“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat…” (Q.S. Al-Baqarah : 186)
Suatu ketika seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, “Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kami dapat bermunajat, memohon kepada-Nya, atau jauh, sehingga kami harus menyeru-Nya?” Rasulullah Saw terdiam, hingga turunlah ayat 186 Surat Al-Baqarah, sebagaimana penulis kutip di awal tulisan ini, sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.
Ayat di atas menegaskan bahwa sesungguhnya kehadiran Allah begitu dekat dengan kita. Ia selalu ada dalam setiap desahan nafas kita. Ia juga senantiasa hadir menyertai setiap derap dan langkah kaki kita. Tidak ada sedikit pun ruang dan waktu yang lepas dari kebersamaan kita dengan-Nya.
Dalam ayat lain ditegaskan, “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya.” (Q.S. Qaf: 16). Sungguh, Allah begitu dekat dengan kita, Ia Maha dekat.
Ironisnya, kita sering menganggap bahwa Allah jauh dari kehidupan kita. Kita sering mempertanyakan keberadaan-Nya, terutama ketika berpuluh-puluh bahkan mungkin beratus-ratus doa dan permohonan kita panjatkan kepada-Nya, dan kita merasa tak kunjung mendapat jawaban atas permohonan kita tersebut.
Kita sering secara tidak sadar ‘menggugat’-Nya, ketika beragam persoalan, cobaan dan musibah tak henti-hentinya menimpa kita. Ketika didera sakit berkepanjangan, ketika terus-menerus dililit utang karena kondisi ekonomi yang serba kekurangan, ketika jodoh tak kunjung datang, ketika bertahun-tahun berumah tangga dan tak kunjung dikaruniai keturunan, ketika berpuluh-puluh surat lamaran pekerjaan hanya berujung dengan kekecewaan, di saat seperti itulah kita sering mempertanyakan keadilan Allah. Kita merasa tidak dihiraukan oleh-Nya. Kita merasa Allah tidak sayang kepada kita. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, kita sering menganggap bahwa Allah berlaku tidak adil.
Pelbagai persoalan, beragam cobaan dan musibah yang datang silih berganti seringkali membutakan mati hati kita akan limpahan kasih sayang-Nya selama ini. Kita tidak menyadari bahwa kenikmatan menghirup udara segar, kesempatan hidup di dunia, serta beragam fasilitas yang diberikan Allah secara cuma-cuma adalah rahmat dan karunia Allah yang luar biasa besarnya. Sungguh, kita tidak akan mampu menghitung limpahan karunia serta kasih-sayang-Nya, demikian menurut keterangan salah satu firman-Nya.
Sudah menjadi tabiat manusia, ketika tengah bergelimang suka cita, bermandikan bahagia, mereka lupa siapa yang memberi kebahagiaan. Mereka sering beranggapan bahwa apa yang diperolehnya adalah hasil usaha dan kerja kerasnya an sich. Mereka lupa, bahwa dalam setiap usaha yang mereka lakukan, ada faktor penentu yang sering tidak diperhitungkan, yaitu izin Allah Swt.
Ya, izin Allah adalah faktor X yang menjadi penentu dari setiap rencana manusia. Sematang apapun rencana manusia, katakanlah 99% menurut perhitungan manusia akan berhasil, jika Allah tidak mengizinkan, maka yang 1% sisanya dapat menggagalkan. Ini yang sering tidak disadari manusia. Kebahagiaan yang mereka rasakan sering membutakan matahati mereka, sehingga melupakan Sang Pemilik dan Pemberi kebahagiaan, yakni Allah Swt.
Di sisi lain, ketika bermacam cobaan, musibah, dan penderitaan terus-menerus mendera, barulah manusia mengingat Allah yang selama ini mereka lupakan. Tak henti-hentinya mulut mereka memohon dan berdoa kepada Allah agar segera diberi kemudahan dan jalan keluar dari segala cobaan dan penderitaan yang sedang dialaminya. Ironis, di saat senang mereka lupa kepada Allah, seolah Allah begitu jauh dari kehidupan mereka. Tetapi, begitu kesusahan datang, barulah mereka mengingat-Nya, dan merasakan bahwa Allah begitu dekat dengan mereka.
Padahal, sejumlah keterangan ayat dan hadis di atas, secara tegas dan jelas menyatakan bahwa Allah sangat dekat dengan kehidupan kita.
So, ingatlah Allah setiap saat, baik dalam suka maupun duka, bahagia maupun derita, senang maupun susah. Karena Allah sangat dekat, Allah Maha Dekat.
No responses yet