Tangerang Selatan, jaringansantri.com – Masyarakat kita butuh oase, di tengah kesibukan duniawi. Di zaman ini, masyarakat digital mencari oase di dunia maya.  “Misalnya seorang lawyer, staf kantor, mereka ini banyak yang mengalami kekeringan spiritual. Maka paling dekat ia lakukan adalah membuka media sosial,” kata Halim Ambiya, Kordinator komunitas Tasawuf Underground.

Hal ini dijelaskan dalam kajian rutin Islam Nusantara Center (INC), Sabtu 22 September 2018. “Mereka membuat curhatan di dinding Facebook, Twitter, IG, secara tidak langsung medsos menjadi tempat pelarian untuk membaca banyak hal,” kata Halim.

“Dari situ saya melihat perlu mengungkap khazanah tardisi Islam Nusantara di media sosial. Medsos menjadi wadah khazanah tasawuf Nusantara dan petunjuk jalan spiritual,” tambahnya.

Kalau menunggu harus membaca langsung Turats aslinya, menurut Hilmi tidak efektif bagi kalangan umum. Misykatul Anwar yang susah, ihyaul ulumudin, jika dibingkai dengan mudah dan dishare di medsos akan ditelan oleh kalangan millenial. “Ambil tema-tema penting dalam khazanah tersebut, lalu share di medsos,” ujarnya.

Ia melanjutkan, “Kalau kita tidak menyediakan konten-konten Turats ini, bahaya. Karena teman-teman tercinta dari kalangan salafi Wahabi ini juga bermain medsos. Misalnya mereka menafsirkan Islam Nusantara, teks yang rujuk sangat picisan. Karena ini kan persoalan mudhof mudhof ilaih.”

Persoalan semacam itu bagi Halim sangat menggelisahkan. Sementara tasawuf underground bicara tasawuf, bukan fiqih. Pada akhirnya kegelisahan itu sampai ke sana. Dan secara personal ia mengalami kegalauan spiritual. Mau tidak mau harus terjun, menerima konsultasi banyak orang yang awalnya curhat melalui fanpage FB Tasawuf Underground.

Kegelisahan sejenis ini pula dialami kalangan non pesantren. Seperti kalangan profesional, selebriti, lalu ketika “hijrah” masuk ke kelompok pengajian teman-teman salafi Wahabi.

Keputusan Syekh Sholeh Darat untuk menafsirkan Kitab Suci Al-Qur’an ini menjadi populer. Sebuah perkembangan yang maju dan bagian upaya pengenalan melalui ijtihad kreatif keagamaan.
“Jadi, mengenalkan tradisi Islam Nusantara di media sosial, sangat urgen,” pungkasnya.

Sementara Gus Milal menambahkan bahwa Internet, media sosial perlu  kita penuhi dengan karya tulis kreativitas santri. Agar para “pencari pencerahan” itu menemukan jawaban-jawaban dari kalangan santri.  “ini adalah upaya  menunjukkann millenial agar lebih mudah mencari jalannya,” katanya.(Aditia Wibisono)

One response

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *