Anda pernah tahu dua pohon sawo kembar yang ditanam di beberapa lokasi yang ada masjid atau pesantren era dahulu?

Di dusun Tuko (dulu namanya Santren), Sugihwaras, Prambon, Nganjuk terdapat dua pohon sawo besar di rumah plus masjid  buyut kami, Mbah Kiai Kasan Dikromo. Sewaktu kecil, saya biasa bermain dengan naik pohon sawo yang besar itu untuk mencari ranting yang bisa dibuat ketapel (plintengan). Ketapel dari ranting sawo terkenal kuat dan artistik. Sayangnya, saat ini dua pohon sawo besar itu sudah tumbang, hilang karena ditebang.

Sedikit kisah, kata Emakku, Mbah Kasan Dikromo asalnya dari Demak atau Prambanan dan istrinya dari Solo. Hal saya saya kagumi dari beliau adalah semangat ngaji walau sudah sepuh ke Kiai Mungid, Sanggrahan, Prambon, Nganjuk. Ngaji dilakukan hampir tiap pagi dengan jalan kaki, bertongkat dengan memakai sandal gampar sejauh sekitar 5 KM (saya lihat di google). Saya pastikan, mayoritas pembaca akan kesulitan berjalan pakai gampar dalam jarak 500 meter saja, termasuk saya.

Entah apa benar jalan kaki atau memakai cara lain. Tapi yang sudah masyhur adalah beliau mempunyai kemampuan lain. Kata Emak yang dapat kisah dari  Pakdhe Kusni bahwa Mbah Kasan kalau mau  menyeberang sungai  Nanggungan,  Prambon (lebar 10 meteran) bila menoleh kanan-kiri tidak ada orang, maka beliau akan  melompat. Nampaknya Mbah Kasan punya ilmu meringankan tubuh. Kata Paklek Hudi yang dapat cerita dari ibunya (menantu Mbah Kasan) bahwa pada saat-saat tertentu Mbah Kasan melakukan “ritual” melompat rumah. Masih kata Lek Hudi, “Mbah Kasan nduwe ngelmu gebrak sopo wae nek digebrak lumpuh ndadak, termasuk Siten Dopak (sitene Belanda) digebrak Mbah Kasan tidak berdaya langsung minta maaf.”

Kembali ke pohon sawo. Di pondok Bahrul Ulum  Tambakberas dulu juga ada pohon sawo. Saya dapat cerita tersebut  dari Kiai Anshori Sechah. Tapi sekarang pohon sawonya sudah ditebang. Di Jombang, sepengetahuan saya, pesantren yang masih ada pohon sawonya adalah di Pesantren Mayangan, tepat di depan rumah Gus Karim Elmuna. Pohon sawo di Mayangan ini dulu tempat melokalisir jin.

Dalam riwayat,  pohon sawo ada kaitan dengan perang Diponegoro. Peter Carey, pakar sejarah Diponegoro mengungkap bahwa pohon sawo berhubungan dengan jaringan Diponegoro https://republika.co.id/berita/pu44dw385/isyarat-pohon-sawo-jaringan-islam-di-jawa-yang-musnah.

Pohon sawo yang mempunyai banyak kegunaan termasuk dimanfaatkan para empu dalam membuat keris baca https://historia.id/kultur/articles/riwayat-sawo-kecik-pengikut-diponegoro-P0mzO, ternyata ada manfaat lain seperti kisah di bawah ini.

Gus Imron Hamid dapat kisah dari KH. Tar (Mursyid Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang) bahwa suatu saat  Mbah Kiai Hamid Chasbullah (adik Mbah Kiai Wahab Chasbullah) membuat kepingan kayu sawo ukuran sekitar 12×12 centimeter lalu ditunjukkan kepada  Mbah Tar dan Mbah Musnaeni dan menjelaskan kegunaannya. Kepingan kayu sawo digunakan sebagai medium menulis ayat tertentu (redaksi ada di dalam buku doa) dengan menggunakan paku. 

Serbuk yang dihasilkan dari goresan paku dan kayu sawo ini untuk diminumkan kepada santrinya dengan didahului bacaan Surat al-Fatihah (ditujukan untuk Rasulullah) dan diteruskan membaca lima ayat tertentu  ini sebanyak 40 kali. Penulisan di kepingan kayu sawo dengan ayat di atas dilakukan di sepertiga akhir malam atau menjelang fajar.

Pohon sawo punya kisah sebagai pohon perjuangan dan pohon untuk lantaran kecerdasan. Zaman modern kok kembali ke era mistis! Tentu ini nalar pendek, sependek nalar mereka yang gampang teriak takbir sambil merusak. 

Dalam kaitan pohon sawo diminumkan santri; pertama ada unsur doa. Kedua, bisa jadi tidak semua santri cocok dengan “ramuan” itu sebagaimana dalam obat kimia yang ternyata untuk kasus sakit sama dan beda orang, juga bisa jadi tidak cocok untuk satu jenis obat. Ketiga, yang pasti, Mbah Hamid adalah kiai yang sering disebut wali dan Kiai Tar adalah Mursyid tarekat yang terkenal.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *