Ada peristiwa apa pada tanggal 21-22 Oktober 1945 dalam catatan sejarah kemerdekaan dalam kacamata santri ? tentu pertanyaan ini bisa dijawab dengan membuka pustaka buku-buku sejarah yang ditulis oleh sejarawan santri.

Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh Zainul Milal Bizawie yang berjudul “Laskar Ulama Santri & Resolusi Jihad : Garda Depan Menegakkan Indonesia 1945-1949” terbitan Pustaka Compass. Sedikit kutipan dalam buku ini, pada halaman 204-206, adalah sebagai berikut :

Info dan Pemesanan Buku Hub. 081384478968 (Lia)

Peran serta para kyai dalam membakar semangat dan moril terlihat ketika berusaha memaknai perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fi sabillah. Sebuah Fatwa Jihad, terlebih dahulu beredar sebelum lahirnya Resolusi Jihad yang diputuskan lewat rapat para kyai di Surabaya. Fatwa yang ringkasannya dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat pada 20 November 1945, ditandatangani Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari pada 17 September 1945.

Fatwa tersebut di antaranya berbunyi: (1) hukumnya memerangi orang kaflr yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu ’ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin meskipun bagi orang fakir; (2) hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotankomplotannya adalah mati syahid; (3) hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.

Berpijak pada Fatwa Jihad ini, kemudian dikukuhkan oleh sebuah rapat para kyai pada tanggal 21-22 Oktober 1945. Mereka adalah para perwakilan Nahdlatul Ulama se-Jawa dan Madura berkumpul di Kantor Hofdsbestuur Nahdlatul Ulama atau HBNU sekarang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Jalan Bubutan VI N0 2 Surabaya.

Di tempat inilah, para kyai berkesempatan untuk membahas situasi perjuangan dan membicarakan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di akhir pertemuan tersebut, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad sekaligus menguatkan Fatwa Jihad Rais Akbar NU, KH Hasyim Asy’ari.

Situasi Surabaya yang makin mencekam dengan semakin meningkatnya aktivitas pasukan Inggris menjadi pertimbangan bagi para kyai NU segera bertindak untuk membangkitkan dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap lnggris. Langkah pertama yang dilakukan pengurus NU adalah dengan segera memanggil para konsul NU untuk menentukan sikap menghadapi aksi yang dilakukan NlCA-Belanda yang membonceng Inggris.

Pertemuan para konsul berlansung dua hari, 21-22 Oktober 1945, di kantor PBNU di Bubutan, Surabaya. Selain dihadiri para konsul NU se-lawa dan Madura, pertemuan juga dihadiri Panglima Hizbullah, Zainul Arifin. Sebelumnya, Presiden Sukarno telah menemui KH. Hasyim Asy’ari untuk menanyakan tentang hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam. Menanggapi pertanyaan itu KH. Hasyim Asy’ari memberi jawaban tegas bahwa sudah terang bagi umat Islam Indonesia untuk melakukan pembelaan terhadap tanah airnya dari bahaya dan ancaman kekuatan asing.

Terdapat perbedaan mengenai siapa yang memimpin rapat konsul NU itu. Hasyim Latief, seorang yang terlibat langsung dalam Pertempuran Surabaya, menyatakan yang memimpin rapat adalah KH. Wahab Chasbullah. Sementara Choirul Anam menyebutkan KH. Hasyim Asy’ari yang memimpin rapat penting itu.

Terlepas siapa sebenarnya yang memimpin, pertemuan di tengah suasana genting yang menghinggapi Surabaya tersebut, disepakati satu keputusan penting mengenai “Resolusi Jihad” bagi umat Islam Indonesia. Resolusi Jihad diserukan KH. Hasyim Asy’ari selaku pemimpin tertinggi NU.[]

One response

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *