Masjid Raya Campalagian sudah berumur 229 tahun sejak berdirinya sekitar tahun 1790 M. Proses pendiriannya melalui 2 periode:

Periode Banua

Disebut periode Banua karena dihubungkan dengan tempatnya di Dusun Banua Desa Parappe. Banua artinya Daerah yang pada masanya adalah Pusat pemerintahan Campalagian oleh Maraddia Ammana Ma’ju.

Di Banua inilah makam To MantinroE ri Dara’na yang dikenal sebagai tokoh penyebar agama Islam di Campalagian pertengahan abad ke 18 M, sekitar tahun 1750-an.

To MantinroE ri Dara’na ini adalah keturunan dari Syekh Muhammad Amin To Salamaq ri Panyampa yang merupakan keturunan dari Syekh Sulaiman To Salamaq ri CumeddaE yang juga keturunan dari Syekh Abdurrahim Kamaluddin atau To Salamaq ri Benuang yang dikenal sebagai penyebar Islam pertama di Litaq (Bumi) Mandar Sulawesi Barat awal abad ke 17 M, yakni sekitar tahun 1606 M.

Masjid di Banua ini letaknya tidak jauh dari Makam To MantinroE ri Dara’na. Setelah masa To MantinroE ri Dara’na dilanjutkan penyebaran dan pengembangan agama Islam oleh To Ilang yang memperkenalkan hukum syariat khususnya tata cara membayar zakat fitrah dengan sukatan gantang yang lebih populer dengan nama Gantang To Ilang. Namanya sudah diabadikan menjadi nama Jalan dan nama Pekuburan To Ilang di Kampung Masigi Desa Bonde, Makamnya terdapat di Pekuburan tersebut.

Pada periode ini adalah masa pendirian awal berupa langgar atau surau atau mushalla yang sangat sederhana sekitar tahun 1790. Pada masa ini ada 5 orang yang pernah menjadi Qadhi (Qadhi pemutus perkara masalah agama dan budaya) walaupun awalnya masih sebagai imam shalat berjamaah dan guru ngaji, baca Al-Qur’an dan Ilmu-ilmu persilatan, ilmu bisa menghilangkan diri, ilmu kebal dan lainnya.

Adapun nama-nama 5 orang Qadhi adalah:

  1. Puanna Laumma’
  2. Hadji Pua’ Djamila
  3. Pua’ Tjani
  4. Pua’ Tipa
  5. Hadji Djannatong

Pada periode ini berlangsung selama 38 tahun, dari tahun 1790 sampai 1828 M.

Pada tahun 1825 M datanglah seorang ulama dari Jawa Timur tepatnya dari Banyuwangi bernama Hadji Muhammad Amin. Beliau inilah inisiator penggagas pemindahan Masjid ini ke Kampung Masigi pada tahun 1828 M. 

Sekilas tentang Masjid Raya Campalagian ini saya memulai menulisnya pada tanggal 1 Muharram 1438 H/21 September 2017 M lalu sehari sebelumnya peletakan batu pertama renovasi wajah baru pembangunan Masjid Raya Campalagian oleh Bupati Polman Drs. H. Andi Ibrahim Masdar. 

Setelah menjelang dua tahun, terlihat pada gambar ketiga proses bangunan Masjid Raya Campalagian.

Bangunan kedua, Masjid Raya Campalagian hasil renovasi tahun 1969 setelah roboh rata dengan tanah dihantam Gempa bumi pada tanggal 1 Muharram 1368 H bertepatan 11 April 1967.

Gambar pertama di atas adalah bangunan teras masjid Raya Campalagian tempat berdiri para ulama setempat diperkirakan tahun 1930-1940-an.

Sehubungan dengan kedatangan seorang peneliti dari Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an dari Jakarta pada 1 Agustus 2019 lalu yang akan menelusuri dan mendokumentasikan masjid-masjid tertua bersejarah dan berperan dalam pengembangan kajian Islam dan dakwah di Indonesia, maka sekilas tentang Masjid Raya Campalagian ini ditulis lagi.

Periode pertama adalah periode Banua sebagai peletakan dasar dan pendirian sejak tahun 1790 M, telah dijelaskan pada bagian awal. 

Periode Kampung Masigi

Periode kedua ini juga saya sudah tulis pada tanggal 2 dan 4 Oktober 2017 lalu bagian 8 dan 9 sejarah Masjid Raya Campalagian.

Tulisan ini sebagai kelanjutan dari tulisan bagian pertama tgl 1 Agustus 2019 lalu.

Periode kedua ini disebut periode Kampung Masigi. (Masigi dalam bahasa daerah setempat artinya Masjid). Kehadiran masjid ini sebagai satu-satunya lembaga ibadah dan pendidikan pengajian di daerah ini, maka diberilah nama Kampung Masigi. Sekarang termasuk wilayah Desa Bonde.

Masjid ini dipindahkan dari Kampung Banua ke Kampung Masigi pada tahun 1828 M atas inisiasi dan prakarsa Haji Muhammad Amin bekerja sama dengan Haji Djannatong Qadhi kelima semasa di Banua, atas persetujuan Maraddia Campalagian Ammana Ma’ju.

Di antara alasan perpindahannya ialah karena Kampung Masigi dianggap lebih strategis berada pertengahan wilayah Campalagian, lebih mudah terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat yang semakin hari semakin bertambah, khususnya dalam aktivitas shalat berjamaah lima waktu dan aktivitas pengajian dan keagamaan lainnya.

Selama periode Kampung Masigi, Masjid ini telah dipimpin 13 Qadhi sebagai berikut:

  1. Haji Djannatong melanjutkan dari periode Banua, tahun 1828-1833.
  2. Haji Muhammad Amin (1833-1836).
  3. Pua’ Egong (1836-1840).
  4. H. Djumalang (1840-1875).
  5. H. Patjo Pua’ Saenong (1875-1882).
  6. H. Basira’ (1882-1883).
  7. H. Pua’ Muriba (1883-1889).
  8. Syekh Abdul Karim Pontianak (1889-1892).
  9. H. Idris (1892-1894).
  10. H. Muhammad Saleh (1894-1895).
  11. KH. Abdul Hamid (1895-1948).
  12. KH. Maddeppungen (1948-1854).
  13. KH. Muhammad Zein (1954-1983).
  14. Kyai Ahmad Zein (1983-1987).
  15. KH. Muhammad Dahlan Hamid (1987-2012).

Periode berikutnya pimpinan Masjid Raya Campalagian ini tidak lagi digunakan istilah Qadhi, tetapi menggunakan istilah imam, sebagaimana  masjid-masjid lain pada umumnya.

Ulasan lebih panjang mengenai periode kedua ini bisa dibaca kembali pada bagian 8 dan 9 Sejarah Masjid Raya Campalagian.

Mudah-mudahan selengkapnya nanti bisa dibaca dalam buku Masjid Raya Campalagian: Jaringan Ulama Yaman-Saudi Arabia-Kalimantan-Sulawesi.

Semoga  Pontianak, 24 Agustus 2019

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *