Mbah Kyai Chusen Jenu, Kyai Wira’i dari Bumi Wali
(Menelusuri Rekam Jejak Mahaguru Pendiri Madrasatul Qur’an Tebuireng)
Tuban merupakan kabupaten di ujung barat daya provinsi Jawa Timur. Tuban dikenal sebagai Bumi Wali karena begitu banyak auliya’ penyebar cahaya islam seperti Sunan Bonang, Maulana Ibrahim Asmoroqondi, Sunan Bejagung. Tuban adalah Kota Santri yang banyak memproduksi ulama’-ulama pengemban dan penyebar kalam illahi Rabbi.
Nun jauh di tepi Pesisir Tuban tepatnya di Desa Jenu tersebutlah Mbah Kyai Chusen, seorang Ahlul Qur’an yang begitu alim khususnya dalam bidang ilmu Qiro’at. Putra dari Kyai Hasan, Ulama asli Singgahan, Tuban ini sempat menempuh studi di Tanah Suci setelah beberapa lama menimba ilmu di berbagai masyayikh di tanah air. Berkat kealiman dibarengi keistiqomahan serta keikhlasan, kelak cahaya Qur’ani akan berpendar ke penjuru tanah air.
Keluarga Sederhana
Mbah Kyai Chusen adalah ulama kelahiran Dusun Podang, Desa Laju Lor, Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban yang berjarak +/- 40 KM dari Pusat Kota Tuban. Beliau adalah putra dari Mbah Hasan Podang.
Nama ibu beliau sampai saat ini namanya tidak diketahui, karena menurut pengakuan Ibu Husniyah, saat kami temui di kediaman beliau di Dusun Tanggir, Lajur Lor, Singgahan, Tuban Ahad (3/10), karena dalam adat masyarakat desa banyak di antara mereka yang tidak tahu nama leluhurnya. Kalau pun tahu hanya nama panggilan bukan nama lengkapnya.
“Bapak setelah khitan, diajak Syekh Shodaqoh dari Kudus untuk berangkat ke tanah suci untuk belajar disana,” tambah Bu Husniyah, putri Mbah Kyai Chusen yang masih hidup.
Minimnya informasi ini juga tentang Mbah Kyai Chusen juga berlanjut pada tidak diketahuinya tanggal kelahirannya. Hal ini juga dikarenakan beliau terlahir sebagai anak tunggal.
Dari sebuah sumber dikatakan bahwa Mbah Kyai Husein masih terhitung keturunan Mbah Abdul Jabbar, yang dimakamkan di Nglirip, Mulyoagung, Singgahan. Jika benar demikian maka beliau masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Mbah Abdus Salam (Mbah Sechah) yang mendirikan cikal bakal Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang dan menjadi leluhur dari pesantren Tebuireng dan Denanyar.
Ngaji di Bumi Suci
Sejauh pengamatan penulis ketika melakukan penelusuran dengan bertemu dengan keturunan Mbah Kyai Chusen juga tidak diketahui kepada siapa beliau belajar di Indonesia. Hanya tersiar kabar beliau pernah mondok di Gresik, itupun tidak diketahui kapan dan dimana beliau belajar di Kota Pudak.
Sebagaimana yang telah penulis sebutkan diatas, bahwa Kyai Chusen muda diajak oleh Syekh Shodaqoh seorang ulama dan saudagar dari Kota Kudus ketika masa remaja. Dalam rihlah ilmiahnya di Tanah Suci memang belum terlacak kepada ulama siapa beliau belajar.
Namun melihat dari nama pesantren yang kelak didirikannya Tarbiyah al-Huffadz Manba’u Al-Fakhriyah Al-Hasyimiyah As-Shaulatiyah, maka boleh jadi beliau sempat belajar di Madrasah yang didirikan pada 1292 H oleh Syekh Rahmatullah Ibnu Khalil al-Hindi ad-Dahlawi, Ulama besar kelahiran India yang nasabnya bersambung kepada Usman bin Affan RA.
Madrasah Shaulatiyah adalah madrasah ahlussunnah wal jamaah yang didirikan di dekat Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah. Di madrasah legendaris menjadi kawah candradimuka ulama nusantara lain seperti Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nadhlatul Ulama), Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid (Pendiri Nahdlatul Wathan), Syekh Mustofa Husein Nasution (Pendiri Pondok Pesantren Al-Musthafawiyah, Mandailing Natal, Sumatera Utara), al-Musnid Dunya Syekh Yasin al-Fadani, dan ulama-ulama lainnya.
Ketika belajar di Madrasah Shaulatiyyah bisa jadi beliau berjumpa dengan Kyai Bisyrul Hafi yang juga berasal dari Tuban. Kelak kawannya tersebut akan dinikahkan dengan putri Mbah Kyai Chusen, Azizah.
Dikisahkan Kyai Bisyrul Hafi nyantri di Mekkah selama delapan belas tahun, dan yang terlama di Madrasah Shaulatiyyah. Ketika pulang ke tanah air dan menikah dengan Nyai Azizah binti KH. Chusen, kelak salah satu putrinya akan diberi nama Aribah Shaulatiyah, karena begitu besar kecintaannya pada almamaternya tersebut.
Menikah
Selama di Mekkah, Mbah Kyai Chusen sempat menikah dengan saudara dari Syekh Shodaqoh. Hal ini dikarenakan kekaguman kawan yang membersamainya ke tanah suci ini kagum pada kealiman serta kepribadian Kyai Chusen muda. Namun pernikahan tak bertahan lama seiring dengan kepulangannya ke tanah air setelah delapan tahun mereguk samudera keilmuan di Tanah Suci.
Sepulang dari Tanah Suci, Kyai Chusen kembali ke kampung halamannya. Tak lama kemudian, beliau dijodohkan dengan Nyai Fatimah binti Romli yang berasal dari Tambakboyo, Tuban (sumber lain mengatakan dari Jenu, Tuban).
Bersama Nyai Fathimah, Kyai Chusen dikaruniai enam orang anak diantaranya: Zawawi, Ruqoyyah, Nafisah, Azizah, Husniyah dan Hasan Bisri.
Mengasuh Pesantren
Setelah beberapa lama tinggal di Singgahan, beliau berhijrah ke Desa Jenu yang berada di pinggiran pantai utara jawa. Jenu merupakan daerah yang pernah disinggahi Syekh Subakir saat beliau menumbali tanah Jawa. Saat ini petilasan Syekh Subakir dapat dikunjungi di Desa Tasikharjo.
Di Jenu selain membangun rumah sebagai tempat tinggal, beliau juga membuat rumah panggung dari kayu untuk tempat mengaji anak-anak sekitar Jenu. Meski bangunannya tergolong sederhana namun penuh keistiqomahan Kyai Chusen mengajar santri-santrinya membaca dan menghafal Al-Qur’an.
Namun patut disayangkan rumah panggung tersebut kini tak bersisa dikarenakan harus dibongkar karena terdampak perluasan Jalan Pantai Utara Jawa (Pantura) yang dibangun pada era Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Williem Daendels dan membentang dari Pantai Anyer (Serang, Banten) hingga Panarukan (Situbondo).
Di antara belasan santrinya saat itu adalah Yusuf Masyhar, pemuda dari desa Kaliuntu, yang berada tak jauh dari pesantren Mbah Kyai Chusen. Putra ketiga dari enam bersaudara dari Bapak Masyhar dan Ibu Masruhan ini setelah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an di hadapan Kyai Chusen, beliau melanjutkan pengembaraan ilmu ke Pondok Pesantren Tebuireng, Cukir, Jombang yang saat itu diasuh oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari.
Selama mondok di Tebuireng, Yusuf muda menjadi santri kesayangan Mbah Hasyim karena kemerduan suara dan hafalan Qur’annya. Selama di Tebuireng beliau sering menjadi imam sholat berjamaah khususnya bulan Ramadhan.
Kelak santri Tuban ini akan dijodohkan dengan Nyai Ruqoyyah, cucu KH. Hasyim Asy’ari putra dari KH. Ahmad Baidhowi Asro dan Nyai Hj. Aisyah. Selanjutnya pada tanggal 15 Desember 1971, berkat restu serta dukungan sembilan kyai saat itu, Kyai Yusuf Masyhar mendirikan Madrasatul Qur’an sebagai tempat penggembelengan para calon Ahli Al-Qur’an.
Dari Madrasatul Qur’an yang berlokasi di timur Pondok Pesantren Tebuireng inilah lahir qurro’ wal huffadz yang telah berkiprah di penjuru tanah air seperti KH. Mustain Syafi’i (Mudir Madrasatul Qur’an), Ustadz H. Amin Chuzaini (Pendiri Madrasah Ulumul Qur’an dan Dayah Insan Qur’ani, Aceh Besar), Ustadz Darto Syaifuddin (Pendiri Madrasatul Qur’an Al-Qolam, Papua Barat), Habib Anis Al-Habsyi (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Qur’an, Kraksaan Probolinggo), KH. Zainul Arifin (Ketua JQH NU Jawa Timur) dan masih banyak “.
“Meski Kyai Yusuf Masyhar menghafal Al-Qur’an sampai khatam ke Mbah Kyai Chusen, namun sanad qiro’at guru saya bersambung kepada KH. Dahlan Kholil, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang. Kyai Yusuf tabarukkan ke Mbah Dahlan Kholil ketika bulan ramadhan sampai beliau mendapatkan sanad yang bersambung ke Syekh Ahmad Abdul Hamid at-Tiji al-Makki sampai kepada Rasulullah SAW” kata KH. Ahmad Syakir Ridwan, Lc, MHI, Murid senior KH. Yusuf Masyhar saat kami temui depan Masjid Agung Tuban saat perhetalan MTQ Jatim 2019 ini beberapa waktu silam
Mendirikan NU Tuban
Selain mengasuh pesantren, Kyai Chusen juga aktif dalam Nahdlatul Ulama. Bahkan beliau tercatat sebagai salah satu Pendiri NU pada di Bumi Wali pada tahun 1935 ini.
Awal berdirinya NU justru bukan di pusat Kota Tuban namun justru di Kaliuntu, Jenu, karena saat itu ulama-ulama di Tuban masih menghormati sosok KH. Murtadlo, Pengasuh Pondok Pesantren As-Shomadiyah, Makam Agung Tuban, ulama sepuh seangkatan Mbah Hasyim Asy’ari yang masih berprinsip bahwa dakwah Islam tidak harus melalui organisasi, tetapi cukup melalui dakwah dan pengajian.
Barulah kemudian pada tahun 1935, sejumlah santri alumni Pesantren Tebuireng di Kecamatan Jenu mendirikan NU Cabang Jenu. Sehingga muncul anekdot Jenu (Jelas NU)!” ungkap KH. Ahmad Mundzir dikutip dari laman NU Online.
Sebagai pengurus di masa awal, KH Chusen mengemban amanah sebagai Rais Syuriyah berduet dengan Kiai Umar Farouq sebagai Ketua Tanfidziyah.
Terkait alasan mengapa NU Tuban awalnya berdiri di Jenu. Dikarenakan Jenu memang telah lama menjadi kawasan santri, terbukti dengan begitu banyak pesantren yang berdiri di Barat Tuban ini, seperti Pondok Pesantren Manbail Fakhriyah Jenu, Pondok Pesantren Al Hidayah Jenu, Pondok Pesantren Manbail Huda Kaliuntu, Pondok Pesantren Mukhtariyah as Syafiiyyah, Pondok Pesantren Manbail Futuh dan lain-lain.
Dikisahkan bahwa ketika menjadi pengurus Nahdlatul Ulama ini Mbah Kyai Chusen hampir tak pernah absen hadir dalam Muktamar NU. Bersama Kyai Dimyati Kaliuntu dengan setia beliau rela berboncengan dengan sepeda pancal untuk menghadiri acara Muktamar.
Tak terbayang jauhnya perjalanan yang harus ditempuh mengingat kota tempat diselenggarakan cukup jauh dari Jenu. Namun dengan penuh keikhlasan beliau menjalaninya demi bersilaturahmi dalam rangka bersinergi untuk menyebarkan islam Ahlussunnah wal Jamaah di bumi Indonesia.
Kisah Hikmah
Gus Zainal Makarim cucu Kyai Chusen dari Bapak Zawawi, saat kami temui di Kantor Madrasah Tsanawiyah Al-Hidayah, Jenu, Tuban, Sabtu (2/10) silam mengisahkan tentang sosok kakeknya. Selain dikenal sebagai sosok Ahli Al-Qur’an juga terkenal akan kedermawanannya.
Disarikan dari Kyai Muromi Salatiga, bahwa suatu ketika Mbah Kyai Chusen diminta Mbah Kyai Ma’shoem Ahmad (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah, Lasem, Rembang dan ayahanda KH. Ali Maksum, Krapyak Jogjakarta Mantan Rois A’am PBNU) untuk mengikuti lomba menghafal Al-Qur’an di suatu daerah.
Singkat cerita, beliau mampu meraih hasil yang memuaskan dengan menjuarai Musabaqah Hifdz al-Qur’an tersebut. Maka beliaupun berhak mendapatkan hadiah berupa uang yang cukup besar saat ini.
Namun sesampainya rumah, hadiah tersebut tak dinikmatinya sendiri, justru seluruhnya ditasarufkan untuk pembangunan Masjid Astana, Jenu.
Kealiman Kyai Chusen juga diakui oleh ulama Ahli Qur’an lain seperti al-Muqri’ KH. Arwani Amin, Pengasuh Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an, Kudus.
Dikutip dari buku Terompah Kyai, Kisah Hikmah dan Inspirasi dari Pojok Pesantren karya Gus Nurul Fahmi disebutkan bahwa suatu ketika ada santrinya Mbah Chusen ingin tabarruk kepada Kyai Arwani. Sesampai Kudus maka sowanlah santri tersebut ke pesantren Mbah Arwani yang berlokasi tak jauh dari Menara Kudus.
Namun ketika berjumpa dengan murid kinasih Kyai Munawir Krapyak Jogjakarta ini justru beliau berkata “Sampeyan dari Jenu kok menghafal Al-Qur’an disini, di Jenu kan ada Kyai Chusen?”
Meski begitu santri tersebut masih diterima, karena santri ini sebenarnya sudah hafal Al-Qur’an dan di Kudus tujuannya hanya tabarrukan seperti yang biasa dilakukan santri-santri lainnya.
Menurut Kyai Munir Hisyam, Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotu Al-Mardiyah Kudus bahwa sebelumnya memang Kyai Arwani juga pernah tabarrukan di Mbah Kyai Chusen walaupun hanya sebentar. Ketika cucu beliau Lilik Niswatin mau mondok ke Kyai Arwani, maka Mbah Kyai Chusen menuliskan surat pengantar untuk diserahkan kepada ulama penulis kitab Faidul Barakat fi Sab’i al-Qira’at ini.
Mbah Kyai Chusen jika dikenal sebagai kyai bertipikal pekerja keras. Ibadahe kenceng nyambut gawe yo kenceng (Kuat Beribadah dan juga kuat Bekerja).
“Kakek itu meski telah memiliki murid yang banyak, beliau tidak malu untuk bertani di sawah atau bekerja di tambak. Di sela-sela mengajar santri beliau mau berpeluh keringat untuk menyambung hidup dan agar tak menggantungkan pada orang lain” Kenang Gus Zain pada sosok kakeknya.
Wafat
Setelah cukup lama berdakwah, KH. Chusen Hasan berpulang ke Rahmatullah di usia hampir satu abad pada tahun 1400 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1982 Masehi. Jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Astana, Desa Jenu, Tuban. Setiap tanggal Sebelas Dzulhijjah masyarakat Jenu memperingati Haul Kyai Chusen yang telah berjasa besar dalam mensyiarkan islam di Jenu dan sekitarnya.
Semoga kita mampu meneladani dan melanjutkan estafet perjuangan Kyai Chusen, Kyai Yusuf Masyhar dan Masyayikh lainnya untuk membumikan Kalam Illahi Islam dengan mengajarkan Al-Qur’an kepada generasi bangsa ke depan.
Sebagaimana pernah disabdakan oleh Rasulullah SAW bahwa sebaik-baiknya kalian adalah yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an dan semulia-mulia umat adalah mereka yang hafal Al-Qur’an (dan berusaha untuk mengamalkannya).
Rembang, 2 Nopember 2019
Muhammad Abid Muaffan
Santri Backpacker Nusantara
One response
Beliau duriyah dari mbh puteh / mbh Daman hury