Pelabuhan Lama yang dibangun kolonial Belanda cukup lama dan resmi beroperasi tahun 1925 di Banjarmasin, kini hanya tinggal kenangan bagi orang yang pernah tinggal atau beraktivitas di sana. Sejak tahun 1990, ia sudah tak lagi difungsikan sebagai pelabuhan, meskipun masih ada perahu dari Surabaya (Madura) yang membawa buah terutama mangga yang bertambat di sana. Demikian juga, masih banyak mobil truck yang berkeliaran dan berkumpul di daratannya Jl. R.E. Martadinata untuk mengangkut barang dari Banjarmasin ke Hulu Sungai dan sekitarnya.
Dahulu, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia mengeluarkan Beslit No. 19 tanggal 25 November 1925, yang kemudian direvisi lagi dengan Beslit No. 14 tanggal 17 Oktober dalam Statblad No. 616 tahun 1938, perpindahan Pelabuhan ke dalam Sungai Martapura yang dikenal dengan Pelabuhan Martapura Lama atau Pelabuhan lama.
Secara perlahan, Pelabuhan Lama ini menjadi pelabuhan yang sangat ramai dari bongkar-muat barang dan turun-naik penumpang termasuk tempat pemberangkatan haji. Terminal berlabuhnya menjadi sangat padat dengan kapal-kapal besar dan perahu-perahu dari luar ditambah lagi dengan kapal-kapal kecil dan perahu dari pedalaman Kalimantan. Lebih dari itu, ia bisa dikatakan satu-satunya pelabuhan di tepian sungai yang sangat ramai di kawasan Kalimantan, tidak hanya di Banjarmasin.
Ramainya pelayaran dan lalu lintas perdagangan di Pelabuhan Lama bukan tanpa halangan. Hambatan kondisi alam sangat dominan mengganggu operasional pelabuhan. Banjarmasin di era 1901-1930, endapan lumpur yang di Sungai Barito dan Sungai Martapura beserta sejumlah besar anak sungai yang bermuara ke Pelabuhan Lama cukup membuat sedikit gangguan terutama dalam waktu kedatangan dan keberangkatan.
Namun semua halangan tersebut, justru dapat ditanggulangi oleh pemerintah Hindia Belanda dengan mengoperasikan mesin pengeruk lumpur, meskipun sedikit agak mengganggu kesibukan pelayaran dan lalu lintas perdagangan. Juga dengan membuat anak kanal-kanal baru untuk memperbaiki sarana prasarana pelabuhan termasuk agar gudang-gudang di dalam kompleks douane pelabuhan dapat dicapai dengan perahu langsung dari sungai tanpa tergantung dermaga schroefpall hingga bongkar-muat menjadi lebih mudah.
Antara tahun 1924-1925, pemerintah Hindia Belanda kembali melakukan peningkatan kondisi fisik pelabuhan dengan upaya perbaikan emplasemen douane dengan sebuah kanal. Untuk membuat kanal sepanjang 126m, pemerintah Hindia-Belanda menghabiskan dana sebesar fl. 91.355. Selain itu direncanakan untuk mengadakan perbaikan emplasemen pelabuhan dengan anggaran biaya sebesar fl. 46.000. Segala perbaikan ini, meskipun mengeluarkan biaya besar, tapi tidak akan merugi bahkan akan mendapat untung banyak dari hasil padatnya kapal dan perahu yang datang baik dari luar maupun dari pedalaman.
Dalam perkembangan hingga tahun 1942, tepatnya 2 hari sebelum tentara Jepang masuk ke Banjarmasin, Pelabuhan Lama dibumi-hanguskan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pelabuhan yang sangat ramai ini nyaris rata dengan tanah. Gudang-gudang dan kompleks perkantoran pelabuhan porak-poranda. Bangunan yang tertinggal hanya jembatan pendaratan (dermaga) sepanjang 248 meter yang sebagian juga sudah rusak. Pada masa pendudukan Jepang Pelabuhan Lama dibangun kembali dan beberapa fasilitas diperbaiki seperti jembatan pendaratan diperpanjang 100 meter lagi sehingga menjadi 348 meter. Sejak saat itu, Pelabuhan Lama memiliki dua dermaga. Pertama, dermaga lama sepanjang 243 meter dengan lebar 10,5 meter, di mana lantai dermaga dan konstruksi penunjangnya berbahan kayu Ulin. Kedua, dermaga baru sepanjang 100 meter yang lantainya terbuat dari kayu biasa, tapi konstruksi penunjangnya dari kayu Ulin.
Kemudian, antara tahun 1970-1980, aku menyaksikan Pelabuhan Lama, masih sangat ramai bongkar-muat barang dan turun-naik orang. Kampung-kampung sekitar Pelabuhan seperti Teluk-Tiram, Nagasari, Kertak Baru, Dahlia, Telawang, Pekauman, RK. Ilir, Kelayan dan sekitarnya bertumbuh ekonominya pada sektor formal ataupun sektor informal. Banyak CV dan PT yang bergerak bidang jasa dan industri. Rumah Makan dan Warung Makan tersedia banyak di muara setiap kampung. Bermunculannya rumah-rumah penginapan dan gudang-gudang penampungan sampai adanya gedung kesenian dan tempat hiburan. Aku ingat pernah menonton kesenian tradisional Mamanda dan seni bela diri Pancarlima di salah satu Gedung Pertunjukan di kompleks Pelabuhan Lama yang dikenal sebagai kampung Belakang Boom.
Demikian sekilas kisah tentang Pelabuhan Lama yang sekarang sudah menjadi kenangan. Aku terkenang saat pergi melanjutkan studi ke Yogya melalui Surabaya, berangkat berlayar dengan kapal Bimoli di Pelabuhan Lama tanpa tangis keluarga dan lambaian kasihku tercinta. Sobatku Gusti Ardiansyah terkenang saat masih remaja suka mengail (maunjun), udang dan ikan di dermaga Pelabuhan Lama. Sahibku Zulfaisal Putera, terkenang waktu ia usia sekolah menyeberang pakai Getek atau Tambangan menuju tempat sekolah di Teluk Tiram berjalan kaki melewati Pelabuhan Lama.
Sayang Pelabuhan Lama tak seramai dulu lagi, kalau malam seperti menjadi kota hantu gelap dan sunyi lewat di sana serasa sedap-sedap ngeri.
No responses yet