan yang terpanjang.
Semoga bermanfaat dan Allah membalas yang terbaik bagi penulisnya
Medan, 16 Desember 2019
No responses yet