Belum lama, guru kami berpulang ke Rahmatullah. Meski baru pertama berjumpa cukup membekas kenangan indah bersama almarhum. Yakni saat berjumpa dengannya saat kunjungan kami di Bumi Nanggroe Aceh Darussalam sekitar bulan Juli tahun kemarin.

Saat itu kami turut hadir dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an Mahasiswa Nasional (MTQMN) XVI di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Namun keberadaan kami bukan dalam kapasitas sebagai peserta ataupun official, tetapi ingin ikut memeriahkan perhelatan dwi tahunan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Teknologi (KEMENRISTEKDIKTI). Dua tahun sebelumnya telah diselenggarakan acara serupa di Universitas Negeri Malang dan Universitas Brawijaya Malang, saat itu bersama kawan-kawan kami berhasil meraih aneugerah Museum Rekor Indonesia (MURI) atas prestasi melantunkan kalam Illahi terlama berkesinambungan 7 Hari Non Stop 168 Jam lebih 17 menit di Masjid Raden Patah Universitas Brawijaya Malang.

Awalnya kami berangkat kesana dengan hanya modal tekat. Dengan menyisihkan uang saku kami yang tak seberapa kami berangkat kembali bumi Aceh untuk kedua kalinya setelah tahun 2018 sempat berkunjung ke berbagai titik di provinsi paling barat di Indonesia seperti Langsa, Lhokseumawe, Bireun, Aceh Besar, Banda Aceh, Sabang, Lhoknga, Meulaboh, Woyla, Mugo Rayeuk, Labuhan Haji, Subulussalam, dan Singkil yang terangkum dalam Jelajah Santri Backpacker Explore Sumatera. Waktu itu kami menelusuri hasir pesisir Tanah Rencong ini sepulang dari menghadiri MTQ Nasional di Medan, Sumatera Utara.

Saat kunjungan kedua ke Aceh itulah kami dipertemukan dengan KH. Amin Huzaini. Untuk menuju Aceh kami harus menempuh perjalanan darat sampai Palembang. Berkat bantuan KH. Masagus Fauzan Yayan, Pengasuh Pesantren Marogan, Palembang Sumatera Selatan kami bisa langsung menuju Medan dengan naik pesawat dari bandara Sultan Mahmud Badaruddin (leluhur Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin). Di medan kami sempat singgah di pesantren Fadhlul Qurro’ Deli Serdang asuhan KH. Fadhlan Zainuddin, seorang Qori Internasional dan Ketua Pengurus Wilayah Jamiyyatul Qurro’ wal Huffadz (JQH) Sumatera Utara. Tiga hari di Medan kami kembali menempuh perjalanan darat sampai di Aceh yang memakan waktu sampai 12 jam.

Sesampai di Aceh, datanglah KH. Amin Huzaini menjemput kami. Beliau mengajak kami makan siang dan mengobrol banyak hal khususnya pengalaman beliau saat menghafal Al-Qur’an di Madrasatul Qur’an Jombang. Keberadaan Kyai Amin di Bumi Aceh adalah atas undangan dari Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam saat itu. Dimana beliau yang telah menuntaskan studi di Institut Perguruan Tinggi Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta mendapat kesempatan mengabdi di Aceh bersama empat kawannya. 

Kisah perjalanan hidup beliau dalam mensyiarkan kalam Illahi di Aceh telah sedikit saya urai dalam catatan di bawah ini. Semoga segala amal baik almarhum di terima di sisi-Nya, diterangi kuburnya dan ditempatkan di surga-Nya kelak. Dan harapan kami kelak bisa berziarah ke pusaranya dan bersilaturrahmi ke berbagai Masyayikh di Bumi Nanggroe Aceh Darussalam.

MUQ Aceh Pencetak Hamilul Qur’an di Serambi Mekah

(Senarai Sejarah Syiar Al-Qur’an di Nanggroe Aceh Darussalam)

قليل قر خير من كثير فر

 “Sedikit namun tetapi membekas lebih baik daripada banyak namun hilang” 

(KH. Arwani Amin al-Muqri’)

MUQ adalah kawah candradimuka bagi pemuda-pemuda Aceh untuk mensyiarkan kalam Illahi di Bumi Serambi Mekah. Madrasah Ulumul Qur’an (MUQ) Pagar Air didirikan pada 8 Juli 1989. MUQ merupakan madrasah dan pesantren tempat pengkaderan para hamilul Qur’an. 

Kehadiran MUQ ini berawal saat berlangsungnya Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional di Bandar Lampung tahun 1988. Saat itu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengirimkan delegasinya untuk mengikuti ajang kompetisi Al-Qur’an dwi tahunan ini. Namun saat itu belum ada peserta dari cabang Musabaqah Hifdzil Qur’an (MHQ) yang ikut.

Maka saat inspeksi, Gubernur Aceh saat itu Ibrahim Hasan sempat marah kepada para official kafilah MTQ Aceh  

“Mengapa provinsi kita yang dijuluki Serambi Mekah, namun tidak ada yang ikut MHQ?” Kata beliau saat itu sebagaimana dikisahkan Ustadz Amin Chuzaini yang merupakan adik kandung Dr. KH. Muhaimin Zain, Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta.

Dari situlah, kemudian Gubernur Aceh menginstruksikan agar bekerjasama dengan PTIQ agar mengirimkan mahasiswa terbaiknya untuk mengajar hafalan Al-Qur’an di Aceh. Status PNS saat itu dijanjikan oleh Pemerintah Aceh bagi mereka yang mau mengabdi di Aceh. Maka dikirimlah empat sarjana PTIQ untuk berangkat ke Aceh, diantaranya: Ustadz Amin Chuzaini, Ustadz Ishomuddin, Ustadz Fuad Falahuddin, dan Ustadzah Tho’ati untuk mengajar tahfidz di Aceh.

Awalnya pembinaan tahfidz dipusatkan di Gedung Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Provinsi Aceh. Namun seiring berjalannya waktu mulailah dibentuk pesantren atau dayah dalam bahasa aceh, sebagai tempat karantina para penghafal Al-Qur’an. Maka atas usulan Ustadz Amin muncullah nama MUQ ini, yang namanya bertabarruk ke alamamater beliau yakni Madrasatul Qur’an, Tebuireng Jombang. Sebelumnya Dewan Hakim MTQ Nasional Cabang Musabaqah Hifdzil Qur’an ini sempat mengaji langsung ke KH. Yusuf Masyhar (Pendiri Madrasatul Qur’an) sebelum cucu menantu KH. Hasyim Asy’ari ini berpulang ke Rahmatullah.

Sebelum MUQ Banda Aceh Berdiri sebelumnya telah berdiri pula MUQ di Kota Langsa, Aceh dekat dengan Provinsi Sumatera Utara. Namun kata Ustadz Amin tak ada kaitannya antara MUQ Langsa dan MUQ Banda Aceh. Bahkan beliau mengaku tidak mengetahui jika ternyata telah berdiri MUQ di Langsa. Jadi yang membedakan MUQ Langsa dan MUQ Banda Aceh adalah MUQ Langsa dikelola oleh Yayasan Dayah Bustanul Ulum yang berdiri pada 1981, sedangkan MUQ Banda Aceh dikelola Pemerintah Daerah.

Setelah berjalan tiga tahun, tibalah saatnya untuk mengakhiri tugas. Maka berpeluanglah Ustaz Ishomuddin, Ustadzah Thoati sementara Ustadz Fuad Falahuddin ke kampung halaman masing-masing. Tinggalah Ustadz Amin di Aceh karena telah beristri gadis dari Tanah Rencong ini. Meski telah purna pengabdian di Aceh, ketiganya masih meneruskan pengabdian di berbagai tempat. Ustadz Ishomuddin menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Manarul Huda, Jakarta, Ustadzah Thoati mengajar dan menetap di Negara Brunei Darussalam, sementara Ustadz Falahuddin berdomisli di Pamulang, Tangerang Selatan.

Dikarenakan Ustadz Amin membutuhkan bantuan untuk membantu mengajar di Aceh, maka pada tahun 1992 beliau mengajak kawannya Ustad Sualip dari Jepara untuk menemaninya berkhidmah di MUQ Banda Aceh. Ustadz Sualip yang juga  alumni PTIQ Jakarta ini adalah santri KH. Hisyam, Pendiri Pondok Pesantren Roudhotul Mardiyyah, Kudus. Sanad tahfidznya bersambung ke KH. Arwani Amin Kudus kepada Gurunya KH. Munawwir Krapyak Jogjakarta sampai kepada Rasulullah SAW.

MUQ Banda Aceh sendiri pada perkembangannya sering berpindah-pindah tempat. Sampai kemudian terdapatlah tanah wakaf yang cukup luas di daerah Kemukiman Pagar Air, Kabupaten Aceh untuk pembangunan pesantren. Maka berpindahlah para pengasuh dan santri ke tempat baru tersebut pada tahun 2000.

Struktur pemerintahan di Aceh memang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Dimulai dari lorong (dusun), gampong (Desa), kemukiman (kumpulan gampong), kecamatan, kabupaten atau kotamadya.

Saat ini MUQ Pagar Air telah banyak melahirkan santri yang luar biasa. Mereka banyak yang berprestasi dan sering kemarin dikirim menjadi delegasi di MTQ Nasional mewakili Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Alumninya banyak melanjutkan studi ke Timur Tengah seperti Mesir dan Maroko. Kecenderungan masyarakat memang lebih tertarik mengkuliahkan buah hatinya di Timur Tengah.

Para Alumni MUQ Pagar Air juga banyak yang membentuk jaringan MUQ-MUQ yang bekerjasama dengan Pemda setempat di berbagai kota seperti di Aceh Selatan, Sigli, Pidie Jaya, Nagan raya, Lhokseumawe. Belum pesantren lain yang membentuk yayasan-yayasan seperti Dayah Darul Tahfidz Banda Aceh, Dayah at-Taisir Aceh Jaya, Dayah Abdia Aceh Barat Daya dan lain-lain.

Terkait jejaring dayah atau pesantren di Provinsi Nanggroe Aceh selain MUQ,setidaknya ada tiga ayahnya lain yang membangun jaringan lewat para alumninya diantaranya: Dayah Madrasah Diniyah Ulumul Islam (MUDI) Mesjid Raya Samalanga Bireuen yang didirikan oleh Teungku Syihabuddin pada 1927, Dayah Darussalam Labuhan Haji dengan pendiri Syekh Muda Wali,seorang tokoh besar PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan Thariqah Naqsabandiyah Kholidiyah, dan Dayah Darussadah yang dirintis oleh Teungku Muhammad Ali Irsyad pada 1975.

Seiring dengan tingginya antusias masyarakat tentang keberadaan MUQ, maka Ustadz Amin mengembakan pesantren lagi di tempat lain, yakni di Desa Anuekbatte, Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2014. Bekerjasama dengan Ustadz Mudzakkir  yang juga peserta MTQ Nasional 1988 di Lampung cabang Cerdas Cermat Al-Quran (Sekarang lebih dikenal Musabaqah Fahmil Qur’an), beliau mengembangkan pesantren yang diberi nama Insan Qur’an. Harapan besar dari pesantren ini lahirnya insan-insan bernafaskan qurani yang lafdzan ma’nan wa amalan (lafadznya dibaca, maknanya dipahami, dan isi kandungannya diamalkan).

Dayah Insan Qur’ani di tahun kelima ini sudah menampung 872 santri dari penjuru Aceh. Di pesantren ini pula juga berdiri sekolah formal dari jenjang SD Negeri, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Tahun ini saja ada sekitar 800-an santri yang akan masuk Insan Qurani. Namun karena keterbatasan tempat hanya 200an saja yang bisa diterima setelah melalui serangkaian tes.

Meski belum lama berdiri, namun  santri Insan Cendekia mampu unjuk gigi dengan meraih prestasi gemilang. Seperti belum lama ini, lima dari piala yang diboyong oleh kafilah Provinsi Aceh saat STQ Pontianak 2019 dipersembahkan oleh santri Dayah Insan Cendekia. Prestasi lain juga ditorehkan seperti Juara MTQ, Musabaqah Qiroatil Kutub, Kompetisi Sains Madrasah (KSM), Olimpiade Sains dan lain-lain. Dari tiga tahun kelulusan ini, telah puluhan santri Dayah Insan Cendikia yang dikirim ke kampus-kampus di Timur Tengah seperti Universitas Al-Azhar Kairo salah satunya.

Begitulah perjuangan dakwah qur’an dari Ustadz Amin Chuzaini, Ustadz Suailip dan para asatidz di Bumi Serambi Mekah. Sebuah perjuangan besar nan berat telah mereka alami untuk sebagai membumikan kalam illahi di bumi paling barat Indonesia ini. Sungguh tak terbayang betapa besar yang akan mereka dapatkan kelak baik ketika hidup apalagi saat mereka sudah menghadap ke hadirat Illahi.

Sebuah inspirasi besar muncul dari Bumi Aceh yang dikenal sebagai masyarakat yang begitu agamis ini. Inspirasi akan sebuah perjuangan menyebarkan risalah kenabian . Semoga Al-Quran kelak akan menjadi kawan di dunia, penerang di alam kubur, mahkota kemuliaan untuk kedua orang tua di akhirat, dan syafaat di hari akhir kelak. Sebagaimana Rasulullah SAW yang semoga kita segera dipertemukan dengannya di dunia atau akhirat nanti pernah bersabda:

“Bacalah Al-Qur’an karena kelak Al-Quran akan datang di hari kiamat untuk memberikan syafaat bagi para sahabatnya.

Sigli, 31 Juli 2019

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *