Oleh: Zainal Abidin*

Islam di Indonesia dikenal sebagai islam ramah yang mampu menjaga kearifan lokal, budaya dan berbangsa. sejak awal masuknya Islam di negeri bawah angin ini, mayoritas sepakat bahwa perdamaian adalah jalur yang paling berpengaruh dari pada jalur lainnya. Tumbuh besarnya agama Islam tentu tidak lepas dari praktik keagamaan yang dihidupkan oleh pendahulu kita. Namun yang menjadi kegelisahan adalah Islam yang berbahan baku perdamaian ini, masih saja ditebarkan dengan cara kebencian.

Islam Nusantara hadir sebagai gagasan publik saat Muktamar NU 2015 di Jombang. Saat itu tema besarnya adalah ‘Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia’. Tema ini diangkat karena dunia Islam yang semakin berwajah ironi, di belahan dunia Timur Tengah hingga Afrika sedang berkecamuk konflik peperangan dan kekerasan. Indonesia yang berada di posisi strategis, menawarkan konsep Islam Nusantara untuk peradaban dunia sebagai jawabannya. Artinya, Islam Nusantara ini bukan sesuatu yang berhenti sebagai identitas saja dengan sejarah yang melingkupinya, namun sebagai nilai yang terus bergerak dan melakukan pencarian tanpa henti hingga terwujudnya peradaban Islam di seluruh dunia.

Diluncurkannya Islam Nusantara oleh NU beriringan juga dengan Islam Kemajuan dari Muhammadiyah. Menariknya, dua tema besar ini laiknya gayung bersambut dan terus berkelindan. Kata perdaban yang diusung oleh NU secara bahasa juga mengandung makna berkemajuan yang dijadikan tema Muhammadiyah. Pengaruh dua ormas Islam terbesar ini membawa titik temu pada konsep moderasi agama, yang kemudian diamini oleh instansi pemerintahan, Kementrian Agama Republik Indonesia hingga sekarang.

Hari Santri Nasional pada tahun 2019 ini, mengangkat tema ‘Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia’. Dari tema besarnya, dapat disebutkan bahwa peringatan HSN merupakan kelanjutan dari konsep moderasi agama Kemenag RI. Tak heran, jika kemudian Menteri Agama menggelar muktamar santri untuk menyuarakan perdamaian dari pesatren. Tak tanggung-tanggung, peringatan ini pun diiringi juga dengan ajakan pegiat pesantren untuk menuliskan kajian, gagasan dan risetnya yang berkaitan dengan topik perdamaian. Pertama tentang santri dan wajah ramah pesantren dunia. Kedua, Pedagogi Pesantren dan Perdamaian Dunia. Ketiga, Modalitas Pesantren dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia. Keempat, Pesantren dan Resolusi Konflik. Kelima, Santri, Cyber War, dan soft Literacy. Keenam, Akar Moderasi dan Perdamaian (as-Silm) dalam Tradisi Kitab Kuning. Terakhir, Kesusastraan dan Pesan Damai Pesantren.

Ini merupakan bukti bahwa peran Islam Nusantara di Indonesia sangat tinggi, bukan hanya menyuarakan untuk kepentingan kelompok, melainkan juga menjadi nilai yang hidup untuk moderasi agama dan bangsa. Selain itu, Islam Nusantara juga ditebarkan dengan damai hingga diterima oleh Dunia. Pada April lalu Habib Luthfi bin Yahya, Rais Aam Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) mendapatkan amanah sebagai ketua Forum Sufi Internasional. Penunjukan beliau oleh ulama-ulama sufi dari 37 negara, tentu bukan hanya berdasarkan kharisma personal Habib Luthfi saja, melainkan juga melihat Indonesia sebagai rumah yang memiliki proyeksi percontohan perdamaian dunia.

Menjelang hari perdamaian internasional, sebelum 21 September lalu KH. Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU dan KH. Haidar Nasir Ketua Umum Muhammadiyah mendapatkan amanah sebagai vice president di Religion for Peace, forum pengganti World Conference on Religion and Peace. Forum ini sebagai wadah berkumpulnya pemuka agama yang menebarkan pesan perdamaian. Penunjukan ini diungkapkan oleh Kyoichi Sugino, Deputy Sceretary General Religion for Peace sebagai upaya mengembangkan ide-ide model keberagamaan Indonesia untuk dunia. Kedua ormas ini dianggap berhasil mengawal pesan-pesan agama yang disampaikan dengan damai.

Nahdlatul Ulama mengembangkan moderasi Islam dan perdamaian di level dunia bukan hanya melalui tokoh personalnya saja. Melainkan juga diikuti oleh pengurus cabang istimewanya. Data yang tercatat pada tahun 2017 oleh NU Online, sudah ada dua puluh lima lebih Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama yang tersebar di lima benua, Asia, Afrika, Eropa, Australia dan Amerika.

Sejarah awal PCINU lahir dari Britania Raya, saat itu era KH. Hasyim Muzadi. Semula dari kelompok mahasiswa NU yang rutin menggelar pertemuan hingga pengajian, akhirnya diresmikan secara formal dibawah naungan PBNU. Sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, posisi PCINU tentu sangat startegis bukan hanya untuk menyebarkan paham aswaja yang moderat ke luar, namun juga sebagai second track diplomacy untuk kepentingan-kepentingan NU di berbagai bidang seperti pendidikan, sosial, budaya dan politik.
Salah satu PCINU yang getol menawarkan konsep Islam Nusantara adalah PCINU Belanda. Tercatat 2017 lalu, mereka menggelar konferensi Islam Nusantara yang pertama kali secara internasional. Mereka menggelar acara di Kampus Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda. Tema yang diangkat adalah “Rethinking Indonesia’s Islam Nusantara: from Local Relevance to Global Significance.”, dari sini jelas bahwa narasi besar muktamar NU juga disebarkan oleh duta-duta NU yang di luar negeri.

Kegiatan konferensi ini ternyata tidak berhenti begitu saja. Baru-baru PCINU Belanda juga menggelar konferensi lanjutan di Radboud University, Nijmegen Belanda. Dengan mengusung tema “Seeking the middle path (al-Wasaṭiyya): articulations of moderate Islam” PCINU mempertemukan para pengkaji religious studies, dan penikmat kajian Islam moderat dari berbagai negara. Artikulasi moderasi Islam ini ditelusuri dari bidang per bidang, mulai dari pendidikan, dakwah, lingkungan, sejarah, tradisi, hingga politik. Salah satu respon postif dari Antropolog Emory University Amerika, James Hoesterey atas acara ini bahwa NU berupaya melakukan diplomasi dengan soft power yang dampaknya signifikan untuk mengmbalikan wajah muram karena aksi ekstrimisme dan terorisme. James juga mempresentasikan papernya dengan judul Public Diplomacy on the Global Stage: The Soft Power of Indonesia’s Islam Wasatiyyah.

Selain itu, kegiatan konferensi internasional dijadikan juga sebagai ajang untuk konsolidasi PCINU se-dunia, ke depannya juga akan diselenggarakan konferensi serupa di Universitas Leiden pada tahun 2021. Usaha positif oleh struktural Jam’iyyah NU baik di Indonesia maupun luar negeri, harus juga diikuti oleh jamaahnya, nahdliyin. Kembali ke personal masing-masing, bahwa nahdliyin merupakan duta damai NU, karena wajah Islam Nusantara akan dilihat oleh publik dari sikap keberagamaan kita yang moderat dan damai. Bukan hanya sebagai gagasan yang menguap dengan kata-kata.

*Penulis adalah aktivis kajian Islam Nusantara Center (INC)

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *