Tangerang Selatan, jaringansantri.com – Saat ini, Islam dengan ulamanya versi masing-masing menjadi rebutan untuk menjustifikasi pilihan politik. Bagaimana sebenarnya warisan pandangan politik ulama-ulama Nusantara terdahulu?

Untuk mengetahui ini, kita perlu membuka kembali karya atau turast, arsip ulama Nusantara. Hal ini menjadi tema seminar keislaman yang digelar oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta. Bekerjasama dengan HMJ PAI, Islam Nusantara Center (INC), Pusat Kajian Mahasiswa (PKM) Bunga Rampai, dan Kemuning Muslim Center. Kamis, 20 September 2018.

Acara yang diadakan di gedung FITK ruang teater lt. 1 ini mengambil tema “Membaca Politik Ulama Nusantara : Arsip-arsip Turats yang Terlupakan.” Hadir sebagai pembicaranya adalah Ah. Ginanjar Sya’ban (Direktur INC/ Penulis Mahakarya Islam Nusantara) dan Zainul Milal Bizawie (Penulis buku Masterpiece Islam Nusantara).

Ginanjar Sya’ban memulai dengan menampilkan tiga manuskrip yang masing-masing dari tulisan Pangeran Diponegoro, Surat yang di tulis KH Wahab Chasbullah dalam Komite Hijaz ditujukan untuk Raja Arab dan surat balasan yang di tulis sendiri oleh Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari.

Surat yang ditulis Kiai Wahab, kata Ginanjar, ditujukan agar tetap diizinkannya Mazhab 4 di Mekah dan meminta agar tempat bersejarah itu jangan dihanjurkan. Kemudian raja Saudi membalas surat tersebut. “Ini pentingnya para mahasiswa mengkaji arsip-arsip ulama Nusantara,” katanya.

Sementara itu, Zainul Milal Bizawie menyorot keadaan Islam saat ini. Saa ini Islam di dunia, ditampilkan seolah-olah hanya mereka yang melakukan aksi terorisme dan suka kekerasan. Padahal ada masyarakat dengan cara keberislaman yang sejuk seperti Islam di Indonesia. “Tapi sayang, seolah tidak terlihat,” katanya.

Menurut Gus Milal, Penulisan sejarah maenstream Islam kurang menyebutkan sejarah Islam di Nusantara, Indonesia. “Padahal Islam di sini salah satu yang tersebar. Keislaman di Nusantara adalah yang akrab dengan budaya, moderat dan toleran,” kata sejarawan santri ini.

Ia menyebutkan bahwa lagu Shubbanul Wathan, merupakan penggambaran politik Ulama Nusantara, yatu politik kebangsaan, menanamkan kecintaan kepada tanah air. “Inilah politik Ulama-ulama kita,” katanya.

“Tanah air menjadi pijakan utama, sikap politik yang menjadi landasan utama. Sehingga menjadi ruh yang puncaknya keluar fatwa jihad 22 Oktober dan 10 November. Karena ketika kolonial menjajah, kita tidak bisa beribadah dengan tenang,” tambahnya.

“Oleh karena itu, kita perlu mengkaji turast. Agar dunia tahu, dan merujuk ke sini. Bahwa kita punya keislaman yang sanadnya menyambung ke Rasulullah” tandasnya.

Menyikapi hal ini, Ginanjar kembali merespon bahwa Di Indonesia, Islam bisa membantu memperbaiki citra Islam di Timur Tengah. Dengan berbagai cara, bisa dengan diplomasi, kebijakan politik maupun melalui gerakan keilmuan. “Jadi kita mengkaji turast ulama Nusantara itu bukan untuk menyelisihi saudara muslim kita, tapi sebaliknya saling melengkapi,” tuturnya.

“Bagaimana Muslim Indonesia juga terlibat dalam perkembangan peradaban Islam dunia. Dengan mengangkat khazanah keilmuan miliknya. Setidaknya kita bisa ikut andil dalam menyelesaikan kemanusiaan di dunia, khususnya saudara muslim kita di Timur Tengah,” pungkasnya.(Zainul Wafa)

One response

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *