Dewasa ini, kajian Maqasid Syariah menjadi objek disiplin keilmuan yang semakin mendapat perhatian serius di kalangan intelektual muslim kontemporer. Maqasid Syariah atau tujuan syariat merupakan kajian metodologis-filosofis yang urgen dalam upaya pengembangan hukum Islam di era kontemporer. Urgensitas Maqasid Syariah sebagai nalar konstruksi pemikiran hukum Islam meniscayakan adanya pemahaman filosofis terhadap konsepsi Maqasid Syariah. Tidak heran, belakangan kemudian banyak muncul skripsi, tesis, dan disertasi yang menjadikan Maqasid Syariah sebagai pisau bedahnya.
Cikal bakal Maqasid Syariah sebagai suatu teori hukum Islam sudah tumbuh sejak proses penggalian hukum Islam terjadi. Maqasid Syariah digunakan oleh para mujtahid periode awal Islam sebagai model penalaran hukum Islam. Teori ini, dalam sejarahnya mengalami dinamika yang unik dan berhasil dipopulerkan oleh fukaha dari tradisi mazhab Malikiyah. Sebut saja, Al-Syatibī sebagai salah tokoh penting dalam proses sistematisasi teori Maqasid Syariah dalam karya “al-Muwafaqat”-nya, Alal al-Fasiy dengan karyanya “Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah wa Makarimuha” dan Muḥammad Thahir Ibn Asyur dengan “Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah” yang kini menjadi rujukan utama bagi para pengkaji Maqasid Syariah di era kontemporer ini.
Dalam konteks ini, kajian Maqasid Syariah sebagai pendekatan dalam istinbath al-ahkam secara responsif dan akomodatif tidak dapat dimarjinalkan dalam kajian studi Islam. Maqasid Syariah dalam posisinya sebagai metodologi dan pendekatan dalam pembentukan hukum telah banyak melahirkan warna baru dalam dimensi pemikiran hukum Islam kontemporer. Maqasid Syariah diklaim telah berkontribusi dalam proses ijtihad hukum yang relevan dengan realitas sosial yang melingkupi masyarakat minoritas. Selanjutnya, respons Maqasid Syariah terhadap realitas minoritas dalam konteks ini melahirkan konsepsi fikih minoritas (fiqh al-aqalliyat).
Selain itu, realitas sosial masyarakat yang secara alamiah memiliki kecenderungan destrukstif dan tidak ramah terhadap lingkungan juga menghasilkan pemikiran hukum Islam yang progresif dan akomodatif yang tertuang dalam fikih lingkungan (fiqh al-bi’ah). Fikih Lingkungan merupakan konsepsi yang bersumber pada penalaran normatif-filosofis terhadap tanggungjawab manusia sebagai khalifah di bumi yang tertuang di dalam teks-teks keagamaan otoritatif. Pendekatan Maqasid dalam memahami teks-konteks inilah cikal bakal munculnya diskursus “fiqh al-bi’ah” dalam khazanah Islam. Oleh sebab itu, maqāṣid al-syarī’ah sebagai teori hukum Islam yang penting untuk dielaborasi dan dikembangkan agar hukum Islam dapat berkembang secara progresif dan relevan dengan tuntutan zaman.
Pada tataran inilah, Maqasid sebagai filsafat hukum Islam memberikan spirit dalam setiap produk hukum Islam yang progresif dan akomodatif. Spirit dan tujuan syariat merupakan bagian yang tidak terpisah dari rahasia-rahasia pensyariatan hukum itu sendiri. Lebih dari itu, Maqasid sebagai disiplin keilmuan yang terus mengalami elaborasi dari berbagai pemikir muslim dapat menjadi basis Kajian ilmu-ilmu kesilaman (islamic studies) secara umum. Oleh karena itu, kajian maqasid menjadi keniscayaan bagi kalangan intelektual muslim demi pengembangan keilmuan keislaman secara berkelanjutan di era modern.
Aksiologi Maqasid di Era Klasik-Kontemporer
Secara aksiologis, dalam konteks penalaran ijtihad, misalnya, Maqasid Syariah minimal memiliki peran sebagai berikut: Pertama, Maqasid sebagai pisau identifikasi makna teks. Proses identifikasi makna yang terkandung dalam teks-teks keagamaan otoritatif merupakan tugas utama mujtahid agar dapat menemukan produk hukum yang berbasis pada Maqasid Syariah. Pada konteks ini, Maqasid berfungsi sebagai “pisau” penalaran ijtihad bayani terhadap teks. Oleh karena itu, Maqasid dapat berperan sebagai bayan takhsis, bayan mujmal, ta’kid mafhum muwafaqah, penguat mafhum mukhalafah, pertimbangan takwil, pertimbangan aplikasi tanqih al-manath dan lainnya.
Kedua, Maqasid sebagai suatu pendekatan yang dapat digunakan sebagai penguat/pendukung dalil dalam proses tarjih (memilih dalil yang terkuat) dalam interpretasi antar teks yang (tampak) kontradiktif. Dalam proses tarjih atas beberapa dalil yang bertentangan, maka Maqasid Syariah dapat menjadi “hakim” dalam menentukan hukum yang progresif dan relevan serta akomodatif dan aplikatif dalam konteks masyarakat multikultural.
Ketiga, Maqasid sebagai pertimbangan fikih kontemporer bukan berarti sebagai dalil, tetapi ia sebagai pendekatan dalam rangka memastikan produk hukum yang diistimbatkan melalui penalaran ijtihad berbasis tujuan syariat (al-ijtihad al-maqasidi). Pada konteks ini, Maqasid digunakan untuk merespon problematika kontemporer yang belum direspon ulama klasik sebelumnya. Oleh sebab itu, Maqasid diharapkan mampu memberikan perspektif alternatif-solutif dan relevan terhadap dinamika kehidupan problematika yang dihadapi masyarakat kontemporer.
Lebih dari itu, sejatinya, Maqasid di era kontemporer ini telah menjadi metode berpikir yang sangat elaboratif. Itu sebabnya, Maqasid tidak hanya berkutat pada penalaran hukum Islam, tetapi ia juga masuk pada berbagai disiplin keilmuan lainnya. Pada konteks ini, Maqasid sebagai pendekatan berhasil melahirkan berbagai konsep-konsep penting dalam kehidupan umat manusia kontemporer dalam membangun peradaban yang berkemajuan. Maqasid bersinggungan dengan berbagai disiplin keilmuan sosial sehingga lebih memperkaya khazananh dan perspektif dalam meneropong berbagai dinamika tantangan kontemporer.
Maqasid Syariah sebagai manhaj berpikir meniscayakan sistem berpikir yang sistematis dan filosofis. Pola pikir semacam ini, melahirkan sikap kritis di kaum intelektual muslim dalam memahami doktrin agamanya. Dengan demikian, doktrin agama dapat didiskursuskan secara filosofis-kritis dan memperhatikan aspek-aspek sosiologis yang mengitarinya. Keterbukaan Maqasid Syariah untuk tumbuh-berkembang sebagai konsepsi yang “matang” menjadikannya semakin dapat diterima dan kreatif dalam memberikan problem solving atas problematika kehidupan masyarakat modern.
Maqasid syariah sebagai sistem berpikir yang mengedepankan aspek tujuan (goals) dan keberlanjutan (sustainability) jugadapat digunakan sebagai alat mengukur kinerja suatu lembaga. Itu sebabnya, dewasa ini, muncul banyak penelitian-penelitian berbasis Indeks Maqasid Syariah (IMS). Dalam bidang Perbankan Syariah misalnya, Indeks Maqasid Syariah seringkali digunakan sebagai alat ukur kinerja Keuangan Bank Syariah, Lembaga Zakat dan Wakaf, kinerja lembaga pendikikan dan lainnya. Oleh sebab itu, Maqasid sebagai basis keilmuan Islam sangat urgen untuk dikembangkan dan terus dielaborasi di era modern ini. Hal ini demi merealisasikan fungsi Maqasid Syariah yang lebih aplikatif dan responsif.
Maqasid Sebagai Basis dalam Islamic Studies
Diskursus Islamic Studies tidak terlepas dari kajian terhadap sumber doktrin Islam itu sendiri, Sebagaimana diketahui bahwa sumber utama doktrin Islam adalah al-Qur’an dan hadis. Kedua sumber otoritatif tersebut melahirkan doktrin keagamaan yang aplikatif dalam kehidupan keberagamaan yang penuh keragaman. Oleh sebab itu, mengkaji Islam tidak dapat dipungkiri meniscayakan untuk melakukan pengkajian terhadap sumber otoritatif Islam tersebut, yakni al-Qur’an dan hadis.
Pada konteks ini, maka kajian al-Qur’an dan hadis meniscayakan aspek Maqasid sebagai basis dalam memahami makna substansial dari kedua sumber otoritatfi tersebut. Oleh Karena itu, al-Qur’an Studies harus melibatkan Maqasid sebagai pisau bedahnya. Pengembangan kajian al-Qur’an berbasis Maqasid ini, sejatinya telah digagas oleh para pakar. Misalnya, Wasfi Asyur Abu Zaid dalam karyanya “Nahw Tafsir Maqasidi li al-Qur’an al-Karim: Rukyah Ta’sisiyah li Manhaj Jadid li Tafsir al-Qur’an” dan “Al-Tafsir al-Maqasidi li al-Suwar al-Qur’an al-Karim”, Ahmad al-Raisuni dalam “Maqasid al-Maqasid: al-Ghayat al-Ilmiah wa al-Amaliyah li Maqasid”, Izzuddin al-Jazairi dalam karyanya berjudul “Ummahat Maqasid al-Qur’an wa Thuruq Ma’rifatiha wa Maqasidiha” dan pemikir kontemporer lainnya.
Demikian halnya, di bidang hadis studies. Sebagai sumber sekunder doktrin Islam, hadis menempati posisi yang strategis dan urgen dalam menguraikan Islam secara substantif. Pada tataran ini, hadis harus dikaji secara mendalam sebagai basis pengetahuan doktrin Islam dengan berbagai pendekatan, termasuk melalui pendekatan Maqasid. Kajian-kajian hadis dengan menjadikan Maqasid sebagai pisau bedahnya semacam ini menjadi “niscaya” agar mampu memahami maksud pesan Nabi secara orisinil dan subastansial. Beberapa pakar telah berkontribusi untuk menggali pesan Nabi berbasis Maqasid, misalnya, Ibrahim bin Hasan dalam “Al-Arbaun al-Nabawiyah fi al-Maqasid al-Syar’iyah”, Abu Abdullah Said bin Ruslan dalam “Fahm Maqasid al-Sunnah al-Nabawiyah wa Shalahiyatuha fi Kulli Zaman wa Makan”. Bahkan, dewasa ini Syaikh al-Akhdhar al-Akhdhari salah satu lama Aljazair yang concern dalam kajian Maqasid sedang menggarap proyek reformulasi hadis berbasis Maqasid.
Di bidang teologis, Maqasid juga menjadi aspek penting dalam pengembangan kajian disiplin ilmu ini. Misalnya, lahir karya berjudul “Maqasid al-Aqaid Inda Imam al-Ghazali” yang ditulis Muhammad Abdu. Demikian halnya, karya Jasser Auda yang berjudul “Maqasid al-Aqaid: Nadharat fi Hikam Ibn Ataillah”. Selain itu, ada beberapa tesis dan disertasi yang secara spesifik membahas Maqasid di bidang ilmu kalam ini. Di antaranya, Misalnya ada disertasi Aminah Hamuri yang berjudul “Maqasid al-Aqidah wa Maqasid al-Syariah Inda al-Razi”, disertasi Fauziah Umar Abdullah berjudul “Al-Maqasid al-Aqaidiyah Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyah”, tesis Abdurrauf Siwan berjudul “Maqasid al-Aqaid Inda Thahir Ibn Asyur” dan karya Nuruddin Abu Lihyah berjudul “Maqasid al-Aqaid wa Subul Tahshiliha” dan karya-karya lainnya.
Tentu saja, Islamic Studies tidak hanya terbatas disiplin keilmuan di atas. Oleh sebab itu, tantangan intelektual muslim kontemporer dewasa ini adalah bagaimana menjadikan Maqasid sebagai pisau analisis dalam memahami istilah-istilah kunci di bidang kelimuan keislaman secara luas. Maqasid tidak hanya berbicara tentang hukum Islam (fikih), tetapi mampu menjadi “pembedah” diskursus keilmuan dalam Islamic Studies yang lebih transformatif dan komprehensif. Dengan demikian, kajian ilmu-ilmu keislaman mampu “bergairah” kembali sebagai upaya kebangkitan dalam merefleksikan kesadaran intelektual Muslim kontemorer untuk mengelaborasi keilmuan Islam berbasis Maqasid Syariah.[]
Tulisan pernah dimuat di maqasidcenter.id
No responses yet