Seringkali kita mendengar bahwa manusia adalah makhluk social. Artinya, manusia adalah makhluk yang selalu hidup bersama sesamanaya. Oleh sebab itu, manusia tidak mampu bertahan hidup sebagai manusia yang sejati tanpa kehadiran dan berinteraksi dengan sesama manusia lainnya.

Selain itu, disadari atau tidak, manusia bukan hanya makhluk social, tetapi juga makhluk ekologis. Ini karena, secara sadar, manusia merupakan satu kesatuan ekologis dengan alam semesta seluruhnya. Oleh karena itu, manusia bukan saja bergantung pada sesama manusia, bahkan manusia untuk membangun interaksi yang hakiki secara integral bergantung satu sama lain dengan alam semesta dan seluruh isinya.

Sebagai makhluk ekologis, manusia sewajarnya menyadari cara hadir di bumi dan cara berinteraksi dengan alam semesta ini. Ironisnya, manusia justru menjadi penyebab kerusakan bumi secara massif. Manusia telah mengeksploitasi alam ini dengan mencari justifikasi atas tindakanya itu dengan mengatasnamakan demi kesejahteraan manusia itu sendiri.

Dalam konteks inilah, Fritjof Capra dalam bukunya “The Web of Life” mengajak untuk menjadi manusia yang melek ekologis (eco-literacy). Ekoliterasi berarti keadaan dimana manusia sudah tercerahkan tentang pentingnya lingkungan hidup. Dengan demikian, ia menyadari betul betapa pentinganya menjaga dan merawat bumi, ekosistem, alam semesta sebagai tempat tinggal dan berkembangnya kehidupan.

Manusia pada titik ini, ia akan tergerak untuk menata pola dan gaya hidupnya menjadi pola dan gaya hidup yang selaras dengan lingkungan. Manusia semestinya kembali kepada jatidirinya sebagai mahluk ekologis yang hidup sangat selaras dengan alam semesta dalam pola saling ketergantungan. Kearifan alam juga selama ini telah memperlihatkan bahwa makhluk hidup satu dengan lainnya sejatinya saling membutuhkan dalam kondisi seimbang.

Dengan demikian, kehadiran manusia di muka bumi ini harus ramah dengan lingkungannya. Manusia ekologis harus mampu berinteraksi dengan alam sekitarnya dengan mengembangkan pola-pola relasi yang mengarah pada relasi mutualisme dan meneguhkan, bukan saling menegasikan.

Jadi, apa hikmah manusia sebagai makhluk ekologis? Jawabnya, agar manusia sebagai bagian makhluk Allah ini peduli lingkungan yang meniscayakan adanya penyatuan diri manusia dengan alam sekitarnya. Manusia dan alam semesta adalah suatu yang integral dan tidak terpisahkan. Memisahkan manusia dari alam semesta berarti memarjinalkan dirinya dari makhluk-makhluk Allah penghuni bumi. Manusia butuh makhluk lain.

Dengan kondisi ini, manusia dituntut agar menata hidupnya sebagai bagian tak terpisahkan jaring komplek sistem alam. Karena itu, manusia sebagai makhluk ekologis, mengharuskannya untuk memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam di bumi ini secara efisien dengan memelihara, merawat, dan melestarikan dan pada akhirnya memanfaatknya secara arif dan bijak. 

Inilah yang dimaksudkan sebagai hidup selaras dengan alam. Alam bukan ditaklukkan, melainkan dihormati dan dilayani karena dengan itu alam menyumbangkan sumberdaya, kekayaan alamnya yang sangat dibutuhkan umat manusia lintas generasi. Wallahu A’lam.[]

Minggu pagi, 16 Agustus 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *