Sudah sebulanan ini pondok di gubuk saya mengadakan perbaikan kecil-kecilan. Dalam Minggu ini tukang las membuat kamar kecil mirip portabel untuk para tamu wali santri. Semua itu ide istri bukan ide saya.
Saya merasa ada yang agak unik dari pria yang memperbaiki kamar kecil. Paginya saya ikut nimbrung dengan mereka. Mereka kelahirannya rata-rata tahun 1978-1980. Seorang (sebut si A) berkata, “Jenengan cara ngomongnya persis Mbah Wahab, tegas.” Saya tidak ambil pusing dengan ucapannya karena saya juga belum pernah ketemu di dunia nyata dengan Mbah Wahab. Mbah Wahab wafat tahun 1971 sementara saya baru lahir setahun kemudian.
Dia melanjutkan ucapannya bahwa di gubuk tempat saya jagongan “diumbah” Mbah Wahab alias dinasehati karena sholatnya masih banyak bolongnya. Walau minum araknya sudah lama ditinggalkan. Tanpa saya perlu bertanya apa benar begitu, saya langsung bilang, Alhamdulillah semoga gak bolong lagi.
Dia yang sebenarnya awalnya tidak tahu banyak tentang Mbah Wahab karena keturunan kejawen malah semakin penasaran kok bertemu dengan pribadi “di alam lain” yang mengaku Mbah Wahab. Akhirnya kemarin malam dia ke makam Mbah Wahab setelah sebelumnya bertanya lokasi makam ke santri. Baginya, hal menarik dari nasehat Mbah Wahab adalah, manusia tidak ada yang sempurna yang penting kita tiap hari berupaya memperbaiki diri agar bermanfaat kepada yang lain.
Pria yang satunya (sebut si B) termasuk keturuan kiai di dekat sungai Brantas Mojokerto. Dia generasi kelima dari kiai yang merupakan pasukan pangeran Diponegoro. Pria yang tampilannya kayak preman ini punya bengkel. Tapi jangan tertipu dengan tampilan luar, saya yakin dia punya “roso temen ke Pengeran” dan kejujuran bisa dibaca serta sholatnya tekun.
Dia yang banyak berkisah lelakon temannya plus dia sendiri yang dulu sering menyisiri dari satu makam ke makam lain, termasuk topo mendem kaki di Brantas. Si A dan si B memang sejak kecil berkawan dan mengembara ke berbagai tempat, bahkan akhirnya menikah dengan adik perempuannya.
Ada satu pria lagi (sebut si C) yang punya pengalaman dengan GAM sewaktu diajak ayahnya transmigrasi puluhan tahun lalu ke Aceh (sampai dia bisa bahasa Aceh). Suatu saat, dia yang baru lulus SMA bersama adiknya jalan-jalan ke kota Aceh, di tengah jalan dicegat GAM dan langsung dibawa ke tengah hutan di pegunungan. Selama 3 bulan dia adiknya bersama banyak orang lain digembleng ala tentara dan disumpah setia.
Karena memang dia tidak berniat ikut GAM, maka sambil bisik-bisik dengan temannya berencana melarikan diri. Suatu waktu ada peluang, 20 orang melarikan diri dengan masing masing membawa senjata pemberian GAM. Dia langsung menuju Medan senjata dibuang dan pulang ke Jawa.
Udah gitu saja… semoga bermanfaat, kalau tidak bermanfaat semoga barfaedah……. Bagi saya, saat ekonomi sulit ini ada orang bisa kerja akan membuat saya senang. Makanya tadi pagi ada santri yang datang lalu saya tanya apakah bapaknya masih kerja di bonsai, dan kamu apa juga membantu? Alhamdulillah
No responses yet