Sebelum tulisan ini dipilih untuk dikaji, penulis telah melakukan survey mikro terlebih dahulu ke beberapa informan atau narasumber. Tentunya, dari beragam afiliasi, profesi juga latar belakang sosial budaya yang berbeda; dari akademisi, pengajar  hingga santri. Hal tersebut penulis lakukan untuk membaca sejauhmana konsep kebertuhanan dalam konsep nalar dewasa kini yang sedikit ramai ‘seliweran’ paradigma yang cenderung dibelenggu oleh dzon (prasangka) semata.

Adapun konstruksi teologi sejauh ini mayoritas membenarkan bahwa tiada yang mustahil bagi Allah dengan berbagai argumentatifnya. Meskipun tidak sedikit masih ada yang menunjukkan penalarannya ihwal berikut. Untuk itu, maka esensi tulisan ini ialah mencoba menjawab polemik yang eksis dalam paradigma besar kebertuhanan dalam konsep, melalui penalaran sehat objektif; pure untuk membedah kedalaman konsep kebertuhanan.

Berangkat dari kegelisahan penulis atas paradigma dalam konsep ketuhanan, dimana Tuhan cenderung dipahami lebih berat pada wilayah doktrin dogmatis daripada penalaran konsep penetapan. Hal demikian terjadi akibat dari pendawaman normalisasi dalam kebertuhanan; baik melalui orangtua, ustaz hingga pergaulan organisasi. Akhirnya, boleh jadi berpengaruh terhadap konsep ketuhanan yang dikonsumsi individu tersebut dalam beragama dan bersosial antroprosentris.

Polemik; Tiada (Hal) Yang Mustahil Bagi Allah.

Paradigma kebertuhanan yang menyatakan bahwa tiada (hal) yang mustahil bagi Allah merupakan fakta sosial dalam konstruksi (pemahaman) teologi dewasa kini. Umumnya, kalimat itu dikonsumsi mentah tanpa adanya penalaran konsep kebertuhanan; sebagai penetap atas individu menalar Esa. Alhasil, kalimat itu dikonstruk wajar dan tidak bermasalah. Bahkan nalar juga seakan mendukung dan mencari alasan untuk membenarkan konsistensi konsep tersebut.

Problem ini umumnya lahir dari pembiasan internalisasi mem-persepsi-kan atas Tuhan melalui dogma juga doktrin di lingkungan individu; mayoritas keluarga menjadi modal penting atas pemahaman ini hingga teman juga guru. Sehingga, tidak dipungkiri jika terlahir paradigma ihwal konsep (menalar) Tuhan (boleh jadi) dianggap tabu. Sebab, tidak sedikit dari masyarakat yang mengedepankan aksi daripada memikirkan terlebih dahulu kebertuhanan yang dikandung dalam konsumsi pikirnya.

Tiada (hal) yang mustahil bagi Allah memberi kesan bahwa Allah bisa segala hal; Allah kuasa atas segala perkara, Allah mampu. Secara tidak langsung, pernyataan demikian memfokuskan pada kuasa Allah atas segala perkara. Maka, disimpulkanlah demikian, bahwa tiada yang mustahil bagi Allah. Namun, apakah akal menerima atau tidak konsep berikut; penting untuk dikaji. Mengingat, hal tersebut dipegang dan disadarai sebagai doktrin semata.

Artinya, doktrin tersebut menjelma dalam keyakinan yang kemudian berimbas pada lahirnya pencarian argumentatif untuk memperkuat doktrin tersebut; bukan untuk membedah doktrin tersebut. Sehingga, bisa jadi hal demikian akan terus dilahirkan dengan stigma-stigma baru dan argumen-argumen baru untuk memperkuat pernyataan awal; subtansi doktrinal paradigma.

Akibatnya, berdampak pada terbelenggunya nalar dalam menemukan dalil baru. Sebab, telah didahului doktrinal paradigma dengan argumentasi yang memperkuatnya (bukan membedahnya secara objektif). Selain itu, esensi nalar menjadi tertahan; tidak bebas juga tidak liar dalam membedah doktrin tersebut. Meskipun hal itu dilakukan setiap saat dan disiplin.

Menalar; Tiada (Hal) Yang Mustahil Bagi Allah

Jika di atas telah disinggung maksud dari kalimat tersebut ialah kuasaNya Allah dan perbuatanNya. Maka, hal tersebut sebenarnya tergolong dalam sifat wajib berkehendak Allah atas sesuatu. Pun tergolong dalam sifat wajib berketetapan Allah. Artinya, telah dimaklum dan wajib dipahami bahwa memang Allah bersifatan wajib kuasa.

Tiada (hal) yang mustahil bagi Allah dalam sudut pandang lain samahalnya meniadakan sifat mustahil bagi Allah. Sebab, kata tiada dipahami memiliki makna tidak adanya sesuatu yang dimaksud. Yang dimaksud dalam hal ini ialah sifat mustahil Allah; tiadanya (hal) yang mustahil bagi Allah. Maka, samahalnya menafikan sifat mustahil bagi Allah.

Sifat mustahil dalam hukum akal ialah perkara yang tidak ditemukan akan adanya, melainkan akal hanya menemukan akan tiadanya. Secara mudah, sifat mustahil ialah sifat yang menegaskan bahwa suatu perkara tidak mungkin ada dan ketiadaannya diterima oleh akal melalui argumentasi. Artinya, kalimat tiada yang mustahil bagi Allah merupakan kekeliruan dalam akidah. Bagaimana tidak, Allah mustahil tidak ada, Allah mustahil bermula dan Allah mustahil sama dengan ciptaannya. Begitulah nalar menemukan argumentasinya.

Untuk itu, maka kalimat tiada (hal) yang mustahil bagi Allah merupakan kekeliruan yang fatal. Sebab, akal menolak jika Allah tidak memiliki sifat mustahil; seakan-akan Allah hanya bersifat wajib. Maka, dapat disimpulkan bahwa  ada yang mustahil bagi Allah yakni tidak adanya Allah dan lain sebagainya. Sifat mustahil merupakan lawab dari sifat wajib. Jika Allah wajib ada maka Allah mustahil tidak ada. Jika Allah wajib tidak bermula maka mustahil Allah bermula, dan seterusnya.

Konsep ketuhanan merupakan penetapan melalui nalar. Oleh sebab itu, umumnya kajian ini dikategorikan dalam hukum akal. Sebab, tidak cukup melalui dzon maupun hukum kebiasaan, melainkan butuh pendalaman. Sehingga, sangat penting memahami konsep ketuhanan melalui nalar; menetapkan sifat wajib bagi Tuhan, sifat mustahil bagi Tuhan dan sifat jaiz bagi Tuhan.

Tauhid merupakan ilmu ushul yang wajib dipelajari setiap orang yang terkena beban (muallaf). Adapun ciri-ciri orang yang terkena beban ialah sudah aqil baligh, tidak cacat (buta dan tuli; jika salah satunya masih fungsi, maka tetap diwajibkan), terkena dakwah Islam (sudah mengerti ada agama Islam; mungkin mayoritas telah mengetahui kabar Islam). Kedudukan ilmu tauhid menjadi pondasi juga esensi Islam. Tidak sebatas prasangka melainkan temuan-temuan otodidak-terbimbing. Alhasil, tidak sebatas taklid juga tidak asal-asalan dalam memaknai Islam.

Dari sini, dapat diambil hikmah bahwa esensi akal ialah untuk menetapkan kemahasucian Tuhan. Meskipun tidak perlu kita tetapkan pun Tuhan tetap suci. Artinya, Tuhan tidak terpengaruh oleh apapun, Dia tetap suci dari sifat butuh. Tetapi, akan lebih indah jika kita menemukan Tuhan yang suci melalui nalar yang terbimbing, tidak sebatas doktrin.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *