Untuk saat seperti sekarang ini, kita sering menemukan status ambal warso (ulang tahun) kyai dengan fotonya yang berisi tanggal lahir kyai yang tersebar di berbagai media sosial.
Saya sendiri dari dulu kurang cocok dengan hal itu. Ketidakcocokan terhadap hal itu karena suatu penjelasan yang saya dapat saat ngaji di pondok dulu.
Syaikhona Maimoen Zubair menjelaskan bahwa yang diperingati hari lahirnya itu adalah Rosululloh Shollallohu Alaihi Wassalam.
Hal itu karena kelahiran Rosululloh adalah bentuk kenikmatan yang sangat besar. Kelahiran Rosululloh membawa perubahan besar di dunia ini.
Dan itu adalah sebuah kepastian, bukan hanya sekedar harapan atau do’a. Bahkan saat masih dalam kandungan saja, banyak kejadian aneh yang menyertainya.
Rosululloh memperingati hari kelahiran beliau dengan cara berpuasa pada hari Senin.
Rosululloh tidak diperingati hari wafatnya, karena wafatnya Rosululloh merupakan kesusahan yang paling dalam. Setelah Rosululloh wafat, tidak akan ada lagi wahyu ALLOH yang diturunkan melalui malaikat Jibril dari langit ke bumi. Dan hal ini merupakan salah satu bentuk perpisahan antara langit dan bumi.
Walaupun hari lahir dan wafat Rosululloh terjadi pada hari dan tanggal yang sama, yaitu Senin 12 Robi’ul Awwal. Akan tetapi kita pada tiap tanggal 12 Robi’ul Awwal itu memperingati hari kelahiran Rosululloh, bukan memperingati hari wafatnya Rosululloh.
Selain Rosululloh, seperti para ulama, para wali atau orang-orang sholih yang diperingati adalah hari wafatnya.
Hal itu karena kematian menjadi rem dari segala macam kemaksiatan dan lupa mengingat ALLOH (ghoflah).
لقد كنت في غفلة من هذا فكشفنا عنك غطاءك فبصرك اليوم حديد.
Seperti disebutkan dalam doa:
واجعل الحياة زيادة لنا في كل خير واجعل الموت راحة لنا من كل شر.
“Dan jadikanlah kehidupan sebagai tambahan untuk kami terhadap segala kebaikan dan jadikanlah mati sebagai istirahat kami dari segala macam keburukan”.
Syaikhona juga menjelaskan bahwa Thobaqotul Ulama itu berdasarkan kematian atau wafatnya, bukan berdasarkan lahir atau usianya.
Seperti contoh antara Imam Ghozali dan Imam Abu Syuja’.
Imam Abu Syuja’ lahir lebih dulu daripada Imam Ghozali. Imam Abu Syuja’ lahir pada tahun 433 H, Imam Ghozali lahir pada tahun 450.
Secara usia, Imam Abu Syuja’ lebih sepuh daripada Imam Ghozali. Imam Abu Syuja’ berumur 160 tahun, Imam Ghozali berumur 55 tahun.
Akan tetapi, Imam Ghozali wafat lebih dulu daripada Imam Abu Syuja’. Imam Ghozali wafat tahun 505 H, Imam Abu Syuja’ wafat tahun 593 H.
Oleh karena itu, secara thobaqoh (tingkatan) ulama’, Imam Ghozali disebut lebih dahulu daripada Imam Abu Syuja’. Hal itu karena thobaqoh ulama’ didasarkan pada wafatnya, bukan kelahiran atau usianya.
Hal ini seperti didawuhkan berkali-kali oleh Syaikhona Maimoen Zubair.
Oleh karena itu, dalam tawassul setelah sholat, Syaikhona menyebutkan Rosululloh terlebih dahulu (wafat 11 H), keluarga dan sahabat Nabi, kemudian disusul dengan menyebut Syaikh Abdul Qodir Al-Jaelani (wafat 561 H), Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili (wafat 656 H), Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 791 H), Sayyid Ali bin Abi Bakar As-Saqqof penyusun Hizb Sakron (wafat 895 H) dan Mbah Zubair Dahlan (wafat 1389 H).
Itulah Syaikhona Maimoen Zubair, cara bertawassul kepada ulama’ saja menggunakan metode ilmiah, dengan menyebutkan ulama menurut thobaqohnya.
Dan anehnya, thobaqoh ulama’ itu pun terjadi kepada beliau, putra dan cucu beliau. Syaikhona Maimoen Zubair yang wafat tahun 2019, disusul oleh Syaikhuna Majid Kamil Maimoen, dan terakhir disusul oleh Syaikhina Robah Ubab Maimoen.
Semoga kita diakui sebagai murid-murid beliau yang meneruskan perjuangan beliau.
Ditulis oleh Kanthongumur
Majlis Ta’lim Sabilun Najah
Kramatsari III Pekalongan.
No responses yet