Masjid Pusaka Banua Lawas adalah sebuah masjid tua yang terletak di desa Banua Lawas, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Masjid ini juga sering disebut Masjid Pasar Arba karena pada hari rabu (arba), jumlah para pengunjung/peziarah lebih banyak dari hari-hari yang lain, bukan saja dari seputar daerah Kalimantan Selatan bahkan terdapat dari Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Kalimantan Tengah. Di Masjid Pusaka ini, selain masih tersimpan bedug asli dan petaka sepanjang 110 cm. Keberadaannya sejak masjid mulai dibangun dari tahun 1601-1625 M yang diprakarsai Khatib Dayan dan saudaranya Sultan Abdurrahman (dari Kesultanan Banjar yang berpusat di Kuin). Khatib Dayan dibantu tokoh-tokoh masyarakat Dayak Manyaan, juga Datu Ranggana, Datu Kartamina, Datu Sripanji, Datu Sarinagara, Datu Langlang Buana, Datu Taruntung Manau, Datu Timba Sagara, Datu Layar Sampit, Datu Pambalah Batung dan Datu Garuntung Waluh. Di Masjid tertua di Kabupaten Tabalong atau Masjid tertua kedua sesudah Masjid Suriansyah, Kuin di Kalimantan Selatan yang dikeramatkan itu, selain menjadi tempat ibadah, juga menjadi saksi sejarah masuknya Islam di Tabalong atau tonggak dan bukti sejarah diterimanya Islam bagi suku Dayak Maanyan yang pernah berbasis di sana dan telah membangun kerajaan Nan Sarunai yang jaya. Dalam buku Urang Banjar dan Kebudayaannya, dijelaskan, kerajaan Nan Sarunai terletak di dekat kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara sekarang yang dahulu meliputi wilayah Kelua.

Sebelum berdirinya Masjid Pusaka Banua Lawas, jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banjar lima abad silam, di sekitar lokasi masjid ini terdapat perkampungan orang Maanyan yang berada dalam teritorial negara suku Nan Sarunai. Data yang diperoleh dari kerajaan ini antara lain adalah nyanyian atau wadian yang mengisahkan tentang peristiwa keruntuhan Nan Sarunai akibat serangan Majapahit sekitar abad ke-13. Pasca serangan Majapahit, kerajaan Nan Sarunai terbagi dalam beberapa wilayah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Proses penaklukan itu juga disertai penyebaran agama dan budaya Hindu, serta pengikisan kepercayaan lama. Menurut tradisi lisan orang Maanyan, di belakang Pusaka Banua Lawas terdapat pusara raja bernama Raden Anyan dan tujuh orang puteranya, serta di bawah lantai masjid terdapat sumur tua, tempat Raden Anyan gugur ditombak laksamana Nala.

Menurut Wajidi, dahulunya di lokasi Masjid Pusaka Banua Lawas berdiri pesanggrahan dan tempat pemujaan bagi orang Maanyan, kemudian didirikan pemujaan bagi penganut Hindu Siwa. Namun setelah Islam berkembang, didirikanlah Pusaka Banua Lawas.

Pusaka Banua Lawas ini menjadi barang perpantangan atau lokasi suci pemeluk Islam dan pemeluk Kaharingan. Dahulu Masjid Pusaka Banua Lawas, menjadi tempat ibadah dan tempat keramat dua agama, Islam dan Kaharingan tanpa saling menafikan satu sama lain, tapi justru saling toleransi dan menghargai.

Menurut cerita lisan orang Maanyan, di depan Pusaka Banua Lawas terdapat dua buah guci kuno peninggalan leluhur Maanyan saat mereka meninggalkan Banua Lawas, yang hingga kini masih terpelihara. Juga demikian dengan kuburan tokoh-tokoh Maanyan di belakang masjid dan bertetangga dengan kuburan muslimin.

Bangunan Pusaka Banua Lawas secara arsitektural menunjukkan masjid tua, seperti terlihat pada struktur atap tumpang meruncing lancip, laiknya piramida dan berkonstruksi panggung. Puncak atap dihiasi dengan hiasan kemuncak atau pataka (mustaka), meski sama-sama beratap tumpang, masjid ini berbeda dengan masjid tradisonal Indonesia lainnya, karena terdapat ragam hias, ornamen ataupun filosofis khas Banjar.

Sesuai dengan kondisi alamnya, rumah panggung merupakan ihwal yang umum di Kalimantan Selatan. Begitu pula dengan konstruksi rumah ibadah, pada mulanya berkonstruksi panggung atau berkolong, yakni berdiri di atas tongkat-tongkat kayu ulin yang semakin kuat ketika berendam di air. Demikian pula dengan Pusaka Banua Lawas.

Dahulu, masjid ini mempunyai konstruksi lantai panggung, walaupun sekarang lantai sudah diganti dengan menguruk pasir sebagai pondasi dan melapis ubin keramik pada ruang teras dan ruang utama. Bentuk atapnya tumpang tiga dengan puncak dihiasai dengan pataka (mustaka), atau kadang disebut sungkul, seperti pada masjid-masjid kuno di Jawa. Tumpang tiga bermakna iman, Islam, dan Ihsan.

Semula pataka yang dipasang di puncak atap masjid terbuat dari kayu ulin yang ditatah menyerupai putik bunga. Meski telah diganti dengan bahan logam putih, bekas pataka masih disimpan oleh pengurus masjid, karena dianggap bertuah.

Pada bangunan induk, terdapat tangga lingkar yang sangat jarang ditemui di daerah lainnya. Tangga lingkar yang dibuat dengan sederhana dari bahan kayu balau dengan trap tangga berjumlah 12 buah dan melingkar salah satu tiang utama hingga ke atas. Di ujung trap teratas, terdapat balkon yang dahulunya tempat mengumandangkan azan. Sampai sekarang, tempat ini secara rutin dikunjungi oleh para peziarah guna berdoa dan membayar nazar.

Di dalam ruang utama terdapat empat buah tiang utama (soko guru) sebagai penyangga atap utama dan bangunan induk masjid. Dua belas tiang penyangga (sokorawa) atap kedua, dan dua belas tiang pengikat dinding-dinding masjid yang terbuat dari kayu ulin atau besi (Eusideroxylon Zwager).

Sedangkan bangunan induk Pusaka Banua Lawas hanya sedikit memiliki unsur-unsur hiasan (ornamen). Hiasan yang banyak ditemui adalah pada dinding mimbar yang dipenuhi ornamen bermotif jambangan dan bunga sulur, serta pada tangga mimbar dengan ornamen tampuk bunga manggis, sulur, bunga, dan dedaunan.

Pengaruh ragam hias pra-Islam tampak pada arsitektur Pusaka Banua Lawas, seperti mimbar dengan pola teratai yang masa kebudayaan Hindu, perlambangan kesucian dan kekuasaan. Demikian juga pataka atau mustaka jelas menunjukkan pola-pola seni bangunan tradisional yang telah masyhur sebelum kedatangan Islam.

Bentuk bangunan yang mengadaptasi pola-pola bangunan atau ajaran Hindu ini, menunjukkan bahwa Islam disebarkan dengan jalan damai melalui penerusan seni bangunan dan seni ukir pra-Islam.

Saat ini, Pusaka Banua Lawas juga merupakan cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Ia adalah artefak budaya dari masa silam yang wajib kita perhatikan, jaga, rawat dan lestarikan sebagai bagian dari  perjalanan panjang umat muslim dan bangsa Indonesia. Apalagi ia dianggap oleh masyarakat terutama masyarakat sekitar sebagai Masjid berkeramat. Artinya, ia masih menyimpan tuah dan afuwah karena mungkin ketuaannya sebagaimana Masjid Makkatul Mukarramah (Makkah), Masjid Madinatul Munawwarah (Madinah) dan Masjid Baitul Maqdis (Palestina). Atau bisa jadi, ia memiliki berbagai benda antik dan unik di dalamnya yang mempunyai daya magis dan mitologis. Atau karena para peziarah merasa kabul hajat, nazar dan doanya berkat Masjid Pusaka yang didirikan oleh para wali dan ulama waktu itu yang berhati mulia dan penuh keikhlasan untuk mendakwahkan Islam dengan ramah dan damai.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *