عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة ) – متفق عليه — . وفي رواية مسلم ( إلا كان له صدقة الى يوم القيامة )
Diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik r.a., ia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tiada seorang pun Muslim yang menanam sebuah tanaman atau membudidayakan sebuah lahan pertanian, kemudian diam-diam ada seekor burung, seorang manusia, atau seekor binatang ternak yang makan dari tanaman atau lahan pertanian tersebut, kecuali apa yang dimakan (dari tanaman atau pertanian) itu menjadi sedekah yang pahalanya kembali kepadanya” (HR. Bukhari-Muslim). Dalam riwayat Muslim: “… Kecuali apa yang dimakan (dari tanaman atau pertanian itu) menjadi sedekah hingga hari kiamat”.
~~
Hadits ini berbicara tentang menanam, atau yang disebut hari ini dengan “penghijauan”. Di dalam hadits ini, Rasulullah menganjurkan kaum Muslim untuk menanam pepohonan, tumbuhan, atau tanaman yang memakmurkan bumi dan lingkungan hidup di sekitarnya (ekosistem). Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam syarahnya menulis: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang keutamaan menanam dan bertani, dan motivasi untuk memakmurkan bumi” (‘imarat al-ardl) (Al-Qanuji, “’Awn al-Bari li Halli Adillat al-Bukhari”, Jilid III). Al-Qanuji lebih jauh mengambil dalil dari hadits ini, bahwa “bertani adalah profesi yang paling utama (afdlal al-makasib).”
Seorang Muslim yang menanam, kemudian tanamannya dimakan tanpa seizinnya oleh binatang atau bahkan oleh manusia yang kebetulan membutuhkannya, maka tanaman itu otomatis menjadi sedekah yang ia nikmati pahalanya. Sedekah ini disebut juga dengan “shadaqoh jariyah”, artinya sedekah yang pahalanya mengalir terus hingga akhir zaman, walaupun orangnya telah tiada, tanamannya telah tiada, dan bahkan tanahnya telah beralih fungsi. Bisa dibayangkan, betapa banyak amal jariyah yang diam-diam dilakukan oleh kaum tani di Indonesia dengan menanam saja, juga para pelaku penghijauan, seperti para aktivis lingkungan.
Sedekah ini hanya bisa dipahami dengan memahami konsepsi ekosistem dalam Islam. Ekosistem ala Islam adalah ekosistem terbuka, di mana manusia dan makhluk hidup lain saling membantu untuk mencukupi kebutuhannya. Di sana manusia, hewan, serta tanaman tidak dibedakan, karena masing-masing mengemban peran yang setara dalam kelestarian ekosistem. Redaksi hadits di atas meletakkan manusia di antara burung dan binatang ternak, antara hewan udara dan hewan darat; artinya, manusia ada “di tengah-tengah” ekosistem, tidak superior atau inferior. Manusia berada di “tengah-tengah” ekosistem ini sudah dalam keadaan terlibat, sehingga dia berperan dalam menjaga kelangsungan ekosistem itu, bukan rantai terpisah yang terisolasi. Dia adalah bagian dari lingkungan hidupnya, dari habitatnya. Merusak lingkungan hidup, sama saja dengan merusak kehidupan manusia itu sendiri.
Model ekosistem terbuka ini tentu mengharamkan privatisasi, atau tidak cocok dengan ekosistem privatis ala kapitalisme yang mencacah-cacah ruang hidup, sehingga memisahkan manusia dari binatang, tumbuhan, dan bahkan sesama manusia. Dengan kata lain, ekosistem berdasarkan kepemilikan eksklusif. Dalam Islam, manusia boleh memiliki tanaman, tetapi hasil tanaman itu tidak sepenuhnya dia miliki, tapi dapat menjadi sedekah bagi siapa saja yang butuh menikmatinya. Burung, ternak, atau manusia yang kebetulan makan dari tanaman “pribadi” itu, bukanlah para kriminal. Mereka adalah sesama makhluk yang harus dihargai kebutuhannya. Di sini Islam menganjurkan semangat berbagi daripada semangat menguasai dan memiliki.
Hadits ini berisi anjuran menanam. Sekali lagi, anjuran. Tetapi itu dulu, ketika dunia belum dilanda prahara sosio-ekologis, ketika bumi masih relatif hijau. Kita juga ingat, anjuran Rasulullah s.a.w. ini muncul di tengah masyarakat Arab yang ekosistemnya cenderung kering dan tandus. Andaikan anjuran ini muncul di Indonesia yang berekosistem basah dan subur, kita bisa pastikan, ia tak lagi menjadi anjuran, tapi bahkan kewajiban – karena tuntutan kelestarian ekosistem.
Terlebih dalam konteks Indonesia hari ini, di mana areal hijau terus menyusut, lahan-lahan pertanian terus berkurang, dan kelestarian ekologis terancam oleh ekspansi modal. Sedekah ini niscaya wajib.
“Menanam itu Melawan!”, pekik para petani Kulonprogo, ketika lahan pertanian mereka diserobot oleh tambang besi dan proyek bandara baru Yogyakarta. Dalam situasi ini, sedekah itu tidak lagi sunah, tapi wajib. Dalam situasi “normal”, ketika menanam dilakukan untuk menghijaukan bumi yang telah hijau, oksigen dan hasil-hasil yang dipetik melalui tanaman itu menjadi sedekah bagi makhluk hidup dalam ekosistem tersebut, bahkan bagi dunia secara luas. Namun, dalam situasi darurat, ketika menanam dilakukan untuk mempertahankan kecukupan pangan dan menghijaukan kembali ekosistem yang porak-poranda, menanam menjadi kewajiban. Hal ini merujuk pada perintah Al-Qur’an, Q.S. al-Taubah: 103,
خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها
“Ambillah (wahai Muhammad) dari harta-harta mereka (orang-orang mukmin) sedekah yang, dengan sedekah itu, engkau dapat membersihkan dan menyucikan mereka”.
Kata “shadaqah” dalam ayat ini ditafsir oleh para ulama sebagai “zakat”. Ayat ini merupakan dalil kewajiban zakat. Namun, para ulama tafsir mengakui bahwa term “shadaqah” di sini “muthlaq”, tidak “muqayyad”, artinya dapat berarti sedekah apa saja. Termasuk sedekah bumi, berupa menanam. Dibaca secara ekologis, ayat ini dapat diterjemahkan secara kontekstual sebagai berikut:
“Ambillah dari harta-harta mereka (umat Muslim, suatu masyarakat) sedekah yang, dengan sedekah itu, engkau membersihkan dan menyucikan ekosistem mereka yang tercemar atau rusak”.
Jika sedekah-zakat merupakan sarana penyucian batin dan harta yang sebagiannya berisi hak-hak orang lain, sedekah-menanam merupakan sarana penyucian ekosistem yang menjadi prasyarat bagi terpenuhinya hak-hak SELURUH makhluk di dalamnya.
No responses yet