Kontributor : Ghulam Thahirah (Mahasiswa UIN Jakarta)
Manuskrip merupakan bahan fisik yang digunakan sebagai penulisan sebuah naskah kuno. Menurut Adam Gacek manuskrip merupakan sebuah tulisan tangan, di tulis manual sebelum periode cetak. Oleh sebab itu, naskah dapat menjadi sumber primer yang outentik yang mampu mendekati jarak masa lalu dan masa sekarang (Fathurahman, 2011).
Di daerah setiap negara berbeda ada yang menyatakan sebelum abad ke-20, seperti di Eropa abad ke-15, ke-16. Nida’ Fadlan, dosen Filologi UIN Jakarta mengemukakan manuskrip Melayu tertua ditemukan di Kerinci, Jambi yang ditulis dalam Bahasa Sansekerta menggunakan aksara Palawa, pada abad ke-14 dan dikeluarkan oleh Kerajaan Damasraya. Sedangkan manuskrip Tadzkîr al-Ghabî ini diperkirakan ditulis oleh pengarangnya pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Sekalipun tidak ada keterangan yang menjelaskan kapan dikarang oleh pengarangnya.
Di Temukannya Manuskrip di Minangkabau
Menurut beberapa penelitian, di Minangkabau sendiri telah ditemukan manuskrip Karya Syekh Burhanuddin (w.1704 M) pada tahun 2011 di Surau Pondok Ulakan, Sumatera Barat, dengan judul Tadzkîr al-Ghabî sebuah karya tasawuf yang merupakan sarah kitab al-Hikam oleh Ibn ‘Athaillah as-Sakandari (w.1309). Menariknya, manuskrip ini ditulis dalam Bahasa Melayu dan sedikit Arab. Manuskrip tersebut disalin oleh murid Syekh Burhanuddin yang dikenal oleh kalangan jamaah tarekat Sattariyah dengan sebutan Tahqiq Syattari. Manuskrip tersebut dianggap oleh pengikut tarekat Sattariyah di Minangkabau salinan dari karya Syekh Burhanuddin sendiri. (Cairullah Ahmad, 2020)
Mengenal Teks Tadzkîr al-Ghabî

Teks Tadzkîr al-Ghabî merupakan naskah tunggal dan tidak ditemukan pembanding manuskrip-manuskrip yang ada di Minangkabau. Naskah ini berisi 350 halaman, masing-masing terdiri 23 baris bertuliskan Arab dan Melayu berukuran 15x 9 dengan kertas Eropa.
Proses penulisan teks Tadzkîr al-Ghabî ini ditulis secara imla (dikte) dari mulut Syekh Burhanuddin kemudian disalin oleh muridnya. Penisbatan kitab “Tadzkîr al-Ghabî” sebagai karya Syeikh Buhanuddin Ulakan yang terdapat pada halaman terkhir yang tertulis :
تم الكتاب المسمى بتذكير الغبي بعون الله الملك الوهاب الهادي إلى الصواب و إليه المرجع والمأب. تأليف سيدنا ومولانا وقدوتنا في الطريقة و الحقيقة و المعرفة الشيخ برهان الدين أولاكن و الشافعي مذهبا…
“Telah selesai kitab yang dinamai dengan “Tadzkîr al-Ghabî” berkat pertolongan Allah yang Maha Memiliki , lagi Maha Menunjuki kepada kebenaran, kepada-Nyalah tempat kembali segala urusan. Dikarang oleh penghulu kita dalam ilmu tarekat, hakikat dan ma’rifat, yatitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, Syafi’iyah mazhabnya..”
Pada akhir teks, setelah informasi mengenai pentaklif, disebutkan bahwa teks ini merupakan salinan. Nama penyalinnya ialah Salbiyan Ulakan, bermazhab Syâfi’i. Dalam kolofon tersebut diiringi do’a kepada kaum muslimin. Keterangan bahwa Syekh Burhanuddin sebagai pengarang seperti tertulis dalam kolofon di atas menjadi informasi kunci atas peran sang guru dalam upaya melayunisasi aforisme kitab al-Hikam sendiri. Sebuah upaya untuk mengajarkannya atau mengembangkannya didunia Melayu dan oleh karena itu penting untuk ditradisikan. (Ahmad Taufik Hidayat dan Sudarman,2017)
“Tamma al-kitâb al-musammâ bitadzkîr al-ghabî bi-‘aun Allâh al-malik al-wahhâb al-hâdî ilâ al-shawâb wa alyhi al-maâb ta’lîf sayyidinâ mawlânâ wa qad waqnâ fî al-tharîqah wa al-haqîqah wa al-ma‘rifah al-Syaykh Burhanudddin Ulakan wa al-syâfi’î madzhaban ta ‘ammadahu Aallâh birahmatihi wa askan fasîh jannatahu wa nafa‘anâ Allâh bih wa radhiyaallâh ‘anhu wa shâhibihi wa kâtibihi al-faqîr al-haqîr al-muta‘arrif bi al-dzunubi al-muhtâj ilâ ‘afw al-rabb al-rahîm Salbiyan Min ulakan”.
Dijelaskan pada kolofon diatas bahwa Tadzkîr al-Ghabî merupakan karangan Syekh Burhanuddin yang dituliskan oleh Salbiyan dari Ulakan. Ada dua asumsi yang bisa dikaitkan terhadap penulisan teks ini; pertama teks ditulis dengan cara imla oleh Syekh Burhanuddin kepada muridnya Salbiyan, kedua teks ini ditulis secara berangsur-angsur ketika Syekh Burhanuddin mengajarkan kitab al-Hikam beserta pemahamannya (syarh) kepada murid-muridnya, dan salah satu muridnya yang mengikuti pengajian ini sampai selesai adalah Salbiyan.
Menurut beberapa sumber mengatakan bahwa manuskrip ini merupakan temuan besar Tawuf karena belum ada peneliti yang meneliti sebelumnya. Bisa jadi kehadiran suntingan teks secara utuh membuka ruang baru dalam kajian naskah teks ini.
Didalam kitab Tadzkîr al-Ghabî tersebut setelah pembukaan kitabnya, beliau juga mengutarakan “kalam hikmahnya” dari kitab al-Hikam yang di terjemahkan kedalam bahasa Melayu. Berliau memulai dengan perkataannya:
علامات الإعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل
“Sebagian dari tanda bahwa seorang bergantung pada kekuatan amal dan usahanya, yaitu berkurangnya pengharapan (atas rahmat karunia Allah)”
Dalam kutipan di atas, Ibn ‘Athaillah mengingatkan kepada seluruh orang yang telah menganggap diri mereka bertauhid, agar berhati-hati ketika mengalami kegagalan. Jangan sampai putus asa atas rahmat Allah, karena sesungguhnya sebuah usaha ada batas-batasnya. Setiap apa yang telah diusahakan tidak selalu dapat dicapai dengan sukses. Ada faktor takdir dan rahmat Allah yang perlu dihayati dan dimaklumi oleh mereka, karena jika hal ini belum dihayati, maka mereka hanya akan bergantung pada kekuatan amal. (Ahmad Taufik Hidayat dan Sudarman,2017)
Dengan adanya manuskrip ini untuk mempernalkan kajian Tasawuf yang menjadi sarah dari al-Hikam yang unik dalam bahasa Melayu. Manuskrip ini merupakan bukti intelektual Ulama Minangkabau yaitu Seikh Burhanuddin Ulakan dan fakta sejarah beliau dalam sebuah maha karya.
Alasan kenapa harus menulis?
Ketika saya membaca sebuah menuskrip, saya menyadari bahwa penting nya menulis dan betapa berharganya sebuah tulisan. Berikut alasan kenapa harus menulis:
Alasan yang pertama, kita pernah mendengar sebuah ungkapan “Menulislah, maka kau akan abadi!”. Maksud abadi disini yaitu abadi dalam bentuk amalan, sekalipun jasad sudah tidak ada akan tetapi ilmu dan tulisan yang bermanfaatlah yang akan abadi dari generasi ke generasi selanjutnya. Seseorang yang mengamalkan ilmu yang diperoleh nya dari seseorang maka akan menjadi amalan jariyah , seperti yang sudah di contohkan ulama-ulama terdahulu.
Alasan yang kedua, kita mengetahui bahwa cakupan ilmu itu sangatlah luas. Akan tetapi daya ingatan kita hanyalah terbatas. Maka dari itu dengan menulis kita dapat mengingat-ngingat lagi apa yang sudah pernah kita ingat dan kita lakukan sebelumnya.
No responses yet