Melihat Kearifan Lokal Masyarakat Leuwilaja Sindangwangi Majalengka
Ada tradisi bagus yang saya jumpai di Leuwilaja Sindangwangi Majalengka (mungkin juga beberapa daerah sekitar) yaitu setiap akan menempati rumah baru atau saat selesai merenovasi rumah, diadakan tasyakkuran dengan cara mengumandangkan adzan. Istilah masyarakat adalah “ngadzanin rumah”. Sesuatu yang unik tapi bisa saja mendapat protes keras dari kelompok skriptual kaum sawah (salafi-wahaby) yang kadang disebut juga kaum bumi datar.
Adzan adalah panggilan untuk sholat. Dalam tarikh Ibn Hisyam, ketika Rosulullah di Madinah, belum ada cara yang dilakukan untuk memberi tahu masuk waktu sholat. Semua berjalan secara alami. Namun, ketika pemeluk Islam semakin meluas ditambah kesibukan yang semakin padat maka dirasa perlu untuk dirumuskan panggilan sholat agar para sahabat tidak ketinggalan berjemaah.
Ada yang mengusulkan menggunakanp lonceng sebagaimana kaum Nasrani. Ada yang usul mengunakan terompet seperti kebiasaan Yahudi, bahkan ada yang usul menggunakan api.
Sampai akhirnya Abdullah bin Zaid bermimpi melihat seruan adzan sebagaimana saat ini. Dan ternyata mimpi serupa dialami Umar bin Khottob.
Persoalannya, bagaimana jika adzan ini dilakukan saat memasuki rumah baru atau rumah yang baru selesai dironovasi?
Kalau pertanyaan ini diajukan kepada saudara kita kaum salafi-wahaby (sawah) atau kelompok bumi datar, hampir dipastikan jawabannya bid’ah, dlalalah, fi nar. Tentu sangat menggelitik karena orang bisa masuk neraka gara-gara adzan. Kaidah yang dipakai biasanya hadits muhdats, atau الاصل فى العبادة للتحريم padahal kaidah ini bukan untuk tradisi tapi untuk ibadah yang tauqifi. Dipaksakan bukan..???
Untunglah tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Leuwilaja Sindangwangi Majalengka yang arif dan bijak melihat persoalan. Biarpun tidak harus belajar filsafat, akan tetapi nilai-nilai kebijaksanaan dan kebersahajaan masyarakat layaknya para filosof sudah tertanam secara alami.
Adzan bukan bagian dari sholat. Tapi cara memanggil kaum muslimien untuk sholat. Artinya, adzan adalah washilah sholat. Sama seperti wudlu’ yang menjadi washilah sholat. Bahkan kalau wudlu’ (suci dari hadast) menjadi syarat sahnya sholat, sedangkan adzan dan iqomah sebatas sunnat sebelum sholat.
Wudlu’ saja washilah yang menjadi syarat sahnya sholat juga bisa dilakukan diluar aktifitas sholat dan aktifitas yang mensyaratkan suci dari hadats kecil lainnya. Seperti mau tidur, mau berhubungan suami istri bahkan menjaga wudlu’ (dawam wudlu’) merupakan hal yang baik.
Demikian juga adzan. Rosulullah pernah mengumandangkan adzan diluar sholat. Seperti saat Hasan dan Husen lahir, dan ini dibenarkan ulama empat madzhab walau kaum sawah tidak mengakui. Menurut Syech Abdullah as-Syarqawi, Rosulullah pernah mengumandangkan adzan saat musafir. Pun juga saat Umar bin Khottob memasuki Yerussalim dikumandangkan adzan sekalipun bukan untuk panggilan sholat. Nah, catatan-catatàn kasuistik ini bisa menjadi parameter qiyasi untuk aktifitas positif lainnya. Dalam istilah ushul fiqihnya, catatan pengumandangan adzan diluar waktu sholat bisa menjadi alat ‘تطبيق الاحكام’ terhadap kasus-kasus yang secara substansial berpotensi “حسن”
Imam An-Nawawi menyebutkan dalam Al-Minhaj terkait adzan-adzan yang disunnahkan di luar shalat . Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj yang merupakan kitab syarah dari Al-Minhaj
قَدْ يُسَنُّ الْأَذَانُ لِغَيْرِ الصَّلَاةِ كَمَا فِي آذَانِ الْمَوْلُود ، وَالْمَهْمُومِ، وَالْمَصْرُوعِ، وَالْغَضْبَانِ وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إنْسَانٍ، أَوْ بَهِيمَةٍ وَعِنْدَ مُزْدَحَمِ الْجَيْشِ وَعِنْدَ الْحَرِيقِ قِيلَ وَعِنْدَ إنْزَالِ الْمَيِّتِ لِقَبْرِهِ قِيَاسًا عَلَى أَوَّلِ خُرُوجِهِ لِلدُّنْيَا لَكِنْ رَدَدْته فِي شَرْحِ الْعُبَابِ وَعِنْدَ تَغَوُّلِ الْغِيلَانِ أَيْ تَمَرُّدِ الْجِنِّ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ، وَهُوَ، وَالْإِقَامَةُ خَلْفَ الْمُسَافِرِ Artinya, “Disunnahkan adzan selain shalat, yaitu saat adzan untuk bayi yang baru lahir, orang yang sedang bersedih hati, orang yang menderita penyakit epilepsi, orang yang sedang marah, orang atau binatang yang memiliki perangai buruk, saat perang sedang berkecamuk, saat kebakaran, dan dikatakan juga menurunkan mayat pada liang kubur dengan mengqiyaskan saat awal terlahirnya ke dunia, namun aku (an-Nawawi) menentang kesunnahannya dalam syarh al-‘Ubab, saat terdapat gangguan jin berdasarkan hadits yang shahih di dalamnya, juga adzan dan iqamah dalam penyambutan musafir,” (Lihat Ibnu Ḥajar Al-Haitamī, Tuḥfatul Muḥtāj bi Syarḥil Minḥāj, (Beirut, Dārul Kutub: tanpa catatan tahun, juz I, halaman 330).
Imam an-Nawawi merupakan ulama yang tergolong mujtahid madzhab dan muhaqqiq dalam bidang fiqih-syafi’ie.
Sedangkan kompetensinya dalam bidang hadits juga tidak perlu diragukan. An-Nawawi adalah pen-syarah Shohih-Muslim sebagaimana Ibnu Hajar al-Asqolani yang men-syarah Shohih-Bukhori. Bahkan karya an-Nawawi yaitu Riyadus Sholihien, Arbà’ien, Adzkar dan lain-lain merupakan kitab rujukan ulama-ulama dunia lintas madzhab. Lantas siapa kita yang berani menyalahkan penjelasan an-Nawawi yang juga dibenarkan madzhab-madzhab yang lain?
Persoalan adzan diluar waktu sholat memang populer dikalangan madzhan Syafi’ie, namun bukan berarti madzhab-madzhab lain menentangnya.
Madzhab Hanafi memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Syafi’ie. Madzhab Maliki juga membolehkan mengamalkan adzan-adzan diluar waktu sholat sebagaimana madzhab Syafi’ie. Hanya madzhab Hanbali sebagai pengecualian, itupun masih menerima qoul tentang adzan ditelinga bayi yang baru lahir.
No responses yet