Categories:

Istilah tanzili barangkali tidak terlalu familiar dalam kajian tafsir al-Qur’an. Abd al-‘Aziz al-Dhamir, dalam kitab Tanzil al-‘Ayat ‘ala al-Waqi’ inda al-Mufassirin,  mendefinisikannya sebagai pengkiasan atau pembandingan (analogi) realitas yang dihadapi penafsir dengan kejadian yang serupa dalam ayat al-Qur’an, baik secara keseluruhan, sebagian, atau bahkan kebalikan dari subtansi ayat. Dari definisi ini terdapat dua variabel yang penting untuk digarisbawahi guna memahami ilmu ini secara lebih mendalam. Keduanya adalah ayat (teks) dan realitas (konteks). 

Pendekatan tanzili dapat dikategorikan sebagai bagian tafsir kontekstual karena mengontekstualisasikan ayat dengan konteks yang dialami mufassir. Memang dari definisinya di atas tidak tampak penyebutan konteks sosio-historis dalam pendekatan ini, namun hal itu dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuannya. Pendekatan ini bergerak dari teks yang dipahami bersama konteks yang mengitari turunnya menuju konteks di mana mufassir hidup. Dari proses tanzil-nya, pendekatan ini dapat digolongkan sebagai tafsir bi al-ra’y dengan memakai prinsip qiyas (analogi) dengan membandingkan peristiwa yang terjadi pada era mufassir dengan apa yang terkandung dalam substansi ayat. 

Pendekatan tanzili merupakan upaya untuk mempertemukan wahyu (teks al-Qur’an), rasio penafsir, dan realitas, yang harus selalu dimainkan. Seorang penafsir mesti kreatif mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks yang terbatas dengan realitas sebagai konteks yang tak terbatas. Dengan demikian, upaya untuk selalu melakukan penafsiran merupakan sine quo none. Mengingat problem dan tantangan yang dihadapi umat Islam semakin kompleks, sementara tidak setiap problem terdapat jawabannya secara eksplisit dalam al-Qur’an.

Pendekatan tanzili telah dipakai sejak zaman Khulafa’ al-Rasyidin, meskipun belum mempertimbangkan secara ketat dawabit (ketentuan-ketentuan)-nya. Tepatnya pasca terbunuhnya Utsman ibn ‘Affan ra, ketika itu bermunculan banyak kelompok seperti Khawarij, Syi’ah, dan lain-lain, yang mengontekstualisasi (tanzil) sebagian ayat untuk melegitimasi pemikiran kelompok masing-masing. Sebagai contoh adalah kontekstualisasi ayat:

اِنَّكَ مَيِّتٌ وَّاِنَّهُمْ مَّيِّتُوْنَ ثُمَّ اِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ عِنْدَ رَبِّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ

“(30) Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula). (31) Kemudian sesungguhnya kamu pada hari Kiamat akan berbantah-bantahan di hadapan Tuhanmu.” (QS. Al-Zumar 30-31)

Ibn ‘Umar ra mengontekstualisasi ayat ini untuk mengomentari fitnah yang terjadi atas terbunuhnya Utsman ibn ‘Affan ra. Ia berkata, “Ayat ini telah turun kepada kita. Akan tetapi kita tidak memahaminya hingga terjadi fitnah ini, kemudian kita berkata, ‘inilah yang dijanjikan oleh Allah bahwa kita berbantah-bantahan (bertengkar) dalam kasus ini.’”

Di lihat dari segi substansi, pendekatan tanzili dapat dipetakan dalam tiga bentuk: 

Pertama, tanzil kulli atau kontekstual-holistik, di mana seorang mufassir mengontekstualisasikan ayat yang dikaji dengan realitas yang sesuai dengan substansi ayat secara menyeluruh. Di antara contoh tanzili dari bentuk ini adalah penafsiran al-Qurthubi terhadap ayat:

وَاِذَا قَرَأْتَ الْقُرْاٰنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِالْاٰخِرَةِ حِجَابًا مَّسْتُوْرًاۙ

“Dan apabila engkau (Muhammad) membaca Al-Qur’an, Kami adakan suatu dinding yang tidak terlihat antara engkau dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat.” (QS. Al-Isra: 45)

Di antara tafsir dari ayat ini, sebagaimana diungkap al-Qurthubi, adalah ketika Nabi saw hendak hijrah ke Madinah, sementara orang-orang kafir mengepung rumahnya dan ingin membunuhnya. Maka saat itu, ia keluar dari rumah dengan segenggam debu dan melemparkannya ke arah mata orang-orang kafir seraya membaca Q.S. Yasin: 1-9. Seketika Allah swt mencabut penglihatan mereka dan tidak melihat keluarnya Nabi saw dari kediamannya. Maka pembacaan ayat al-Qur’an oleh Nabi saw ini menjadi cara melindungi diri agar musuh-musuhnya tidak mampu melihatnya, sebagaimana janji Allah dalam Q.S. al-Isra’ [17]: 45.

Dari penafsiran tersebut, al-Qurthubi lantas melakukan tanzil dengan menceritakan apa yang pernah ia alami di Kordoba. Suatu ketika ia pernah berhadapan dengan musuh lalu ia melarikan diri. Saat itu ia pun membaca Q.S. Yasin: 1-9 serta beberapa ayat lain. Sehingga ketika ada dua musuh penunggang kuda yang mencarinya, keduanya pun tidak melihatnya, padahal ia sedang duduk di tanah lapang dan tidak ada sesuatu yang menutupinya dari kedua musuh tersebut.

Kedua, tanzil juz’i atau kontekstual-parsial, yaitu seorang mufassir menyajikan penafsiran ayat serta realitas yang ia hadapi yang sesuai dengan sebagian dari isi ayat tersebut. Sebagai contoh adalah tanzil yang dilakukan al-Razi terhadap ayat:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْاَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.” (QS. Al-Tawbah: 34)

Pada ayat ini, al-Razi menafsirkan bahwa para pemimpin Yahudi dan Nasrani itu memiliki sifat thama’ (berharap pemberian) dan sangat ingin mengambil harta orang lain tanpa hak. Dari sini kemudian al-Razi melakukan tanzil dengan mengatakan bahwa siapapun yang mengamati keadaan para pendeta Yahudi dan Nasrani pada zaman ini, maka akan mendapati bahwa ayat ini seolah tidak turun kecuali menjelaskan keadaan mereka. Jika salah satu dari mereka ditanya maka ia mengaku tidak menginginkan dunia dan hatinya tidak terpaut dengan makhluk. Ia merasa suci dan terjaga bak malaikat. Sampai jika ditanyakan kepada yang lain barulah ketahuan bahwa ia gila harta hingga rela dalam kehinaan untuk memerolehnya.

Ini merupakan bentuk tanzil juz’i atau sebagian dari substansi ayat, sebab dalam ayat tersebut terdapat sifat mereka yang lain, seperti menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah.

Ketiga, tanzil ‘aksi atau kontekstual-terbalik, yaitu mengontekstualisasikan ayat dengan realitas yang bertentangan dengan substansi ayat tersebut. Jenis ini dipakai oleh penafsir ketika mendapati realitas di sekitarnya yang bertentangan dengan seruan al-Qur’an. Sebagai contoh adalah tanzil yang dilakukan Abu Hayyan terhadap ayat:

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55)

Terkait ayat ini, Abu Hayyan menafsirkan bahwa kaidah syariat melegitimasi akan banyaknya pahala melembutkan suara daripada berteriak-teriak dalam hal doa untuk urusan kebaikan. Ia lalu mengutip perkataan al-Hasan al-Bashri bahwa umat Islam bersungguh-sungguh dalam berdoa hingga tidak terdengar suara mereka. Sebab mereka sedang berbisik dengan Allah. Sampai di sini, Abu Hayyan lalu mengatakan bahwa seandainya al-Hasan masih hidup hingga hari ini, ia akan melihat berbagai penyimpangan umat, seperti memakai pakaian syuhrah (terkenal), berzikir dengan teriak-teriak di masjid, dan lain-lain.

Dengan menggunakan pendekatan tanzili, seseorang dapat melihat bagaimana seorang mufassir melegitimasi realitas yang terjadi pada zamannya dengan substansi ayat. Ini merupakan bagian dari upaya memperoleh petunjuk al-Qur’an untuk realitas yang terjadi. Sehingga dari situ penafsirannya tampak tidak kaku, bahkan sebaliknya terjadi dialog antara tafsir ayat dan realitas. Selain itu, melalui pendekatan tanzili, peneliti juga dapat mendeteksi posisi mufassir terkait realitas yang sedang terjadi.

Sisi yang lain, tanzili ini dapat dilihat sebagai upaya seorang mufassir untuk memudahkan pemahaman maksud dari suatu ayat. Sehingga umat Islam semakin dimudahkan dan terdorong untuk selalu dekat dengan al-Qur’an. Bahkan tanzili juga dapat dilihat sebagai representasi dari perjalanan hidup seorang mufassir, karena terkadang realitas yang disinggung adalah pengalaman pribadinya, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Qurthubi di atas. Wallahu a’lam.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *