Kompleksitas hubungan antara hadis dan tradisi adalah problem klasik. Bahkan di era Nabi, persinggungan keduanya telah terjadi. Di satu waktu keduanya bersifat akomodatif, namun di saat bersamaan, dapat bersifat antagonistik. Contoh kecil yang mudah dirujuk adalah masalah pernikahan. Banyak hadis Nabi melarang praktik nikah yang sudah tertradisikan di Arab, seperti nikah syighar. Namun di waktu yang sama, juga mempertahankan praktik nikah yang dinilai tidak merugikan kedua belah pihak, calon suami dan istri. Demikian halnya dengan pembatasan jumlah istri.

Ketegangan dan keharmonisan hadis dengan tradisi terus berlanjut di era sahabat, tabi’in, tabi’in tabi’in, generasi berikutnya hingga sekarang saat ini. Dalam diskursus keilmuan fiqih, lantas dirumuskan kaidah “al-‘adah al-muhakkamah”. Adat adalah salah satu landasan hukum. Dalam kajian kaidah fiqih (qawaid fiqhiyah), semisal dalam kitab “al-Asybah wa al-Nadhair” karya Imam al-Suyuthi (911 H), kaidah ini diposisikan sebagai satu di antara lima kaidah utama dalam masalah fiqih (al-qawaid al-khams al-bahiyyah alati turja’u ilaiha jami al-masail al-fiqhiyyah). Dengan kata lain, hubungan hadis dan tradisi telah menjadi sebuah tradisi diskursus keilmuan itu tersendiri. Lantas apa relevansinya dengan kehidupan kita saat ini?

Kedalaman dan kedangkalan memahami pola hubungan tradisi dan hadis ini akan berkorelasi pada kemampuan kita menghidupkan hadis dalam kehidupan kita saat ini. Gagap terhadap jalinan keduanya, berisiko membunuh pesan-pesan mulia hadis itu sendiri. Contoh sederhananya adalah perdebatan terkait klepon dan baju batik beberapa waktu yang lalu. Dimana oleh sebagian saudara kita, makanan sunnah adalah kurma, bukan klepon. Pakaian sunnah adalah jubah, bukan batik. Meskipun tidak sepenuhnya salah orang suka makan kurma atau memaki jubah, karena dulu Rasulullah terbiasa dengan kedua hal tersebut, namun tentu tidak tepat jika lantas menganggap klepon dan batik bukanlah hal yang sunnah. 

Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. (1952-2016),  menegaskan bahwa Rasulullah memakai jubah dan imamah karena keduanya adalah pakaian dan identitas bangsa Arab. Karena itu, jika muslim di Indonesia memakai batik sebagai pakaian dan identitas bangsanya, maka ini juga termasuk sunnah. Demikian halnya dengan muslim di China, Eropa, dan Amerika yang memiliki pakaian dan identitas tersendiri. Sebatas pakaian tersebut telah memenuhi batasan menutup aurat, tidak transparan, tidak menyerupai pakaian lawan jenis, dan tidak ketat, maka absah jika memakainya adalah sunnah.

Di titik inilah, buku terbaru karya Mas Hilmy Firdausy yang berjudul “Ngaji Hadis Ngaji Tradisi” (2020) ini penting kita kaji lebih lanjut. Buku setebal 298 halaman terbitan Maktabah Darus-Sunnah ini adalah hasil pergumulannya selama ini. Khususnya dalam memetakan relasi hadis dan tradisi. Selain ngaji kitab-kitab induk hadis dan ilmu hadis di Ma’had Darus-Sunnah di bawah asuhan Kiai Ali Mustafa Yaqub, santri alumni Nurul Jadid Probolinggo itu juga nyantri kalong ke rumah KH. Dr. Ahmad Baso, MA. Seminggu sekali, selama 5 tahun, Mas Hilmy “talaqi” menggumuli pemikiran Mohammed Abed  al-Jabiri di kediaman KH. Ahmad Baso, di belakang Pasar Ciputat. Tidak tanggung-tanggung, karya pemikir kontemporer asal Maroko itu didedah satu persatu. Ditambah lagi, di siang harinya, santri pengidola Bung Karno itu juga mengasuh ilmu di Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dengan bekal ini, tidak aneh jika halaman perhalaman buku bersampul gambar Menara Kudus ini layak kita diskusikan. Lantas tertarikkah anda?

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *