Hingga saat ini, pandemi Covid-19 belum dapat diketahui kapan berakhir. Meskipun di sebagian negara sudah melandai, namun masih banyak negara yang terus berjuang menekan laju peningkatan. Karena itu, ketahanan mental dan spiritual masyarakat untuk tidak lelah menghadapinya adalah sebuah keniscayaan. Lantas peran seperti apa yang dapat disumbangkan oleh agama dalam upaya tersebut? Di titik inilah, buku anggitan Prof. Quraish Shihab ini penting kita telaah.
Setidaknya ada tiga alasan mendasar mengapa buku ini layak kita diskusikan. Pertama, dengan latar belakang kepakaran dalam bidang tafsir, Prof. Quraish menyajikan uraian yang utuh dan detail berkenaan dengan hakikat musibah. Dengan sandaran ayat al-Qur’an, hadis, dan tafsir, kita akan diajak untuk memahami kaitan antara azab, musibah, ujian, dan ketentuan Allah. Dengan membaca buku setebal 120 halaman ini, kita dipermudah untuk memahami pesan-pesan al-Qur’an, khususnya untuk menyikapi pandemi. Ujungnya, kita dapat terus optimis dan husnudhan terhadap kenyataan yang harus dihadapi.
Kedua, buku ini merupakan contoh keterbukaan agamawan untuk mendialogkan teks-teks keagamaan dengan sains. Di halaman 22, saat membahas peranan doa dan kekuatan keyakinan, Prof. Quraish Shihab tidak serta merta hanya merujuk pada teks-teks keagamaan, namun juga mendialogkannya dengan temuan Alexis Carrel (1873-1944), seorang ahli bedah Perancis. Tokoh penerima hadiah Nobel dalam bidang kedokteran ini menuliskan pengalaman empirik kekuatan doa selama menangani pasiennya ke dalam buku yang berjudul “Prayer”. Di buku ini, Carrel menyatakan bahwa banyak di antara pasien cepat sembuh karena doa dan harapan yang dipanjatkan. Doa dan spirit memberikan kekuatan mental dan psikologis. Bagi Prof. Quraish, temuan ini adalah sejalan dengan ajaran agama untuk memperbanyak doa dan dzikir.
Ketiga, Prof. Quraish dengan tegas dan bijak meluruskan pemahaman kontroversial yang sempat berkembang di masyarakat, khususnya di awal merebaknya pandemi. Di bagian kedua buku terbitan Lentera Hati Tangerang, April 2020 ini, Prof. Quraish fokus merespon beberapa pemahaman yang kurang tepat dari sebagian agamawan. Di antaranya adalah pemahaman bahwa Covid-19 adalah tentara Allah yang diturunkan untuk mengazab sekelompok ras tertentu. Selain itu, juga ditanggapi pemahaman bahwa Covid-19 adalah bukti untuk memaksakan penerapan syariat Islam. Di antaranya adalah ajaran wudhu, cuci tangan sebelum makan, memakai cadar, menghindari pergaulan bebas, hingga meniadakan klub malam. Bagi Prof. Quraish, meskipun tujuannya baik, tetapi pemahaman dan pemaksaan ini kurang tepat.
Selanjutnya, Prof. Quraish juga menanggapi pemahaman sebagian kalangan yang bersikeras beribadah di masjid dengan tanpa mengindahkan penerapan protokol kesehatan. Sikap ini berangkat dari pemahaman yang membenturkan apakah kita lebih takut kepada Allah atau lebih takut virus Corona. Dengan detail, Prof. Quraish menunjukkan bukti bahwa pemahaman ini tidak sesuai dengan ajaran dan praktik yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat. Dasarnya adalah praktik sholat khouf. Di tengah kecamuk perang, tata cara sholat diatur sedemikan rupa untuk mengupayakan keselamatan. Hal ini bukan berarti Kanjeng Nabi Muhmmad dan para sahabat lebih takut kepada musuh daripada kepada Allah. Takut kepada Allah bukan lantas sembrono dan gegabah dalam dalam menjaga keselamatan. Bukankah menjaga keselamatan nyawa adalah termasuk kewajiban agama itu sendiri. Lantas seperti apa detailnya?
Menarik untuk kita bincangkan.
No responses yet