Categories:

Oleh : KH. Ahmad Muwafiq (Gus Muwafiq) – Ulama & Da’i Nasional

Selama ini, Perang Diponegoro dipahami Belanda hanya sebagai persoalan politik dan kekuasaan, padahal tidak sesederhana itu. Diponegoro pun hanya dianggap sebagai penghalang modernisasi tanah Jawa dengan bukti protesnya atas dicabutnya patok di tanahnya untuk kepentingan dibangunnya rel kereta api.

Diponegoro hanya dianggap sebagai orang yang akan membuat Jawa tetap miskin, tetap terbelakang karena ruang menuju keterbukaan ekonomi, keterbukaan industri dan komoditas Belanda dihalang-halangi. Karena protesnya atas patok tersebut, Diponegoro dituduh anti perubahan dan sebagai bentuk sikap feodalismenya. Narasi ini terlihat jelas dalam tulisan para sejarawan terutama para orientalis, yang naifnya diikuti generasi muda kita.

Padahal masalah patok bagi Diponegoro adalah masalah harga diri bangsa, menjaga marwah leluhur, karena keberadaan makam leluhur adalah salah
satu kunci dan fondasi menjaga tradisi dan warisah luhur jati diri bangsa. Bagi Diponegoro yang pengamal tarekat, menjaga makam sama dengan
mempertahankan apa yang disampaikan Rasulullah, menjadi wasilah, Ibarat sirotol mustaqim menyambungkan sanad keilmuan dan spiritual.

Makam itu penting sekali, dan hal ini telah direduksi besar besaran oleh Belanda dan para sejarawan. Terdapat cara pandang yang berbeda jauh antara tasawuf dan orang Jawa dengan materialisme Belanda tentang Patok atau Nisan.

Karenanya, narasi Belanda sangat bertolak belakang dengan ketasawufan dan kejawaan Diponegoro.

Buku “Jejaring Ulama Diponegoro” karya Zainul Milal Bizawie telah membuka perspektif baru, dengan membongkar jejaring ulama yang dimiliki Diponegoro, perjuanganya menjadi suatu siklus perjuangan yang menjadikan perang itu menjadi besar.

Kalau hanya semata￾mata problem politik, maka itu dikenal perang Yogja, bukan Perang Jawa, apalagi gelar Pangeran Diponegoro sendiri telah dianulir kebangsawanannya
oleh kekuasaan.

Jadi, Zainul Milal telah melakukan dekonstruksi sejarah yang luar biasa besar. Narasinya yang dibangun buku ini menjadi balungan yang tidak boleh hilang dan inilah secara eksplisit yang harus disampaikan.

Historiografi yang selama ini dibangun Belanda harus dihancurkan, narasinya harus dirubah, bahwa makam (patok) bagi Belanda memang dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna, sepele, tapi ternyata menjadi simpul utama dan kunci bagi masifnya perjuangan Diponegoro dan para ulama santri memancangkan fondasi kebangsaan di Indonesia.

2 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *