Seberapapun Tampak Progresifnya
Hulu dari perdebatan mengenai “non-Muslim” – apakah kita menyebutnya “kafir” atau “warga negara” – bergantung dari posisi epistemologis apa yang dianut: Indonesia sebagai “negara Islam” atau bukan? Bagi yang memandang Indonesia sebagai “negara Islam”, secara fiqhiyah akan menolak tawaran Bahtsul Masail (BM) Waqi’iyah Munas 2019 kali ini untuk meninggalkan term-term “kafir” entah “dzimmi”, “mu’ahad”, atau “musta’min”.
Persoalannya, pandangan ini bukan datang dari luar kelompok NU, seperti HTI atau faksi-faksi Islam pro-Khilafah dan konservatif-Kanan, tapi datang dari tradisi NU sendiri. Kita coba cek putusan Muktamar NU ke-11, 9 Juni 1936 di Banjarmasin, yang termuat di “Ahkamul Fuqaha” terbitan PBNU hlm. 187. (Cek langsung foto cuplikan “ibarot” di bawah.)
Rujukan yang diambil adalah kitab “Bughyatul Mustarsyidin”, salah satu kitab yang terang-terangan mencantumkan wilayah Indonesia dalam kajiannya, dan menyebutkan “… tanah Betawi dan bahkan sebagian besar tanah Jawa adalah ‘daerah Islam’, karena umat Islam pernah menguasainya sebelum penguasaan orang-orang kafir” (فعلم ان ارض بتاوي بل وغالب ارض جاوة دار اسلام لاستيلاء المسلمين عليها قبل الكفار ).
Definisi “negara Islam” menurut kitab Bughyah adalah “suatu tempat di mana umat Muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, walaupun kekuasaan umat Islam sempat (telah) terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka”. Definisi ini tentu tak cocok dengan definisi “negara Islam”-nya kelompok Islam pro-Khilafah, karena definisi ini tidak mensyaratkan penerapan Syariat Islam secara langsung dan total agar sebuah negeri diakui sebagai “negara Islam” (darul Islam). Definisi yang dianut oleh Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, pengarang Bughyah, adalah definisi minimalis yang mensyaratkan bermukimnya umat Islam, tanpa mesti mengandaikan invasi atau pendudukan militer.
Tapi konsepsi minimalis ini memberi bentuk apa yang saya sebut “imajinari politis” umat Islam tentang “negara Islam”: bahwa negara Islam itu ada, eksis, dalam sejarah, bukan utopia. Termasuk sebagian kalangan Nahdliyin: para kiai, gus, dan kaum santri, mereka yang kontra dengan wacana BM Munas 2019 kali ini.
Turunan dari imajinari politis ini, memakai logika deduktif sederhana, jika Indonesia adalah “darul Islam” atau “negara Islam”, maka hukum yang berlaku di dalamnya mesti berlandaskan syariat Islam dan tetap terdapat pemilahan antara “Muslimin” dan kaum “kafirin” dalam tata-negara “darul Islam” ini. Dua hal ini diam-diam tetap mengendap dalam imajinari politis sebagian Nahdliyin, sebagian ulama NU di pedesaan dan warga Nahdliyin sendiri.
Perjuangan revolusioner kemerdekaan Indonesia yang secara nasional juga melibatkan kalangan Kristen, Hindu, Buddha, dan lain-lain, dan proklamasinya di tahun 1945, tentu tidak memungkinkan term “kafir” ini dieksplisitkan dan disematkan kepada sesama anak bangsa yang ikut berkorban dalam merebut negeri ini. Oleh karena itu, istilah “kafir”, dalam konteks ini, terarah kepada kelompok eksternal, yakni mereka yang mengancam kemerdekaan negeri dan rakyat Indonesia alias para penjajah. Imajinari ini cocok dengan pemaknaan “kafir” pada perang antikolonialisme di abad-abad sebelumnya yang digerakkan oleh para pahlawan dan mujahid umat Islam, seperti Diponegoro, dan lain-lain.
Diam-diam terjadi pemaknaan lain atas “kafir”. Secara formal, kalangan rakyat Indonesia yang “non-Muslim” merupakan orang-orang yang memiliki pertalian persaudaraan senegeri, dan karena itu dianggap saudara se-negeri alias kompatriot dalam berjuang melawan “para kafir penjajah” yang mengancam. Karena itu, kita memiliki di sini dua konsepsi “kafir”: “kafir penjajah” dan “kafir di dalam negeri”. “Kafir di dalam negeri” ini kemudian dipersepsi berbeda-beda oleh kaum Nahdliyin. Karena menetap secara damai, maka mereka dipersepsi sebagian Nahdliyin sebagai “kafir dzimmi”, atau non-Muslim yang berada dalam jaminan keamanan dan perlindungan (dzimmah) umat Muslim.
Daripada “kafir mu’ahad” atau “kafir musta’min”, istilah “kafir dzimmi” lebih populer dan akrab, khususnya di kalangan kaum santri. Di sisi lain, bagi yang tidak sepakat dengan istilah “kafir dzimmi”, istilah “ahlul kitab” sudah dianggap cukup. Kaum non-Muslim, khususnya kaum Kristiani di negeri ini, dipersepsi sebagai kaum “ahlul kitab” yang wajib dihormati dan dilindungi hak-haknya. Namun mengingat dalam teologi Islam, “ahlul kitab” lagi-lagi terbelah kepada kalangan “kafir” dan “mukmin”, maka term ini juga ambigu dan dipersepsi berbeda-beda.
Sedikit menanggapi kolom M. Kholid Syeirazi, sekjen ISNU (perlu dikoreksi dari pernyataannya bahwa NU pada 1936 tidak menyebut Nusantara sebagai “Darus Salam”, seperti ditulisnya, melainkan “Darul Islam”, seperti termaktub di putusan Muktamar), di situs “NU Online”. Gus Kholid menyebut bahwa tahun 1984 merupakan momen pengakuan “NKRI final bagi perjuangan umat Islam”.
Melalui gerakan “back to Khittah”, NU mengakui Pancasila (di bawah tekanan rezim sekular Soeharto) dan tidak mengafirmasi Syariat Islam sebagai asas kenegaraan kita.
Pertanyaannya, apakah pengakuan itu berarti menggambarkan penerimaan yang tuntas atas bentuk “negara Indonesia” sebagai negara yang sepenuhnya bukan “darul Islam”? Tidak sesederhana itu. Pengakuan terhadap Pancasila relatif lebih mudah diterima, karena Pancasila secara substantif tidak bermasalah dalam kacamata fiqh, bahkan menggambarkan sebagian dari tujuan-tujuan fiqh (Maqashid Fiqhiyah), seperti Keadilan. Namun warga Nahdliyin tak semudah itu menghapus imajinari “darul Islam” dari bawah-sadar politis mereka.
Penerimaan atas NKRI, apalagi di bawah rezim Soeharto saat itu, lebih didasari keterpaksaan. Apalagi NKRI memang menjadi jurus mematikan rezim diktator ini untuk memukul kelompok Islam. Dan keterpaksaan ini, saya kira, tetap berlanjut; imajinari politis itu tetap mengendap. Bahkan hingga kini, warga Nahdliyin belum benar-benar mengakui posisi presiden sebagai “imam” yang ideal dalam kerangka fiqh politik Sunni. Bung Karno tetap digelari “Waliyyul amr dlaruri bis-syaukah”, artinya “waliyyul amr”, bukan “imam”, dan “dlaruri” artinya dalam kondisi darurat, karena kebutuhan adanya pemimpin bagi perjuangan revolusioner, bukan karena jabatan Presiden pada dirinya sudah memenuhi kriteria fiqh politik Sunni. Bagaimana dengan Soeharto? Habibie? Gus Dur? SBY? Jokowi? Tidak ada rumusan NU yang baku tentang status politis Presiden ini menurut kacamata fiqh, kecuali interpretasi-interpretasi atau tafsir-tafsir.
Pasca-Reformasi, dengan Indonesia menuju babak demokratisasi, pertanyaannya apakah imajinari “darul Islam” ini masih relevan dan harus dibatalkan sepenuhnya? Problem praktisnya, imajinari politis adalah gugus bawah-sadar yang terinternalisir cukup kuat dan lintas-waktu dalam kesadaran umat Islam, dan tak bisa dihilangkan begitu saja. Ada dua jalan jawaban yang ditawarkan kepada kita.
Pertama, jalan Islam Moderat Baru (IMB), yang sebagiannya didorong oleh diskursus filsafat politik liberal tentang kewarganegaraan, paham individualisme modern, termasuk berbagai tafsir politis atas Pancasila, dan sebagiannya lagi oleh pergulatan fiqh yang semakin metodologis (manhaji) dan substansialistik, dan cenderung tidak menyukai tafsir literal (harfiah) yang biasanya dianut oleh generasi sepuh NU yang bermazhab Salaf. Penarik gerbong jalan pertama ini, tentu saja, siapa lagi kalau bukan Gus Dur. Gerbong inilah yang hari ini diisi oleh “para murid Gus Dur” dari kalangan aktivis yang kemudian terdorong masuk dalam jabatan-jabatan struktur di PBNU, seperti Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali, Kholid Syeirazi, dan lain-lain. Dalam tingkat yang lebih senior, kita bisa menyebut Kiai Said Aqiel Siradj dan lingkaran epistemik di sekelilingnya. Jalan IMB ini menawarkan langkah untuk mulai sepenuhnya keluar dari lingkup Fiqh Politik Sunni Salaf dengan mengambil apa-apa yang substansial dari fiqh (Fiqh Maqashid) dan mendialogkannya dengan wacana konstitusi modern. Secara historis di internal NU, kita bisa menelusuri kelahiran gerbong ini pada rumusan-rumusan Bathsul Masail PWNU Jawa Timur di Ponpes Sukorejo tahun 1982 yang telah menyatakan, “non-Muslim di Indonesia bukan dzimmi, bukan mu’ahad, bukan musta’man”. (Lihat ibarot-nya di foto-foto di bawah).
Jalan IMB ini mengafirmasi apa yang pernah diprediksi pemikir politik liberal terkenal dari Sudan, “John Rawls”-nya dunia Islam, Abdullahi Ahmed An-Na’im, dalam bukunya “Islam dan Negara Sekular” (2007) sebagai transisi “dari konsep dzimmi menuju Kewarganegaraan Berbasis Hak Asasi Manusia” (hlm. 202). Jauh sebelum gerbong IMB di NU mengafirmasi jalan ini, An-Na’im menunjukkan bahwa di negara-negara berpenduduk Muslim pasca-Perang Dunia II seperti Turki dan India proses ini sudah berjalan relatif tanpa masalah. Keputusan Bahtsul Masail Waqi’iyah NU 2019 menunjukkan kemenangan gerbong IMB ini. Meski itu bukan berarti terlegitimasi sepenuhnya di internal Nahdliyin, karena terdapat jalan kedua.
Jalan kedua ini bisa saya sebut sebagai Jalan Islam Moderat Salaf (IMS). Harus dibedakan antara “Salaf” di sini dengan “Salafisme”. “Salaf” sekadar berarti “lama”, artinya menganut pendirian ulama Salaf yang terdahulu. Jalan IMS ini tetap memegang keyakinan dan aspirasi bahwa Indonesia adalah “darul Islam” dan tetap berlaku di dalamnya hukum-hukum fiqh politik (fiqhiyyah-siyasiyyah) yang ditarik dari konsekuensi “darul Islam”, misalnya bahwa kepemimpinan negara Indonesia harus dipegang oleh pemimpin dari kalangan Islam. Namun, karena moderatisme kelompok ini, mereka tidak berhasrat menggebu-gebu untuk menerapkan syariat Islam secara harfiah dan formalistik, karena menyadari kemajemukan rakyat Indonesia dan kompleksitas penerimaan bangsa Indonesia atas agama Islam.
“Kompromi” antara kesetiaan pada fiqh politik Sunni Salaf yang mempertahankan idealitas “darul Islam” dan kenyataan di lapangan, melahirkan suatu sikap yang terkesan ambigu tapi sebenarnya cukup konsisten. Sikap ini adalah pembelahan sikap antara “yang nyata” dan “yang virtual”. Meski “yang nyata” adalah negara republik, namun secara secara “virtual” Indonesia bagi mereka tetap suatu “darul Islam”, oleh karena itu harus tetap diperjuangkan dicapainya tujuan-tujuan yang maksimum dari “darul Islam” betapapun sulitnya. Kelebihannya, pembelahan ini sekaligus upaya menjaga keseimbangan supaya umat Islam tidak sepenuhnya kompromis dengan model negara sekular yang cenderung meminggirkan peran politis agama. Minusnya, sikap ini terkesan mendua dan membingungkan, sama membingungkannya ketika kita mendengar istilah “NKRI bersyariah”. Namun demikian, moderatisme kalangan ini menghindarkan mereka dari pembelaan yang vulgar atas syariat Islam agar tidak menimbulkan antipati dari kalangan non-Muslim. Di sisi lain, dengan berpegang pada cita-cita Islam yang tetap politis, kalangan ini tetap mampu menghadirkan Islam sebagai kekuatan politis yang memiliki daya tawar terhadap kekuasaan, termasuk di saat-saat terburuk saat negara sekular seperti era Soeharto menindas umat Islam.
Temuan An-Na’im mengonfirmasi hal ini. Dia menemukan bahwa dalam benak sebagian umat Islam (termasuk dari kalangan moderat kaum Nahdliyin), sekularisme identik dengan kolonialisme. Ini menunjukkan bahwa imajinari politis “darul Islam” memiliki pertautan dengan sejarah perlawanan melawan kolonialisme dan imperialisme, dan tidak dapat dengan sendirinya terbatalkan selama kedua struktur ini masih ada.
Persoalannya, tawaran Fiqh Kewarganegaraan yang tertuang dalam keputusan Bahtsul Masa’il Munas 2019 lebih cenderung dekat ke model negara sekular “an sich”, dan tidak memperhitungkan historisitas imajinari “darul Islam” beserta kompleksitas di baliknya. Kita perlu melihat apakah tawaran Fiqh Kewarganegaraan yang diajukan IMB merupakan “bid’ah hasanah” – disebut “bid’ah” karena tidak ada rujukannya dalam kitab-kitab Salaf – dan mampu menawarkan suatu cara pandang baru tanpa mengorbankan kekuatan politis Islam di sebuah negara yang kompleks dan majemuk seperti Indonesia. Atau jangan-jangan ia adalah “bid’ah sayyi’ah” karena makin memandulkan peran politis Islam dan membawa Islam tunduk sepenuhnya kepada model negara sekular yang menganggap agama murni sebagai urusan pribadi, atau lebih jauh mengutuk segala aspirasi politis umat Islam ketika terekspresikan dalam gerakan massa yang politis. Dengan kata lain, “bid’ah sayyi’ah” karena membawa kita kepada model kewarganegaraan liberalistik yang alergi terhadap bentuk politis agama. (Mengingat tendensi Islam Moderat hari ini cenderung ke arah ini, dengan keinginannya mendepolitisasi Islam agar Islam tidak menjadi suatu gerakan massa yang politis dan “revolusioner”.)
Sebagai seorang Muslim Indonesia dari arus Islam Progresif, penulis tertarik menggarisbawahi beberapa hal yang mungkin relevan untuk dipikirkan secara kritis.
Pertama, upaya menolak kategori “kafir” dalam fiqh siyasah Sunni dan mengadopsi paradigma Kewarganegaraan untuk menyebut “non-Muslim”, mampu mengafirmasi kesetaraan yang menjadi cita-cita demokrasi modern, dan ini sisi emansipatifnya. Namun, sisi emansipatif ini terbatas lingkupnya, karena masih berupa kesetaraan formal-yuridis dan identitas, dan bukan kesetaraan kelas. Di hadapan hukum atau konstitusi, baik “Muslim” maupun “non-Muslim” setara, namun dari sudut pandang lain, kita lalu menjadi ahistoris karena gagal melihat bahwa pada kelas sosialnya, tidak semua “Muslim” dan “non-Muslim” setara pada basis sosialnya. Di sini, pengakuan Negara, atau politik rekognisi Negara, baru sampai pada afirmasi atas kesetaraan formal-yuridis. Negara tidak akan sampai melakukan afirmasi pada kesetaraan kelas. Sebaliknya, secara historis sudah kita ketahui, Negara justru menjadi agen-agen penciptaan ketimpangan kelas.
Kedua, identitas “kafir”, yang ditolak oleh Fiqh Kewarganegaraan ini, terkadang dapat mengungkap realitas ketimpangan kelas, dan karena itu kategori ini tidak akan pernah hilang (disenyapkan) dari ruang publik sepenuhnya. Identitas “kafir” harus ditolak sejauh ia sektarian dan bernuansakan kebencian, alias sebagai gerakan “pengkafiran” (takfir) yang memecah-belah rakyat dan umat Islam – dan pada poin ini keputusan Bahtsul Masai’il Waqi’iyah tepat. Namun, pada situasi tertentu, identitas “kafir” juga dapat ditoleransi untuk menyatakan perang terhadap berbagai bentuk dominasi dan penjajahan, seperti terhadap kaum Kafir Zionis di Palestina, yang terang-terangan menjajah umat Islam. Sebagai turunan dari pemikiran ini, maka dikotomi “Darul Islam” dan “Darul Harb” tetap perlu diberlakukan, namun secara universal, tidak sekadar dalam lingkup Negara. Kita bisa memaknai “Darul Harb” sebagai tempat di mana ketidakadilan dan penghancuran lingkungan hidup terjadi, dan karena itu harus diperangi. Sementara itu, “Darul Islam” sebagai tempat di mana agama Islam hadir sebagai pelindung bagi sesama umat Islam maupun umat “non-Muslim” lainnya yang berada dalam posisi termarjinalkan atau tertindas. Dilihat dari pemaknaan ini, penggunaan “kafir dzimmi” tidak menjadi masalah, karena yang terpenting adalah aspek hubungan solidaritas dan perlindungan (dzimmah)-nya, bukan identitas formalnya.
Ketiga, perlu pemaknaan ulang atas term “kufur”, “kafir”, dan “al-kafirun” sejalan dengan kondisi global yang ditandai oleh kapitalisme dan imperialisme gaya baru yang menimbulkan krisis dan kegaduhan politik di mana-mana: Venezuela, Yunani, dst., dan kesengsaraan umat manusia. Untuk itu, fiqh politik harus disinkronkan dengan akidah Islamiyah. Keputusan Bahtsul Masa’il Waqi’iyah untuk persoalan ini, secara metodologis, bermasalah karena menggunakan “standar ganda”: dalam konteks publik, kekufuran tidak boleh dieksplisitkan dan tidak diakui, cukup dengan identitas “warga negara”, sementara secara pribadi, kita tetap wajib menganggap mereka “kafir” karena tak se-iman dengan “kita”. (Yang lucu adalah seorang Muslim pluralis seperti Abd. Moqsith Ghazali pun menjadi tidak konsisten dengan pluralismenya, karena tetap menganggap non-Muslim sebagai “kafir” secara akidah, meski dalam buku “Argumen Islam untuk Pluralisme” ia berusaha meyakinkan status non-Muslim sebagai kaum “beriman”; cek postingannya di laman Facebook pribadinya, untuk lebih jelasnya.)
“Standar ganda” ini harus dipecahkan dengan konsepsi yang baru tentang “kufur”, “kafir”, dan “al-kafirun” yang setia pada semangat pembebasan pada misi kerasulan Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam), di satu sisi, namun, di sisi lain, dipijakkan dalam kondisi ketertindasan umat manusia hari ini di bawah rezim Thaghut bernama kapitalisme-imperialisme. Sebagai suatu istilah, “kafir” ditegaskan dalam Al-Qur’an sebagai bagian dari “sunnatullah” penciptaan manusia, yang akan terus ada sepanjang sejarah (Q.S. al-Taghabun: 2), dan karena itu kita tidak perlu alergi terhadap istilah ini. Di sisi lain, istilah ini harus disematkan secara hati-hati dan cermat terhadap kalangan sosial tertentu yang memang layak menyandang julukan “kafir”, dan bukan ke sembarang orang. Pemaknaan ini mungkin akan penulis lakukan di kesempatan lain.
Keterbatasan konsepsi “kufur” dan “kafir” pada Islam Moderat, baik Baru maupun Salaf, maupun pada kalangan Islam Salafi-Wahhabi dan pro-Khilafah, harus diatasi dan didiskusikan secara kritis.
No responses yet