Saya seperti sedang berada dalam rombongan penerima beasiswa Jaringan Pengacara Publik Dunia (Pilnet), program yang diikuti penulis buku ini. Saya datangi gedung pengadilan di kota New York, Amerika Serikat, mengenali lekuk-lekuk dindingnya, mengingat bau pengharum ruangan, dan menyaksikan hakim, jaksa, penggugat, serta tergugat melakukan pekerjaan yang seharusnya mereka kerjakan.

Tak banyak waktu berleha-leha. Saya mengerjakan apa yang seharusnya saya kerjakan sebagai peserta program yang bertanggungjawab dan dapat dipercaya, juga seorang peserta yang suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, sebagaimana sangat cerewet diingatkan pesan Dasa Darma Pramuka butir sembilan dan sepuluh. Saya melihat jalannya sidang seperti pengacara di pengadilan, mengenali masalah dan menafsirkannya, lalu mencatat apa yang penting untuk dibawa pulang.

Di lain waktu saya seperti sedang duduk di salah satu ruangan di sebuah gedung di kota New York dan khusuk membaca sejumlah dokumen kasus kekerasan terhadap perempuan di Amerika. Saya tak tega membaca kisah Lil Ling dan Li Bang, dua perempuan asal Tiongkok, yang menjadi korban perdagangan manusia di Amerika.

Penggambaran yang detail dan telaten tentang sistem hukum terkait kekerasan perempuan dalam buku Siti Aminah Tardi ini rasanya tak akan berhasil jika tak dilakukan bukan oleh para profesional dan ahli. Dalam waktu kurang dari lima jam, saya menghabiskan empat judul dari delapan judul buku setebal 177 halaman ini. Empat judul lain rencananya akan saya habiskan nanti, setelah menuliskan catatan ini.

Siti Aminah bukan seperti beberapa orang anak muda di negeri ini yang muncul tiba-tiba dalam panggung politik Indonesia seperti lagak petugas parkir malas di salah satu area pertokoan di kota Depok.  Anak-anak muda itu tidak lahir dari pengalaman panjang mereka sendiri, melainkan dari keringat dan pengalaman bapak, ibu, kakek atau nenek moyang mereka.

Siti Aminah tidak begitu. Saya beri tahu Anda. Ketika saya belum menyelesaikan studi strata satu dua puluh tahun lalu dan belum tahu arti replik dan duplik, ia sudah jadi pengacara publik dan peneliti hukum. Saya hitung-hitung dalam penjelasan tentang penulis di halaman akhir buku, ia sudah beraktivitas di tujuh lembaga terkait isu hukum dan kelompok rentan. Saya kira yang tidak tercatat bisa lebih banyak dari itu. Kata Emak-Bapak saya, orang kalau sudah berilmu dan rendah hati, cirinya memang tak suka mengumbar-umbar kebaikan dan pencapaian ini-itu. Dibiarkan saja apa adanya dan menyerahkan semuanya pada tangan sejarah. Memang apa yang dilakukannya sekarang? Kalau saya jelaskan, Anda bisa mati berdiri!

Karena sudah malang melintang dalam belantara hukum, maka saya tak akan membicarakan materi hukum dalam catatan ini. Khawatir ia akan mendebat saya berdasarkan delapan elemen power and control wheel atau bisa saja ditanya apa bedanya VAWA Visa dan VAWA. Bisa kelenger saya! Karena itu, saya tahu diri saja. Saya akan membicarakan teknik menulis dan bercerita. Itu pun hanya sedikit dari yang saya tahu.

Target Pembaca

Saya sendiri masih meraba-raba, ketika menulis siapa yang penulis bayangkan bakal menjadi pembacanya. Orang awam hukum atau mereka yang mengerti perkara hukum dan kasus-kasusperempuan?

Seperti penulis buku ini sangat mengerti, bayangan tentang target pembaca penting sekali. Dari sana kita bisa memperkirakan gaya apa yang akan kita gunakan, termasuk diksi atau metafora. Ini sama saja seperti pengacara bersidang. Bukankah tidak sopan menjawab pertanyaan hakim tanpa menyebut kata “yang mulia”? Saudara Pengacara? Ya, Pak!” Apa jawaban itu enak didengar di pengadilan?

Jika ditilik-tilik, rasanya buku ini hendak bicara dengan kelompok pertama. Sekurang-kurangnya kepada mereka yang terbiasa dengan perkara ini namun dengan gaya yang berbeda. Jika benar demikian, maka aspek-aspek teknis bercerita seperti karya-karya fiksi menjadi penting kita bicarakan baik-baik di sini.

Jadi, tulisan ini saya bayangkan memang tidak diniatkan seperti jenis tulisan laporan kasus kekerasan perempuan di Indonesia untuk disampaikan ke Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Apalagi sedang menyusun replik!

Tema Tulisan

Entah berapa ratus kali saya terjebak membicarakan beragama tema dalam satu tulisan. Entah berapa ratus kali saya tergoda memasukkan banyak data dalam satu tulisan. Setelah direnung-renungkan lagi, tulisan semacam itu rasanya bakal menghilangkan fokus tulisan dan perhatian pembaca. Jika tetap berhasil mengangkat beberapa tema, maka ia menjadi tulisan yang mungkin lebih panjang dari yang diharapkan pembaca.

Saya menikmati tema-tema atau kisah-kisah yang diangkat dalam “Mengunjungi Pengadilan Terpadu dalam Rumah Tangga”. Apa yang terjadi dalam empat sidang yang dicatat di buku ini menggambarkan bagaimana proses pengadilan di Amerika berlangsung. Bukan hanya itu, tapi juga jenis kasus yang berbeda-beda. Belum lagi tema atau cerita tentang pengadilan terpadu.

Hemat saya, alangkah baiknya jika cerita-cerita itu dibuat dalam tulisan yang terpisah-pisah dengan satu tema utama. Kata “alangkah baiknya”, sering saya jumpai di forum pemerintah. Disampaikan dengan sangat sopan, dari staf kepada pimpinannya. Jika ada kalimat lain yang lebih sopan, saya mungkin akan memilihnya.

Setidaknya tulisan Mengunjungi Pengadilan akan menjadi lima tulisan. Satu tentang Pengadilan Terpadu, empat lainnya tentang cerita empat kasus yang disidangkan. Agar fokus, saya sering menggunakan metode membuat satu pertanyaan untuk satu tema penulisan. Lebih dari satu akan membuat fokus saya buyar. Setelah itu saya berusaha setia dengan jawaban pertanyaan ini. Seperti akan menggambar pohon utuh, saya berusaha memulai dari daun, dahan, batang, lalu menuju akar. Atau sebaliknya dari akar menuju daun di pucuk pohon. Berusaha tidak terjebak mulai menggambar daun dan mampir ke ranting, setelah itu tak muncul-muncul lagi.

Sebagai contoh. Tulisan pertama akan bertanya tentang apa itu Pengadilan Terpadu? Inilah tema utama. Saya membayangkan isi tulisan di dalamnya bercerita dengan lincah tentang seputar pengadilan: mengapa didirikan? Bagaimana dijalankan? Siapa penggunanya? Jenis-jenis perkara paling banyak? Agar ada efek perbandingan, bisa membandingkan sedikit dengan Indonesia. Sebagian besar bagian-bagian ini sudah terjawab dalam tulisan di buku ini. Bagaimana menceritakannya ini pekerjaan berikutnya. Jika ingin membandingkan Indonesia dengan Amerika, baiknya menjadi tema sendiri agar lebih fokus.

Kalimat pembuka

Terus terang saya sangat menikmati bagaimana tulisan-tulisan buku ini membuka ceritanya. Ringan dan memaksa pembaca melihat dan merasakan sesuatu seperti penggambaran antrean yang mengular di depan gedung pengadilan New York.

Keberhasilan menulis cerita salah satunya ditentukan oleh kalimat pembuka. Begitu teori-teori yang saya baca. Kalimat pembuka dalam tulisan atau adegan pembuka dalam film-film, jelas sekali bukan sesuatu yang ditulis atau dibuat begitu saja. Ia diciptakan dengan satu tujuan: memperkuat alur atau plot cerita.

Setelah membaca buku ini, saya jadi membaca lagi beberapa karya sastra Indonesia ketika membuka tulisan fiksi. Salah satunya Gadis Pantai karya Pramudya Ananta Toer.

Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil. Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang. 

Saya kira kalimat ini bukan tak punya tujuan sama sekali. Pembukaan ini dipilih demi memberi bobot penting pada keseluruhan cerita: kisah tentang si Gadis Pantai.

Saya hanya menafsirkan saja. Jika antrean ini menjadi kalimat pembuka, maka tema pokok yang diangkat seputar Pengadilan Terpadu yang berhasil menjawab kerumitan pengadilan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seperti terjadi sebelum model ini diberlakukan. Antrean menunjukkan animo masyarakat untuk memanfaatkan pengadilan.

Namun pembukaan ini juga dapat bermakna lain atau pengantara untuk membicarakan tema lain: tingginya KDRT dan usaha-usaha mengatasinya. Jika pilihan kedua, tema cerita mungkin akan lain cerita lagi. Boleh jadi menjawab pertanyaan bagaimana Pengadilan Terpadu efektif merespons tingginya kasus. Keputusan memilih kalimat pembuka tentu harus dikembalikan pada tema tulisan.

Tanya jawab pengacara dengan pelapor KDRT dalam bagian tulisan ini, persisnya pada halaman 16-20, menurut saya akan sangat menarik menjadi pembuka untuk satu tulisan baru seperti usul saya. Misalnya kita beri judul “Pengacara Keren” atau apalah baiknya.

“Apakah Anda juga pernah melakukan kekerasan kepada pasangan Anda?…”

“Ya, karena saya Lelah terus disakiti.”

“Apakah dari setiap kekerasan, kesalahan selalu terletak pada pasangan Anda?”

Setelah itu, tulisan ini akan bicara tentang kisah perempuan dan bagaimana pengacara yang keren itu beraksi. Dengan cerita itu saya membayangkan pembaca akan mengerti bagaimana jaksa di sana bekerja dan bagaimana para korban KDRT “bertahan” dari serangan-serangan mereka.

Membaca pembuka dan dialog itu saya ingat teknik pembukaan dialog Seno Gumira Aji Darma dalam Saksi Mata

“Saudara Saksi Mata.”

“Saya Pak.”

“Di mana mata Saudara?”

“Diambil orang Pak.”

“Diambil?”

“Saya Pak.”

“Maksudnya dioperasi?”

“Bukan Pak, diambil pakai sendok.”

Alur, Tokoh, dan Sudut Pandang.

Sebetulnya saya ingin membahas panjang lebar soal ini agar seolah-olah paham masalah. Tapi, rasanya saya sudah mulai capek mengetik dan Anda mungkin mulai letih membaca. Jadi, saya cukupkan saja sampai di sini. Lain waktu kita bicarakan lagi. Semua bisa kita bicarakan baik-baik bukan? Di mana-mana, kritikus memang suka begitu. Mudah melihat masalah, namun belum tentu becus mengatasinya.

Kalimulya, 27 September 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *