Paijo kedatangan tamu santri senior  Yuk Tin,  yang ternyata seorang dokter spesialis di negara maju dan bahkan sudah menjadi permanen residen di negara itu. Setelah tahu Yuk Tin sudah uzlah dan tidak kembali, dia memutuskan untuk ngobrol sama Paijo. 

Jama’ah : “Jo kamu tahu, secara materi aku tidak kekurangan apapun. Meski istriku berkebutuhan khusus tetapi di negaraku semua sarana dan prasarana bagi mereka yang berkebutuhan khusus sangat diprioritaskan oleh pemerintah. Aku bisa berkarir sebagai dokter spesialis dengan sangat nyaman. Gaji besar dan apresiasi masyarakat juga tinggi. Satu yang membuat aku tidak sempurna menikmati kebahagiaan adalah soal kehidupan sosial keluarga kami.”

Paijo : “Lho emang kenapa pak dokter dengan keluarga anda? Kalau mendengar cerita yuk Tin dan juga anda tadi, terlihat bahagia dan sangat harmonis. Anak anda juga sukses kehidupannya di sana.”

Jama’ah : “Kamu betul Jo, anakku sudah lulus kuliah dan bahkan sudah bekerja dan bahkan sudah bisa nyewa apartemen sendiri. Tapi itulah justru masalah kami. Meski aku hidup negara Barat yang maju, tapi jiwa kami berdua dibesarkan di Indonesia dengan karakter budaya Jawa yang sangat kuat. Rumah kami cukup besar untuk bisa menampung bahkan dua keluarga sekalipun. Tapi ya begitulah Jo, disana sudah menjadi tradisi jika seorang anak  sudah mandiri. Otomatis dia akan keluar dari rumah orangtuanya. Terasa aneh jika masih hidup bersama keluarga besarnya. Hal inilah yang membuat kami kadang merasa kesepian. Bahkan terkadang membuat kami ingin pulang dan berkumpul lagi di Indonesia. Tapi kamu tahu kan dengan keadaan istriku yang hidup di atas kursi roda,  kasihan sekali kalau ingin berjalan-jalan kemanapun.”

Paijo : “Saya bisa merasakan kesedihan bapak dan ibu, kami di warung ini baru saja ditinggal sama Yuk Tin. Seperti juga halnya bapak kami sedang sedih dan merasa kenapa harus mengalami perpisahan. Padahal kita masih merasa bisa bersama hidup dalam keharmonisan sosial. Tapi terkadang takdir kehidupan itu tak harus sesuai dengan harapan kita. Mungkin terlalu banyak nikmat yang sudah diberikan Tuhan kepada kita. Kini saatnya kita harus lebih banyak bersyukur dengan nikmat itu dan tidak terus mengeluh dengan sesuatu yang tak sesuai harapan kita.”

Jama’ah : “Panggil aku akang saja Jo, kita kan sama-sama santri Yuk Tin biar lebih enak ngobrolnya. Menurutmu bagaimana kita bisa menikmati hidup yang secara esensi tidak sesuai dengan harapan kita Jo ?”

Paijo : “Kang Yuk Tin pernah bilang, bahwa kita sebagai manusia punya harapan jasadiah dan sekaligus ruhania. Keinginan untuk sukses jadi terkenal, kaya, punya gelar akademik, dan bisa memiliki anak sukses adalah bagian dari harapan jasadiah itu. Sementara harapan ruhaniah terkait dengan kepuasan batin kita karena terpenuhinya kebutuhan spiritual kita. Dua harapan ini bisa bersatu dalam konsep “jama’ah”. Yakni kita merasa menjadi satu tubuh atau keluarga harmonis yang utuh, saling menjaga dan mendoakan dalam suka dan duka.”

Jama’ah : “Nah itulah Jo yang aku sulit dapatkan dengan kondisi budaya di sana. Kami seolah larut dalam tradisi individualisme yang akut. Bahkan anakku sendiri jika mau datang ke rumah kami selalu minta ijin. Mau pinjam atau ambil piring saja minta ijin. Padahal kami sudah berkali-kali menawari agar dia kembali ke rumah orang tuanya sendiri. Tapi tetap saja tidak bisa. Semakin tua kami merasa tidak  bahagia dengan keadaan ini Jo”. 

Paijo : “Benar kang, semakin tua jasad kita, harapan ruhaniah akan semakin kuat. Sebenarnya Sama saja gaya hidup di sana dan di sini kang. Meskipun di sini anak seolah bisa kita atur agar hidup dengan orang tuanya. Tetapi bagi anak, terkadang itu terasa tidak nyaman karena akan menciptakan ketakmandirian sosial dan ekonomi. Bahkan hal itu pengaruhnya sangat besar bagi masa depan sang anak. Di sana alam lebih membutuhkan anak yang mandiri, tetapi di sini alamnya membutuhkan keguyuban sosial yang tinggi. Tetapi harapan spiritual di sini lebih baik karena kita merasa aman dengan masa depan “kematian” kita. Dengan melihat keguyuban sosial dalam mengurusi orang yang telah mati dengan beragama adat dan ritual keagamaan, kita bisa merasa lebih tenang menghadapi hari tua dan kematian kita. Sementara di sana semua seolah serba mekanis dan tidak ada nuansa spiritual kecuali sebatas pada keluarga inti semata. Apalagi jika tidak ada komunitas sebangsa yang kita kenal. Hal inilah yang terkadang membuat kita kurang bahagia.”

Jama’ah : “Kamu benar Jo, tapi aku tetap saja resah dengan keadaan kami saat ini. Mau pulang anak tidak mau ikut, lantas kami harus bagaimana?”

Paijo : “Kang semua ini sudah menjadi takdir Nya. Percayalah jasad kita ini hanya wadah buat ruh yang lebih abadi dan penting. Kalau kita istiqomah dengan keimanan dan amal shaleh, kita akan dikumpulkan dengan keluarga  besar kita yang shaleh. Itulah kebahagiaan ruhaniah yang akang rindukan. Janganlah keadaan dunia jasad ini membuat akang lupa untuk mendidik anak dan cucu kita menjadi shaleh dan shalihah. Karena itu janji Allah yang tidak mungkin diingkari jika kita bisa menjaga keistiqomahan amal kita.”

Jama’ah : “Ya Allah, Alhamdulillah terimakasih kasih Jo. Benar kata Yuk Tin kamu akan bisa membuat hatiku lebih tenang setelah ngobrol panjang. Aku pamit dulu Jo. Assalamu’alaikum. #SeriPaijo 

6 Desember 2021

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *