Banyak sekali catatan kuno dan juga hasil riset sejarah ataupun Etnografi yang menyatakan ada peran sangat besar dari orang-orang China dalam proses islamisasi tanah Jawa. Salah satu yang bisa kita lihat adalah pengaruh “Cheng Ho” yang bisa lihat sampai sekarang. Besarnya pengaruh China ini bahkan secara objektif jauh lebih memiliki bukti-bukti sejarah dan arkeologis dibandingkan dengan peran wali Songo yang menurut Riecklefs tidak banyak memiliki bukti konkret kecuali sebatas “mitos” dalam cerita rakyat (tradisi lisan). Meskipun saya kurang sepakat dengan asumsi Riecklefs di atas, karena bukti arkeologis semacam masjid dan juga makam Islam masih cukup banyak tersebar di tanah Jawa. Tetapi harus diakui sangat sedikit sekali catatan-catatan sejarah tetang wali songo yang “kredibel” dan layak dijadikan sumber sejarah. Meskipun sebenarnya hal itu tidak menutup peluang untuk mengungkap fakta dengan pendekatan Antropologi kultural, melalui analisis linguits dan etnografis, di samping arkheologi.
Tidak banyaknya catatan mengenai Wali Songo inilah yang menjadikan banyak sarjana Barat lebih suka mengkaji Islamisasi Jawa dengan menganalisis catatan-catatan kuno tentang kerajaan Mataram Islam. Apalagi Sultan Agung dikenal sebagai raja yang sangat menghargai literasi dan bahkan “membawa” kitab-kitab ulama Islam untuk “dijawakan” dan dikombinasikan dengan prinsip-prinsip keyakinan Jawa kuno yang juga terpapar ajaran Hindu dan Buddha. Salah satu hasilnya adalah kitab “Usulbiyah” yang memuat ajaran bahwa kemampuan membaca dan menulis sang Raja sebanding dengan penyempurnaan rukun Islam yakni ziarah ke Makkah dan berzakat, bahkan berjihad di jalan Allah. Lebih dari itu dalam kitab ini bahkan digambarkan nabi Muhammad telah memakai mahkota emas dari Majapahit. Ini adalah sebuah simbol penyatuan peradaban Islam dan Jawa (Riecklefs, 2013).
Kemampuan Sultan Agung dalam menggabungkan identitas Islam dan Jawa ini memang tidak terlepas dari tingginya peradaban literasi bangsa Jawa. Karena sejak sebelum Hindu masuk ke Nusantara jejak-jejak arkheologis tentang budaya literasi sudah ada dalam bentuk prasasti yang ditradisikan kaum elit. Kedatangan Hindu dan Islam turut menguatkan tradisi ini dan mencapai puncaknya pada era Mataram Islam. Nampaknya ayat iqra’ yang menjadi pembuka kitab suci Al Qur’an sangat menarik perhatian Sultan Agung sehingga sang Raja Mataram itu menafsirkan dengan cerdas bahwa kemampuan literasi itu sangatlah penting dan kedudukan sama dengan “Rukun Islam”. Sayang tradisi literasi yang sangat tinggi ini tidak berlanjut ke generasi raja-raja Jawa berikutnya. Bahkan lebih parah lagi setelah terkuasai oleh “Belanda” yang justru merampok semua karya literasi bangsa Jawa. Akibatnya bisa kita rasakan sampai sekarang. Tradisi leterasi bangsa Indonesia menjadi sangat rendah, kalau tidak bisa dikatakan telah mati. Benar sekali yang dikatakan orang bijak bahwa untuk menghapus sejarah peradaban suatu bangsa cukup saja para pemimpinnya dibuat mabuk kesenangan duniawi. Inilah yang secara sistematis dilakukan oleh VOC atau Belanda terhadap para Raja Jawa. Hebatnya mereka “sukses”.
Salah satu yang menarik ketika periode pasca Sultan Agung adalah mulai menguatnya ajaran-ajaran “mistik” Islam Jawa yang dianut penerus Sultan Agung dibandingkan kajian literasi Sultan Agung yang lebih kritis. Terutama pada era Paku Buwana II. Sebenarnya ini adalah tanda melemahnya kekuasaan sang Raja, yang tidak memiliki kemampuan untuk menuntaskan pemberontakan di pinggiran wilayah kerajaan dan ditambah lagi dengan adanya konflik antara pedagang China dan VOC, yang kemudian merembet ke bawah dimana masing-masing pihak mencoba untuk mendapatkan dukungan dari kalangan masyarakat bawah. Memang susah menemukan bukti tertulis apakah perlawanan saudagar China ini terkait dengan para saudagar muslim China yang juga menjadi penyebar agama Islam. Tapi sebenarnya jika dikaitkan dengan penguasaan bandar bandar di pesisir Utara Jawa yang dikuasai para Wali (yang konon keturunan China) seperti di Ampel Denta Surabaya dan juga di Gresik oleh Sunan Giri, serta Tuban yang juga dikuasai para saudagar muslim (yang bisa jadi para elitenya adalah para saudagar China Muslim) dimana Tradisi keislamannya lebih “puritan”.
Maka ini menjadi sebuah hipotesis yang harus mendapatkan perhatian khusus dari para sarjana yang akan melanjutkan penelusuran ini. Hilangnya jejak sejarah peran besar para saudagar China Muslim ini, senasib dengan tradisi literasi Jawa yang hilang seiring pertambahan zaman. Padahal jika kita bisa mengurai misteri ini maka akan bisa ditelusuri sejak kapan para saudagar China kalah dan beralih memihak “penguasa” serta memihak Belanda. Dimana kemudian diteruskan dengan sangat sempurna oleh regim orba menjadi kekuatan oligarkhi. Padahal sebelumnya orang China itu adalah bagian dari kekuatan rakyat yang tak terpisahkan dalam perjuangannya melawan kolonialisme. #SeriPaijo
Tawangsari 29 September 2020
No responses yet