Buku Mata Air Kebahagiaan ini adalah hasi terjemah dari kitab Mamba’ al-Sa’adah fi Usus Husn al-Mu’asyarah wa Ahammiyah al-Ta’awun wa al-Mu’asyarah fi Hayat al-Zaujiyah, yang ditulis oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir. Inisiator konsep ‘mubadalah’. 

Mengapa buku ini penting?

Di balik fenomena hijrah yang menjangkit kalangan milenial, ada satu stigma yang melekat pada perempuan: wanita adalah objek. Ini banyak kita jumpai misalnya dalam beberapa poster gerakan hijrah yang mengekspresikan ‘poligami’ sebagai sebuah kesuksesan spiritual dan wanita dituntut agar ‘legowo’, pasrah, suka atau tidak. Sebab kedudukannya memang objek, tidak ada pilihan lain selain menerima. Stigma ini pada akhirnya membuat wanita merasa inferior. Ia terpaska menempatkan diri sebagai budak yang menghamba pada tuannya. 

Bila sudut pandang demikian benar adanya, apa bedanya istri dengan budak? Dalam konteks pernikahan, mengapa agama secara eksplisit menjadikan sakinah, mawadah dan rahmah sebagai maqasid nikah (tujuan pernikahan)? Mungkinkan maqasid itu dapat dicapai dengan mereduksi hak-hak istri, menempatkan istri sebagai objek? Pertanyaan kritis semacam ini mustahil dapat dijawab secara objektif dengan sudut pandang superioritas laki-laki atau pendekatan tekstual yang bias gender. 

Argumentasi nalar berpikir superioritas laki-laki atau penafsiran yang bias gender sebetulnya sangat rapuh dan mudah dipatahkan, baik dengan pendekatan tekstual atau maqasidi. Kita dapat ambil contoh prinsip relasi suami-istri dalam keluarga, muasyarah bil makruf (pergaulan mulia) yang disarikan dari teks nash: wa ‘ashiruhunna bil makruf. Lafaz ‘muasharah’ secara tekstual ini memiliki faidah ‘musyarakah’, yang meniscayakan adanya dua aksi dari kedua belah pihak. Secara sederhana maknanya: suami menggauli istri dan istri menggauli suami dengan cara makruf. Bila salah satu pihak saja yang menggauli atau yang memiliki hak, sedangkan yang lain hanya sebagai objek, maka makna ‘muasharah’ tidak dapat sempurna. 

Secara maqasidi atau tujuan pernikahan, sakinah, mawadah dan rahmah mustahil dicapai dengan pola interaksi yang bias gender. Dalam ayat yang secara eksplisit menegaskan maqasid al-nikah ada kata kunci: litaskunu ilayha, agar kalian para suami merasa tentram kepadanya. Penggalan ini menjadi kata kunci fungsi dan peran perempuan dalam keluarga: menstabilkan emosi (ekpresif). Secara historis, kita dapat melihat preseden peran dan fungsi Khadijah pada Rasulullah. Setidaknya, saat Rasulullah merasa gundah dan gelisah setela menerima wahyu, Khadijah berperan menjadi tempat bersandar dan memberi ketentraman pada sang Rasul. 

Dalam teori gender, wanita memiliki peran ekspresif, sedangkan laki-laki memiliki peran instrumental. Bias gender atau stigmatisasi wanita, baik dalam penafsiran tekstual atau implementatif, disebabkan kegagalan dalam menangkap peran dan fungsi wanita yang tidak kalah pentingnya ini. Salah satu pendekatan yang tepat dalam membaca teks nash secara objektif, tidak bias gender dan mampu membaca relasi suami-istri secara adil adalah metode tabadul (resiprokal). Pendekatan tabadul di digunakan oleh penulis sebagai metode ‘khusus’ dalam menulis buku ini.

Apa itu pendekatan mubadalah atau tabadul?

Istilah tabadul atau mubadalah banyak digunakan oleh yuris Islam kontemporer, misalnya Muhammad Ghazali dalam Qadaya al-Mar’ah menggunakan istilah tabadul al-ra’y (tukar-menukar pendapat) dalam membahas qiwamah. Namun, secara konseptual-teoritis, mubadalah diinisiasi oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, penulis buku ini.

“Bisa jadi bunyi ayat hanya tertuju pada satu pihak, tetapi dengan pendekatan resiprokal bunyi ayat tersebut dipahami tertuju juga pada pihak yang lain, tak ada perbedaan”.

Pemaknaan teks dengan pendekatan mubadalah meniscayakan adanya kesalingan dalam membangun kehidupan pernikahan yang sehat dan ideal. Bunyi teks nash yang ditujukan pada perempuan misalnya, harus dipahami secara resiprok sehingga berlaku juga pada laki-laki. Begitu pula sebaliknya. Apabila Rasul menganjurkan lelaki memilih wanita yang memiliki agama (sahib al-din), maka perempuan juga dianjurkan untuk memilih pasangan yang memiliki agama. Meskipun makna ringan tanggung jawab (taribat yadak) dalam konteks wanita dipahami dengan terhindar dari kekerasan atau perilaku buruk dalam hubungan pernikahan.

Dalam implementasi teori mubadalah, penulis mengkonstruk konsep relasi-suami istri (hak, kewajiban, peran dan fungsi) yang ideal dalam kehidupan pernikahan secara umum, dan isu-isu yang menjadi ‘alat’ dalam stigmatisasi dan diskriminasi wanita secara khusus, seperti wanita memiliki kekurangan akal dan agama. Analisa menggunakan tiga prinsip fundamental; muasharah bil ma’ruf (pergaulan mulia), ta’awun (tolong menolong) dan musyarakah (kerja sama) dengan merujuk buku-buku otoritatif, baik klasik maupun kontemporer. Kajian dalam buku ini selangkah lebih maju dengan memasukkan pembahasan urgensi kesehatan medis-psikis dan kesehatan reproduksi dalam kehidupan pernikahan. 

Buku ini saat ini sedang dalam proses penerbitan. Kami mencetaknya secara terbatas. 

Judul: Mata Air Kebahagiaan: Urgensi Pergaulan Mulia Tolong Menolong dan Kerja Sama dalam Kehidupan Pernikahan

Penulis: Dr. Faqihuddin Abdul Kodir (Inisiator Mubadalah)

Penerjemah: Wahid Ahtar Baihaqi

Ukuran: 14×20

Tebal: 172 halaman

Rilis resmi PO belum kita mulai. Tapi bagi man-teman yang mau Pre Order, agar jatah aman misalnya, bisa langsung japri kami di sini

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *